Jumat, 11 Desember 2015

Fenomena Masyarakat Massa

Antara Jonru dan Ade Armando, mana yang harus diikuti? Atau lebih tepatnya, mana yang lebih baik?

Menilai seseorang dari baik dan buruknya memang sulit, karena penilaian manusia tidak mutlak objektif. Namun yang perlu digarisbawahi pada tulisan ini bukan tentang yang demikian, tapi mengenai dampak yang terjadi di tengah masyarakat. Tentang dua tokoh tersebut atas pandangan-pandangan yang cenderung runcing, mengajak--kalau tidak dibilang memprovokasi.

Mari kita kupas. Secara kasat mata, kedua tokoh tersebut merupakan 'representasi' dua kubu yang bertentangan ideologi dan politik, utamanya pada dan pasca-Pilpres 2014. Jonru dengan Prabowo-nya, dan Ade Armando dengan Jokowinya. Mereka berdua saling melempar isu-isu yang kadang kontroversial di sosial media. Isunya tak lain dari pro dan kontra pemerintahan, entah seputar agama, politik, hukum, ekonomi, dan budaya.

Dari latar belakang, Jonru merupakan mualaf dan seorang penulis buku-buku populer. Salah satu karyanya--kalau saya tidak salah ingat--adalah "Jonru Tobat" (mohon dikoreksi jika salah). Dan secara gamblang, dia menyatakan diri sebagai simpatisan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Dia memiliki fanpage di Facebook dan media sosial lainnya. Pengikutnya cukup banyak, dan ikut aktif menyebarluaskan opini-opini Jonru. Mayoritas adalah simpatisan PKS, pengikut ormas-ormas Islam (ini hasil riset kecil-kecilan saya semasa insomnia. Iseng iseng, saya mengubrak-abrik dan berselancar bebas di dunia maya).

Opini yang dilempar ke publik tak jauh dari konspirasi Yahudi, Islamophobia di Indonesia, kristenisasi, dan Jokowi antek asing. Dengan data-data yang menurut saya 'asal comot' tanpa riset mendalam lagi.

Kedua adalah Ade Armando. Dia adalah seorang dosen komunikasi di Universitas Indonesia. Dulu, Armando merupakan simpatisan PKS era 2004 (saat PKS meroket unggul dengan jargon bersih dan peduli. Saat itu, memang cukup bersih). Kini, dia tidak berafiliasi dengan partai politik manapun, namun ia mendeklarasikan diri sebagai yang terdepan dalam membela pemerintahan Jokowi. Nyaris tanpa koreksi--kecuali saat kisruh KPK-Polri, Armando sedikit mengkrtik Jokowi (itupun secara halus dan 'ndalem'). Armando punya beberapa akun di sosial media, utamanya Facebook dan Twitter, ia sering melemparkan opininya. Hasil riset gila saya yg mengobrak-abrik dunia maya, Armando tidak punya pengikut yang signifikan. Bahkan mahasiswanya cenderung 'malu-malu' mendukung pernyataan2 Armando di sosial media. Dibanding Jonru, <em>haters</em> Armando lebih banyak ketimbang pengikutnya.

Berbeda dengan Jonru, Armando melempar opini yang sebaliknya. Gaya serampangannya dalam beropini sering membuat heboh. Misalnya soal langgam hip-hop, Jokowi adalah khilafah, dan gerakan anti ormas-ormas Islam radikal. Biasanya, Armando hobi melempar isu agama. Nyentil, tapi dia kurang memberi dasar yang berarti. Terlebih, baik Armando maupun Jonru, mereka jarang memberikan titik temu dalam perdebatan panas di akun media sosial mereka. Saya mencoba memahami, mungkin maksud kedua tokoh tersebut baik, hanya saja cara menyampaikannya kurang efisien. Terlebih, sosial media dibatasi <em>space </em>yang tidak memungkinkan orang untuk saling mengerti.

Hasilnya, <em>netizen </em>makin panas. Sengit dan meruncing. Tak jarang malah korbannya adalah sejarah dan budaya. Kenapa? Utamanya Jonru, dia hampir nyasar ke mana-mana jika mengangkat sejarah. Armando cukup pintar bermain dalam sejarah, tapi pengetahuan agamanya masih dibilang dangkal namun ia berani melemparkan opini tentang agama yang cukup nyeleneh. Begini, masyarakat massa tumbuh.

Dampaknya, persatuan dirasa musykil. Pesimisme tumbuh di mana-mana meski Pilpres 2014 telah usai. Fenomena masyarakat massa ini harus dicegah, diantisipasi, dan digerakkan dengan orang-orang yang ahli dan revolusioner agar peperpecahan dan pesimisme dapat diredam.

Berkaca pada dua tokoh tadi, rasa-rasanya sangat rugi jika kita masuk ke dalam arus deras fenomena massa itu. Satu hal yang pasti, anda boleh kritis terhadap pemerintah, tapi anda tidak boleh kehilangan optimisme terhadap bangsa. Anda harus bedakan itu. Ingat, ketika Soekarno bilang berikan aku 10 pemuda maka akan kugoncangkan dunia, apakah Soekarno lupa bahwa ketika itu, di antara 10 pemuda Indonesia, hanya satu yg bisa baca-tulis. Kira-kira jika bukan optimis terhadap bangsa, bagaimana mungkin Soekarno yakin akan mengguncangkan dunia dengan 10 pemuda yg sembilan di antaranya adalah buta huruf?

Maka ketika itu, meski banyak tokoh tokoh politik, seniman, dan budayawan Indonesia yang berbeda sikap politiknya dengan Soekarno, mereka mencoba merepresentasikan semangat Sang Bung itu. Meski berbeda pendapat, seniman seperti Affandi bahkan menerjemahkan semangat Bung Karno untuk menggelorakan semangat rakyat dengan kata-kata dahsyat: "Bung ayo Bung! Merdeka atau mati!"

Kritis terhadap pemerintah adalah sikap politik. Optimisme terhadap bangsa adalah proses meraih cita-cita. Jangan kehilangan itu. Salam Binneka Tunggal Ika. Salam Indonesia.

With peace and love,
@sundakelapa90

Cibubur, 25 Agustus 2015
Pukul 18:43 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar