Jumat, 11 Desember 2015

Antara Pesona dan Makna Kawah Ijen (Part 1)


Malam menyambut kedatanganku dan seseorang (baca: My Special One) di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi. Malam itu, mungkin pertama kalinya aku menyaksikan aktifitas pelabuhan pada malam hari. Truk-truk pengangkut barang, bus malam, hingga van travel berseliweran mencari barisan pada antrean masuk ke kapal. Belum lagi petugas pelabuhan yang menjaga pintu masuk gerbang pelabuhan, ojek-ojek pengantar pejalan kaki dari dan ke pelabuhan, serta petugas karcis pintu masuk yang membuat malam seolah berubah makna menjadi siang. Sibuk, sibuk, dan sibuk. Itulah gambaranku tentang aktifitas pelabuhan ini di malam hari.

Aku bergantian dengan My Special One menjaga barang untuk kemudian menunaikan kewajiban kami sebagai seorang muslim. Aku yang mendapat giliran pertama menjaga barang, duduk di teras musala. Dari tempat dudukku, kulihat kapal besar pengangkut manusia dan hajat keperluannya menyebrang ke Gilimanuk, Bali. Kontras budaya terasa jelas di perbatasan dua pulau ini. Antara Timur Jawa dan Barat Bali, antara Islam dan Hindu. Sekejap, baik dari Bali ke Banyuwangi ataupun sebaliknya, semua kekontrasan itu terlihat pada sebuah salam yang begitu syahdu. Dari swastiastu menjadi assalamualaikum, begitupun sebaliknya. Dari situ, aku tenggelam dalam memorial politik pra-Indonesia.

Islam memang berkembang pesat di Pulau Jawa karena berbagai faktor. Dari politik hingga penanggalan tradisi yang dianggap sudah tidak sesuai lagi. Kasta dalam ajaran lama dan tradisi nenek moyang yang tidak relevan pada zamannya (seperti tradisi mewajibkan seorang istri menceburkan diri ke dalam api jika sang suami telah mangkat) adalah salah satu alasan mengapa Islam mulai diterima di kalangan rakyat Jawa. Menyebarnya agama Islam di tanah Jawa juga tak lepas dari peran para ulama yang datang dari dataran Tiongkok dan India sebelum akhirnya perjuangan tersebut dilanjutkan oleh ulama asal Arab yang kebetulan mendengar kabar dari para jamaah haji asal Nusantara tentang perkembagan Islam di tanah Jawa.

Menurut Sastrawan Indonesia Pramoedya Ananta Toer dalam roman sejarah karya masterpiece-nya Arus Balik, penyebaran Islam di tanah Jawa tak lepas dari kepentingan raja-raja Jawa untuk berekspansi mencari wilayah yang dapat dikuasai sebagai daerah kekuasaan. Untuk mencapai itu, agama Islam yang tengah populer menjadi moda raja-raja Jawa untuk mengakomodir keperluan politiknya. Meski dengan taktik ini, Nusantara justru terpukul mundur oleh kemahagagahan Portugis yang telah menguasai Malaka dan lanjut ke Maluku hingga tanah Jawa. Kegagalan mempertahankan Nusantara tentu tak satu alasan saja, menurut Pram, pemikiran sekterian dari raja-raja Jawa dan Nusantara masa itu adalah salah satu faktor yang paling krusial yang membuat Nusantara terpukul mundur berada dalam genggaman Portugis dan bangsa-bangsa Atas Angin.

Lepas dari itu semua, sebuah pertanyaan justru muncul, mengapa Islam tak menjadi agama mayoritas di Bali? (Artikel tentang mengapa Islam bukan menjadi agama mayoritas di Bali, dapat anda baca pada postingan saya yang lain).

Lamunanku tentang memorial pra-Indonesia terhenti ketika My Special One datang dan mempersilakanku untuk menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim.

Usai itu, aku dengannya berjalan keluar dari Pelabuhan Ketapang menuju kantor travel yang rencananya akan menjadi mitra kerjaku. Dari perbatasan Jawa-Bali itu, aku bersamanya akhirnya menuju Kawah Ijen dengan jeep bersama dua turis laki-laki asal Malaysia beretniskan Tiongkok. Di perjalanan yang gelap menuju Paltuding, aku tak henti-hentinya memerhatikan jalan. Mulai dari suasana pusat Kota Banyuwangi, hingga daerah pegunungan Paltuding. Dari semua pemandangan sepanjang jalan itu, ada kesamaan yang kulihat antara jumlah pohon dan jumlah spanduk Pilkada: sama-sama banyak.

Dingin mulai menusuk, utamanya ketika kami mulai mendekati kaki gunung Ijen. Gelap pekat suasana malam memasuki hutan menuju Ijen. Sopir jeep sibuk mencari kaset dvd mana lagi yang mesti diputar, karena dari semua kaset yang dimilikinya dalam jeep, semua memiliki suara yang beragam: zzzzzttt! Kusut. Namun akhirnya setelah susah payah mencari, dia tersenyum puas dan mulai bersenandung: cublak cublak suweng, suwenge ting gelenter... sir sir pong dhele kupong. Turis Malaysia yang duduk di sebelah sopir megap-megap sendiri mendengar lagu dari kaset yang dinyanyikan oleh sopir dengan intonasi anak tangga yang melipir ke atas. Melengking seperti aungan srigala. Barangkali ketimbang disebut menyanyi, sopir itu lebih terdengar seperti suara bintang film permen Hexos. Teriak melengking sambil bilang: segaaaaaar.

Akhirnya setelah diiringi suara melengking si sopir, kami tiba di pintu masuk pendakian Gunung Ijen. Aku yang tengah mencoba memakai masker tiba-tiba diberitahu oleh My Special One bahwa nafasku mengeluarkan 'asap'. Aku tertawa, tiap kali ke tempat dengan suhu dingin dan mengeluarkan 'asap' begini ketika bernapas, sensasi Eropa atau pegunungan es Himalaya seolah sudah pernah aku rasakan.

Seperti umumnya etnis Tiongkok di Malaysia, kedua turis Malaysia yang menjadi kawan perjalananku ini pun sulit menggunakan bahasa Melayu. Maka sesekali, aku mencampur bahasa Indonesiaku dengan bahasa Inggris untuk memudahkan komunikasi. Yang satu bernama Tjen dan yang satunya bernama Han. Sambil menunggu antrian daftar mendaki, aku mengisi waktu dengan diskusi yang tengah ramai diperbincangkan ketika itu tentang Malaysia. Kukatakan, bagaimana perkembangan demonstran yang menuntut Najib mundur karena skandal korupsinya dan kukatakan juga pengalamanku saat berbincang dengan anak dari Pemimpin Oposisi Malaysia Anwar Ibrahim yang beberapa waktu lalu datang ke Jakarta. Tak dinyana, entah mengapa justru Tjen malah balik bertanya perihal bencana asap yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan yang juga berimbas ke negaranya. Entah karena Malaysia masih terkungkung dalam cengkraman rezim otoritarian, atau karena isu korupsi adalah aib bagi negara mereka, atau mungkin asap yang menyebabkan negaranya susah adalah karena semata disebabkan oleh pemerintah Indonesia dan rakyatnya sehingga membuat Tjen nampak mengalihkan pembicaraan ke arah yang ia suka.

Aku mencoba mengerti, akhirnya kualihkan juga pembicaraan mengenai pakaian mereka yang begitu santai menghadapi gunung. Hanya berkaus oblong pendek dan tanpa masker! Sungguh, belerang Ijen menyengat luar biasa, bukan? Mereka hanya tersenyum-senyum sambil mengatakan: dont worry, dont worry, we'll fine.

