Jumat, 11 Desember 2015

Tentang Kesalehan

Ibuku selalu bilang bahwa berlaku baiklah kepada siapa saja. Meski orang itu telah melakukan keburukan kepada kita. Memberi kebaikan tidak akan pernah mubazir, sia-sia. Katanya, yang sia-sia adalah jika kita berlaku buruk. Meski pada orang yang telah melakukan keburukan kepada kita. Karena berlaku buruk hanya akan menguras energi, menyiakan waktu.

Aku pergi berjalan, menapaki tiap sudut kelompok. Bermodalkan kosong dan kepolosan anak kampung di pinggiran Jakarta. Tak kenal kemewahan materi, apalagi gemerlapnya ilmu. Tapi yang kuingat satu saja pesan ibundaku: berlaku baiklah. Selalu. Selalu.

Langkah awalku adalah sebuah pesantren, tempat yang mewah bagi generasi keluarga sebelum garisku. Aku anak-cucu-cicit yang pertama mampu mengenyam pendidikan di dunia ini. Katanya, santri adalah sebaik-baiknya manusia. Benarkah?

Harapan mereka rasanya pupus tentang santri itu, meski mereka tak tahu. Karena itu hanya ada dalam hatiku. Aku ternyata tak berlaku layaknya santri pada umumnya. Disiplin, cerdas, kalem, dan penurut adalah yang tak pernah aku punya. Aku tahu ini akan mengecewakan mereka, maka kututup semua ini. Aku mengatur skenario sebagai 'santri' di hadapan keluargaku tiap libur pulang tiba. Aku mengiyakan saja tiap ada undangan dari majelis ke majelis yang memintaku untuk berpidato ataupun mengajar mengaji. Kususun kata per-kata, dalil-dalil sesuai tema, dan sedikit guyonan khas dai. Lalu, bergamislah aku. Berjalan dan diserbu para jamaah kampung halamanku, menciumku sambil menepuk-nepuk pipiku. Sejuta doa takwa mereka ucapkan untukku. Aku hanya membalas amin, amin, dan amin.

Tenggorokanku seolah tercekik. Tak dinyana, aku ada di atas panggung takwa. Di hadapan para jamaah yang menatapku penuh kekaguman. Barangkali dalam benak, mereka berkata, akhirnya kampung kita punya santri takwa! Aku semakin ingin teriak tak sanggup melawan batinku. Tapi, bukankah ibunda pernah bilang, berbuat kebajikan saja. Sebanyak-banyaknya. Itu saja. Ya, aku tak punya jalan lain. Berkata yang baik dan setelah itu, aku harus turun dari mimbar. Tak boleh lebih.

Waktu bergulir, hari demi harinya tahun pun berganti. Aku semakin beranjak dewasa. Dan sekembalinya libur ke rumah, makin banyak saja orang-orang yang datang melawat untuk bertanya apa hukumnya ini dan itu. Mengenalkan anak-anak balita mereka tentangku dengan sapaan yang sangat terpuji namun sakit bagiku tak terperi: guru ngaji.

Aku kembali ke pesantren. Seketika derajatku berbanding terbalik dari santri takwa menjadi begajulan pondok. Baru-baru sampai kamar saja, sudah berapa kali teman memperingatkanku akan ancaman dari Ustaz N yang fenomenal itu. Katanya, aku membuat malu pesantren karena kedapatan memakai motor warga untuk keliling Jakarta. Seketika, kulepas atribut takwaku. Kuhadapi Ustaz N dengan nyaliku, kutatap matanya seperti mauku, kukawani pembicaraannya yang tak sesuai dengan kelakuanku. Ia murka, marah, dan tak terima. Aku lebih-lebih. Tapi, aku santri dan dia Ustaz, aku pastilah salah. Kebenaran dimonopoli olehnya. Aku kalah. Sementara.

Tapi kata ibunda, berlaku baiklah. Selalu. Kepada siapapun. Layaknya mentari yang tak bisa pilih kasih. Tapi aku bukan mentari, aku hanya santri. Hubunganku dengan Ustaz N sudah di titik nadir, sementara kelulusan sudah di pelupuk mata. Apa yang harus kuperbuat? Menjadi penjilat? Mengatakan semua puja-puji di hadapannya bahwa dialah guru yang selalu jadi panutan? Ataukah aku harus bilang bahwa akulah yang salah, murid yang tak tahu diuntung dan hanya menyusahkan dewan guru? Tidak. Aku tidak akan pernah melakukannya. Aku tidak akan menjilat. Perihal kelulusan, siapa peduli? Aku tak butuh ijazah. Tak butuh pengakuan dari sebuah institusi. Tapi ibundaku, dia seorang diri membungkus rezeki demi mempunyai anak yang santri. Haruskah aku bunuh harapannya akan keegoisan ini?

Dilema ini pernah membunuhku sesaat. Kala itu, saat hanya beberapa teman saja yang percaya padaku, aku hadapi arus ini. Kutemui Ustaz N, kukatakan aku akan belajar dengan baik. Ia mencibir, senyumnya neraka. Aku mulai membara. Namun sebelum bara apiku memanas, tiba-tiba seorang wali murid datang dan menyanggah perbincangan kami. Ustaz N langsung menerimanya hangat, raut wajahnya berubah drastis. Sangat drastis. Tak pernah aku melihatnya sebegitu ramah. Ia kemudian melirikku--sedikit ramah--memberi isyarat untuk meninggalkannya dengan tamunya itu. Aku menurut. Aku pergi. Tapi, pertempuran ini belum berakhir.

Esoknya aku datang lagi. Ternyata Ustaz N sudah duduk di depan kamarnya. Mata tajamnya menyambutku. Aku duduk dan menatap kembali matanya. Aku siap.

Ia bilang tahu semua rekam jejakku. Tentangku yang pembangkang, yang dia katakan dengan wacana lebar selama 47 menit. Tak kurang tak lebih. Aku tak lagi marah, rasanya aku kebal dengan sumpah-serapahnya. Usai puas dengan caci-makinya, ia memintaku menjawab pertanyaannya: dengan cara apa kau akan lulus?

Aku menjawab dengan cara belajar. Hanya itu kemampuanku. Kalaulah ia menyuruhku untuk berlaku tunduk pada tiap guru, maka ia salah besar telah bicara padaku. Benar saja, ia tertawa. Lalu ia berkata lain tentang akhlak. Bahwasannya akhlak lebih mulia ketimbang ilmu yang didapat seseorang. Aku mengangguk. Memang, ucapannya tiada yang salah. Sama sekali tidak. Maka aku sependapat. Namun, setelah ia menyemprotkan sumpah-serapahnya dan menyebutku sebagai bajingan, benalu, setan, dan lainnya itu, aku berkesimpulan bahwa ia sama tak berakhlaknya denganku.

Pertemuan kami akhirnya membuahkan kesepakatan. Aku harus datang tiap dua hari sekali untuk menjelaskan Fathul Muin yang babnya ia tentukan sendiri. Katanya, itu salah satu syarat kelulusan untuk anak pembangkang sepertiku. Aku menyanggupi, tak masalah. Dalam hati, aku merasa berdosa telah melanggar nasehat ibunda. Ternyata aku tak mampu jadi anak yang baik.

Kelulusan pun tiba. Tak dinyana, aku lulus. Ibunda menangis haru. Aku memeluknya. Kukatakan padanya, setelah ini hanya akan ada kebaikan yang kukerjakan. Katanya, aku sudah menjadi anak yang baik. Aku menggeleng, ia semakin menepuk pundakku. Ia lalu berkata, ijazahku adalah bukti kebaikan itu.

Allah... teganya aku! Membohongi ibunda yang baik hati itu.

Kututup lembaran manis dan pahit enam tahun kehidupan di sebuah pesantren. Perlahan alu pun akan mengatakan pada ibunda bahwa aku akan menjadi diriku. Ia tak mengerti akan ucapanku. Lalu kujelaskan bahwa aku ingin menjadi seorang jurnalis bukan guru ngaji atau pendai.

Kupikir ia akan kecewa, marah, dan kalah. Tapi ternyata, jauh dari dugaanku, ia justru mengambil celengan bulat yang terbuat dari tanah liat. Ia pecahkan di depan mataku celengan itu. Lalu ia menghitungnya pelan-pelan. Ia menatapku dengan haru. Katanya: mana universitas yang akan kau tuju?

Kupeluk ibundaku. Kucium keningnya. Kutanamkan dalam hati keinginan diri untuk menjadi insan yang lebih baik lagi. Dengan sekuat tenaga, aku harus masuk universitas itu, keinginan ibunda. Kata ibunda, di sana ada Islamnya. Aku tertawa, ia pun juga.

Di sini, universitas ini, aku kembali dalam keadaan nol. Entah mengapa justru aku tertarik pada musik ketimbang teman-teman seperjuanganku yang sibuk menaikkan bendera ini itu. Aku menghargai usaha mereka, bukankah mereka yang akan menjadi pemimpin negeri ini? Betapa kuatnya mereka bercita-cita menjadi pemimpin negeri kepulauan bahari ini.

Salah satu temanku menggeleng, tak habis pikir katanya tentangku, mengapa tak kembali pada trek santri. Kini bukan aktif di organisasi, aku justru asik memikul gitar ke sana sini. Temanku tertawa, aku juga. Lalu kunyanyikan lagu Gaby, rumor yang beredar, lagu ini bicara soal kematian. Ia makin tertawa. Sial katanya, belum mati dinyanyikan lagu mati.

Teman musikku dari seluruh penjuru. Pandangan mereka pun beragam, mulai yang percaya akan Tuhan dan mengamalkannya, percaya pada hidayah yang belum datang menyambanginya, hingga yang percaya bahwa perkataan John Lennon ada benarnya juga. Terakhir yang akhirnya kutahu, yang percaya pada John Lennon itu ternyata hobi mengumpulkan koko takwa di Hari Raya. Langsung saja ia dilabeli kiai oleh sekelompok anak musik kami.

Yang paling kuingat tentang kawan musikku yang kebetulan seorang 'polyglot instrumen', adalah ia rajin menggelar sajadah di samping drum. Ia bersujud khusyuk meski temanku si Lennonisme sengaja terpengkur di atas sajadahnya. Si Lennonisme sengaja tak bangun hingga 15 menit dari sajadah ketika si Polyglot Instrumen sedang rukuk. Maka usai shalat usai, si Polyglot Instrumen mengejar si Lennonisme membabi buta. Tulang punggungnya mau patah, larinya pun terbata-bata berkat rukuk 15 menit lamanya.

Usai perjalanan singkatku di universitas ini. Langkah selanjutnya adalah dunia terbuka. Aku diterima menjadi jurnalis di sebuah stasiun televisi yang mengusung tema kekinian. Aku bekerja di bagian produksi tv, tapi rasanya ini bukanlah aku. Terkurung dalam kotak studio adalah bukan diriku. Sebulan tak lebih, aku mengundurkan diri. Kucari pengalaman baru di dunia cetak. Kembali sebagai seorang jurnalis.

Waktu demi waktu, perjalanaku makin membuka batinku. Kesalehan yang diinginkan ibunda, ternyata tersebar di mana-mana. Inikah jawaban dari persetujuannya tentang pilihanku?

Di sini, kutemui banyak sosok saleh yang tak lagi beratribut takwa. Tak lagi menjual murah nama-nama Tuhan. Di sini, kesalehan tak dituliskan dalam lembar ijazah. Di sini, kesalehan tak diumbar dalam sorot kamera. Di sini, kesalehan tak dimonopoli satu pihak saja.

Ini yang membuatku rindu pada masa laluku. Benar kata ibunda, tak ada salahnya menebar kebaikan pada siapapun. Karena kebaikan tak akan sia-sia. Seketika aku teringat dengan Ustaz N, aku akan menemuinya, bersilaturrahmi dan berdamai atas nama kebaikan.

Lalu tibalah aku di pesantrenku dulu. Kucari sosok itu dan kudekati dengan senyumku yang baru. Ia melihatku dan menatapku datar lalu berkata: dasar Wahabi!

Lalu pergi berlalu. Begitu saja.

Apa aku akan menyerah? Tidak akan. Ia guruku. Dan kata ibunda, menebar kebaikan kepada siapapun jua tidak akan sia. Akan kutemui ia, lagi dan lagi. Sampai ia mau, sampai ia sudi. Selebihnya, antara aku dan dia, biarlah Tuhan yang menilai.

With peace and love,
@sundakelapa90

Tidak ada komentar:

Posting Komentar