Jumat, 11 Desember 2015

Menjelajah Dunia: Mimpi atau Ambisi?

Aku pernah berucap dalam hati dengan geram saat berada di sebuah kotak panjang bernama bus. Aku ingat betul saat itu usiaku baru beranjak tujuh tahun. Aku mengumpat dalam hati: "Betapa, oh betapa harus ku berada di bus ini? Mengapa tak kutolak saja tawaran ibu untuk ikut ke Pelabuhan Ratu? Aku menyesal. Kembalikan waktu 1 jam 25 menitku! Aku tak rela tersiksa karena mabuk darat ini. Aku mengutuk pencipta mobil, bus, dan kendaraan empat atau lebih. Betapa, betapa banyak dosa mereka padaku. Tuhan, hentikan bus ini! ". 

Begitulah kira-kira umpatanku. Aku mabuk darat. Itu yang kutahu. Setiap ibu atau paman-pamanku mengajak pergi berlibur, hatiku selalu riang. Aku selalu mengucap akan ikut--meski aku tahu betapa tersiksanya berada di dalam mobil selama perjalanan--aku tak peduli. Yang kuingat, aku selalu mengiyakan, dan selalu berakhir pada penyesalan. Seperti taubat sambal, ketertarikanku pada perjalanan dan kebencianku pada kendaraan darat selalu kukawinkan dalam ikatan terlarang. 

Aku kawan, adalah anak Betawi. Aku lahir di pinggir Jakarta. Bahkan beberapa mereka menyebut aku dan orang-orang sekitarku adalah orang Betawi Pinggir. Tak peduli, biarlah mereka memanggil kami sesuka hati. Di Cibubur ini, kami bahagia. Bukankah, itu saja tugas manusia? 

Kendaraan darat--kecuali motor--adalah barang yang sangat kukutuk. Dari situlah dulu, tak pernah terbesit dari benakku tentang pergi melangkah keluar dari kampungku. Pergi berarti harus berurusan dengan kendaraan darat. Itu artinya, aku sama saja menjadikan diriku sebagai umpan untuk ikan hiu. 

Waktu terus berjalan. Hari berganti, dan semakin banyak saja orang berdatangan ke kampung kami. Nama mereka bermacam-macam: Suparjo, Nainggolan, Nasution, dan lainnya. Tak hanya nama-nama asing yang membanjiri kampungku, kendaraan-kendaraan pribadi mereka yang dikandangi di garasi rumah adalah hal yang paling membuatku alergi. Mereka pergi bekerja dengan mobil, begitupun untuk kembali ke rumah. Saat itu, aku menjadi orang yang paling pandai berayukur pada Tuhan. Kukatakan, setidaknya aku dilahirkan sebagai miskin, tapi selama tak berurusan dengan kendaraan darat, beruntunglah hidupku. 

Kedatangan orang-orang itu, saat itu, sama sekali tak membuatku berani berimajinasi jauh bahwa kelak aku akan pergi meninggalkan kampung halamanku. Berpergian dengan bus, atau berdamai dengan mobil dan bertamasya ke suatu daerah. Aku? Mengapa harus aku pergi dari kampungku. 

Tuhan berkata lain. Ternyata meski di hati dan mulut aku mengumpat tentang perjalanan, nuraniku berkata lain. Diam-diam aku kagum dengan buku peta fotokopianku. Kupandangi peta itu berkali-kali, tiap-tiap waktu senggangku. Imajinasiku berjalan perlahan, kemudian meloncati batas yang telah kupagari dengan sempurna. Imajinasi itu menangkap sebuah pulau bersebelahan dengan Jawa: Sumatera. Svarnadwipa! 

Ada apa di Sumatera? Apa kelak akan kujumpai dan kenal secara pribadi dengan orang-orangnya? Bukankah aku telah banyak bertemu dengan orang Medan di kampungku sendiri? Lalu kenapa harus Sumatera yang menjadi keinginanku? Ada apa saja di Sumatera? Ah, tapi bukankah telah kutemui separuh punggung Sumatera itu? Beberapa lagu tradisional Minang aku hapal, lagu tradisional Batak juga, dan warung nasi Padang bahkan setiap tikungan di kampungku ada. Orag Aceh hingga lampung, banyak bekerja di perempatan jalan besar Cibubur. Lalu, mengapa harus Sumatera? 

Dari semua tanya itu, Tuhan menuntunku berjalan dan menapaki tanah-tanah baru: seluruh Jawa, Bali, hingga Asia Tenggara. Kalaulah ini bukan mimpi, maka ambisi ke Sumatera akan kulunasi. 

Dengan cinta, aku akan pergi.

With peace and love,
@sundakelapa90

Cibubur, 18 November 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar