Jumat, 11 Desember 2015

Hijrah, Manusia, dan Alam

Perjalanan membawaku pergi ke banyak hal. Bukan hanya tempat, tapi juga pada manusia dan cerita. Berliku-liku ataukah mulus sebuah perjalanan, menjadi tidak penting lagi ketika saat kembali tak membawa secuilpun pelajaran hidup. Hari itu, seperti hari-hari yang lalu pada biasanya perjalananku, aku duduk berdesakkan di kereta Matarmaja tujuan Malang. Duduk di depanku seorang guru pramuka yang sibuk mengurus tingkah anak didiknya selama perjalanan di kereta yang banyak dihabiskan berloncat-loncat ala Spiderman, atau bernyanyi sambil berjoget ala 'Chaiya-Chaiya' di sepanjang lorong gerbong.

Aku duduk di kursi paling pinggir bersebelahan dengan jalan. Di seberang kursiku juga diisi anak-anak pramuka. Aku melirik ke arah belakang, ternyata seluruh gerbongku ditumpangi para anak pramuka, kisaran SD. Di gerbong depan yang kulongok dari kursiku, ternyata pun diisi oleh para anak pramuka. Mereka umumnya berpakaian ala pencinta alam dengan emblem sekolah yang dipasangkan di topi, kaos, dan sepatu mereka secara bangga. Ternyata, hari perjalananku dari Jakarta ke Malang ini berbarengan dengan rangkaian acara berupa perkemahan di Hari Pramuka Nasional yang digelar oleh Kemendikbud di Malang.

Satu, dua, hingga tiga jam lamanya telah kumaklumi kelakuan para anak pramuka yang menemukan fungsi lain kakiku sebagai pedal gas mobil yang bisa diinjak kapanpun tanpa ampun. Tapi jam-jam berikutnya, di saat perjalanan sampai penghujung malam, usai tawa dan nyanyian yel-yel dinyanyikan oleh mereka, mataku yang sudah tak tahan menahan kantuk harus terbuka lagi. Segerombol anak pramuka dari kursi lain tak henti-hentinya berjalan menelusuri lorong gerbong menuju toilet, mengantre. Satu dua tiga, hampir muka-muka yang sama yang rasanya selalu kembali melawat ke toilet. Keluar toilet mereka tertawa dan berkata-kata polos: keran airnya menyala! Luar biasa, padahal di kereta!

Pengalaman pertama. Begitu bahagianya bocah-bocah itu. Itu yang terbesit dalam benakku. Toliet kereta menjadi fantasi tersendiri bagi mereka. Mungkin seperti merasakan pipis di angkasa sana.

Tapi mataku sudah tidak kuat lagi, kakiku telah ditekuk berjam-jam lamanya, badanku telah sampai limitnya. Tak bisakah anak-anak itu mengerti tentang sedikit penderitaan ini? Ah, tapi mereka anak-anak, tak layak rasanya aku mengiba waktu pada mereka hanya untuk memejamkan mataku. Maka, kuambil Kitab Suci yang kubawa. Kubaca lafal dan terjemahannya, kuiingat-ingat sejenak memoriku tentang sebuah kisah. Sebuah hijrah. Hijrahnya Sang Baginda. Muhammad SAW.

Sepuluh tahun. Angka yang tidak terlalu banyak untuk jumlah waktu jika menyisakan jutaan warisan peradaban dan ilmu kepada dunia. Sang Baginda berhijrah dari Mekkah ke Madinah. Meninggalkan putus asa dan kecewanya terhadap sebuah Tanah Kelahiran dan kaumnya, menuju sebuah Tanah Baru yang penuh pengharapan. Di Tanah Baru itu, Yatsrib diubah namanya oleh Sang Baginda menjadi Madinah. Bukan hanya nama, di Madinah, Sang Baginda juga mengubah dunia.

Lahirlah pemikiran baru yang representatif pada zamannya dan diklaim hingga akhir masa. Sang Baginda memaknai perpindahannya dengan sejumput hikmah. Kebinalan bangsa Arab diaraknya dengan berbagai kasih dan makna. Diperkenalkan kemudian apa itu konstitusi dan peradaban madani. Sang Baginda dihina, lalu dipuji. Ditertawakan, lalu diagungkan. Kini, Sang Baginda terus hidup. Meski hanya ia yang mau menahan rasa sakit kematian semua umatnya, bahkan untuk yang belum lahir ke dunia sekalipun. Semua pencapaian itu dirasakan Sang Baginda berkat satu kata: perjalanan. Sang Baginda bermodalkan putus asa, tiada daya, dan tanpa arah ke Yatsrib. Namun di Yastrib, Sang Baginda kembali menemukan arti sebuah semangat, harapan, dan peradaban. Setidaknya, perpindahan dan perjalanan telah banyak memiliki peran yang sangat berarti bagi Sang Baginda.

Aku menutup memoriku akan semangat hijrah Baginda. Kututup juga Kitab Suci. Kuatur perlahan nafasku untuk menghalau letih yang menusuki seluruh tubuh. Di depanku, bocah laki-laki terpengkur khusyuk di samping gurunya. Aku pun terpukau khusyuk melihat kepolosan wajah bocah tersebut. Berkat kekhusyuanku itu, tak kusadari bocah yang duduk di sampingku telah lama menuangkan tinta liur alami dari mulutnya di pundakku. Aku terhenyak: hueeeeeeeeekkk.

Beginikah perjalananku yang diawali dengan semangat kece itu? Belum jauh melangkah, pundakku sudah jadi lahan gratis makhluk Tuhan yang tengah bebas berkreasi.

Detik demi detik berlalu, kali ini mataku memang terpejam, tapi telingaku tidak. Semua langkah kaki, perbincangan pelan guru pada muridnya yang memberi petuah agar jangan tidur mendengkur, suara rel yang berdesing, hingga suara petugas kereta yang menawarkan bantal berbayar masuk ke dalam pendengaranku. Semua. Tiada yang tidak. Maka kusimpulkan, aku tak tidur. Sama sekali.

Mana perjalananku? Mana arti hidup yang kucari itu? Aku terkurung di gerbong kereta, 14 jam lamanya.

Berlalu, malam itu. Pagi tiba dengan sinar matahari yang menyelinap masuk dari kaca jendela. Seketika toilet riuh lagi. Kali ini bukan hanya diisi oleh anak-anak pramuka, tapi juga guru, dan penumpang umum lainnya. Petugas kereta sibuk berjejalan di lorong-lorong gerbong, menawarkan teh hangat, kue, nasi goreng, minuman botol berbayar. Aku diam. Tak selera. Aku hanya ingin tidur. Tak ingin makan apalagi ke toilet. Tapi, baru saja nafsu tidurku datang, salah satu bocah pramuka tak sengaja terpeleset saat berdiri. Mie cup instant yang dipegangnya jatuh mendarat empuk di kakiku. Kuah panasnya membanjiri telapak kakiku. Aku merintih dengan segala gengsiku. Guru bocah itu segera menghampiriku dengan raut wajah bersalah dan mengatakan maaf berulang-ulang. Kukatakan aku tak apa, tapi ia tak percaya. Dimarahinya si bocah pramuka dengan berapi-api. Lagi dan lagi.
Suasana gerbongku makin tak karuan. Pasar dadakan ini sungguh membuatku sesak. Ayolah, Malang! Tiba-tiba rasanya aku ingin cepat sampai.

Ketibaanku di Malang pun akhirnya sampai. Kota yang sering kukunjungi ini, tak banyak berubah. Hanya aku, aku yang sedikit berubah. Aku ingat betul awal perjumpaanku dengan kota ini. Aku yang baru, menganggap diri sebagai orang asing. Takut dan tiada arah. Aku asing, butuh navigasi. Aku asing, butuh informasi. Aku asing, maka hanya sekejap di sini. Aku asing, pada akhirnya aku akan pergi dari sini. Tapi sekarang, aku adalah aku. Dengannya dan hidupku. Kali ini, setelah kupuaskan asa menikmati keindahan Bromo berkali-kali saat dulu, aku akan berjumpa dengan asa baru pada Bromo. Ah ya, Ijen juga. Di ujung Jawa sana.

Perjalanan ini, kumulai lagi. Bukan karena aku asing, tapi karena aku adalah manusia, bagian dari semesta. Tak ada kasta antara aku dan alam. Tak ada yang lebih tinggi dari nirwana. Karena di atas nirwana, masih ada nirwana. Bersama cinta, kucari makna hijrah.

With peace and love,
@sundakelapa90

Tidak ada komentar:

Posting Komentar