Pendakian itu pun tiba. Awal mendaki, aku masih bisa menyamai langkah Tjen dan Han. Bahkan aku masih banyak tingkah dalam masalah penampilan seolah bilang: akulah anak gunung. Langkah selanjutnya, aku terseok, tenggorokanku tercekat, nafasku tersengal. My Special One berjalan pelan-pelan menungguku, Tjen dan Han yang sudah jauh di depanku terlihat berhenti menunggu langkahku berjalan cepat kembali. Usai menyamai langkah mereka, kami memulai langkah bersama lagi. Kemudian akhirnya aku terseok lagi, tercekat lagi tenggorokanku, nafasku tersengal satu satu, aku merengek minta berhenti sejenak, My Special One melarang. Katanya jika sudah berhenti mendaki, akan sulit untuk memulainya lagi. Aku menurut dan mencoba lagi. Lagi dan lagi. Hingga akhirnya aku melihat Tjen dan Han yang penuh semangat memburu blue fire terlihat iri dengan turis-turis mancanegara lainnya yang berjalan dengan kecepatan luar biasa. Akhirnya kupersilahkan mereka berdua untuk berjalan lebih dulu.

Langkah demi langkah kutempuh dengan sulit. Tiap langkah yang mampu kulewati bagaikan sukur yang tiada terkira kepada Illahi. Mengapa, oh mengapa kaki ini tidak menuruti perintah tuanya? Mengapa ia tak bergerak sesuai mauku? Aku mengeluh dan berpeluh. My Special One mementoriku--lebih tepatnya memarahiku. Akhirnya, aku menyerah sesaat usai buang hajat, aku memutuskan beristirahat sejenak. Namun kemarahan My Special One mengingatkanku kembali akan puncak dan blue fire itu. Maka, aku harus berjalan lagi. Lagi dan lagi. Sampai puncak, sebelum fajar tiba.

Trek menuju puncak tak seolah tak ada perhentiannya. Kutengok jurang di sampingku yang terlihat gelap pekat, begitu menyeramkan. Tak terbayang bagaimana rasanya tergelincir ke sana. Aku hanya menyisakan nama. Tapi aku tidak peduli dengan ketakutanku terhadap ketinggian, yang kutahu aku harus berjalan sampai puncak dan kawah. Pasir dan debu gunung yang dingin, seolah menyibak kakiku yang beralaskan sandal tanpa kaus kaki. Aku tak peduli lagi pada suhu dingin, seolah itu sudah menjadi kawan karibku sendiri. Yang kupedulikan hanya kaki ini, sulit sekali dikontrol oleh kerja otakku.

Berjalan, terseok, jatuh, dan bangkit kemudian menghantarkanku ke puncak Ijen. Fajar belum terbit, tapi blue fire telah menghilang. Aku gagal. Tapi My Special One mengingatkan bahwa masih ada keindahan lainnya dari Ijen ini, tak cuma blue fire. Jika mengumpati kegagalan, segala keindahan akan menjadi sasaran kebinalan keputusasaan. Maka tak akan ada lagi tempat di hati untuk bersyukur.

Kutunaikan dua rakaat mengikuti barisan jamaah subuh di atas Ijen. Saat aku tengah bertayamum, seorang laki-laki minta diajari cara bertayamum padaku. Katanya, ia tak tahu cara bertayamum. Lalu, kuajari ia pelan-pelan dan kami masuk barisan salat. Usai salat, hatiku tergugah. Keindahan menjadi pendorong yang indah bagi seseorang untuk mendekati Tuhannya. Aku berpikir, jika tiap hati manusia diisi hikmah dan kedamaian, maka tak ayal hanya selalu ada pikiran di hatinya untuk terus bercumbu dengan Tuhan. Namun sebaliknya, jika di hati hanya tertanam kebencian, maka patutlah dipertanyakan kembali perihal cintanya kepada Tuhan.

Tak ada salahnya kuucapkan: fabiayyi ala'i Rabbikuma tukaziban.

Dari Ijen, begitulah Tuhan menuntun manusia. Meski harus terseok, mengeluh, jatuh, dan kemudian bangkit lagi adalah sebuah proses yang harus dijalani dengan sukur. Tiada Tuhan membenci, Tuhan hanya menyayangi. Hanya jika manusia mau mengerti.

With peace and love,
@sundakelapa90

2 komentar: