Selasa, 22 Desember 2015

Kesalehan Individual dan Sosial

Menarik disimak geliat semangat masyarakat muslim Indonesia berlomba dalam berlaku saleh. Dari sosial media saja, akun-akun dakwah yang jumlahnya bejibun laris manis disukai agar followers dapat mengikuti perkembangan dakwah yang disampaikan. Tak sedikit bahkan yang me-reshare kiriman dari akun-akun dakwah tadi. Dari dunia sosial nyata, masjid pada kenyataannya telah ramai. Baik digunakan sebagai keperluan jamaah, mengaji, hingga tren baru-baru ini: itikaf. Belum lagi tren berumrah dan haji yang gairahnya tak pernah putus. Hal itu sedikit banyak didukung dengan banyaknya penerbangan murah serta inovasi kebijakan penerbitan visa oleh pemerintah Arab Saudi. Kebijakan visa itu salah satu yang menjadi primadona bagi kalangan usaha travel dalam menggenjot umat muslim Indonesia untuk berangkat ke Tanah Suci. Tak peduli untuk satu, dua, tiga, atau berkali-kali umrah dan haji sekalipun.

Namun sayangnya, kesalehan individual ini justru tak berimbang dengan kesalehan sosial masyarakat muslim Indonesia. Kesalehan sosial seperti berkreasi, membangun relasi muslim-non muslim, menggagas riset untuk keperluan jangka panjang, mempertajam olah pikir, hingga ikut serta dalam kompetisi teknologi dan sains global nyatanya masih belum banyak dikerjakan oleh masyarakat muslim Indonesia. Gerakan lembaga amal dan zakat yang ada pun belum banyak yang berorientasi pada pemberdayaan umat, tapi hanya memberi solusi jangka pendek yang kurang solutif. Maka tak heran, lembaga amal dan zakat ramai diartikan oleh masyarakat Indonesia sebagai lahan amal ketika hari-hari besar Islam saja. Lagi-lagi, kesalehan individual lebih menonjol di sini.

Kesalehan individual yang tidak dibarengi dengan kesalehan sosial sedikit banyak akan menutup ruang pemikiran. Umat cenderung konservatif dalam mengartikan baku suatu permasalahan. Tak sedikit bahkan, pergerakan dari kesalehan individual pun dimanfaatkan oleh kelompok politik. Menjadikan ranah kesalehan individual mau tak mau dicekoki satu kepentingan politik tertentu dan mendiskreditkan yang lain.

Antara kesalehan individual dan sosial, sebenarnya adalah interpretasi dari ajaran Islam berupa hablu mina-Allah wa hablu min an-nas. Menarik disimak mengenai konsep ini dalam salat. Di mana pada takbiratul ihram, konsep hablu mina-Allah disimbolkan dengan mengucap Allahu Akbar. Sementara di penghujung gerakan salat, terdapat gerakan salam yang menengok ke kanan dan kiri. Sebuah simbol akan pentingnya kepedulian sosial atau relasi manusia dan sekitarnya (hablu min an-nas). Jadi secara filosofis, gerakan salat merupakan simbol dari pentingnya memupuk tauhid (hablu mina-Allah) dan bertindak untuk sekitar (hablu min an-nas). Bahkan Islam menganjurkan, seorang muslim adalah seseorang yang dapat merasakan kepedihan dan kesulitan orang lain. Namun apa jadinya jika kita hanya berlomba memupuk kesalehan individual saja? Pentingnya kesalehan sosial juga harus ditekan agar menimbulkan efek jangka panjang dalam kelangsungan umat. Maka sudah saatnya kita untuk bergerak, namun jangan lagi bergerak dalam konsep yang jangka pendek.

Misalnya, menyantuni anak yatim dengan memberikan sejumlah uang di hari-hari besar Islam atau hari lainnya tanpa orientasi jelas akan digunakan apa uang itu, adalah sebuah solusi yang keliru. Namun jika uang amal dan zakat yang diperuntukkan anak yatim dikelola dengan baik sebagai pendidikan, pengembangan skil, hingga dana riset yang dilakukan anak-anak yatim, maka ke depan umat muslim Indonesia akan kuat dan memiliki jiwa yang kompeten. Dari yatim-yatim yang diberdayakan dengan baik oleh umat, bukan tidak mungkin kelak akan muncul sosok ilmuwan yang menguasai tafsir Al Quran tanpa mengesampingkan relasi dengan umat beragama lainnya.

With peace and love,
@sundakelapa90

Cibubur, 23 Desember 2015
Pukul 08.13 WIB

Sabtu, 19 Desember 2015

Antara Pesona dan Makna Kawah Ijen (Part 2)

Mimpikah aku ini? Mimpikah?

Manusia macam apa yang mampu membawa beban 80 kilo sambil turun-naik gunung? Mimpikah aku? Tidak! Kupastikan diriku bahwa aku sama sekali tidak bermimpi. Aku melihat mereka--para penambang belerang Kawah Ijen--memikul belerang seberat 80 kilo turun-naik gunung. Sebelum fajar tiba, hal inilah yang kujumpai begitu tiba di Puncak Ijen. Kalau saja aku punya riwayat penyakit jantung, mungkin aku harus di-opname karena kekagetanku terhadap para penambang belerang yang luar biasa ini.

Seusai mengambil gambar, My Special One menunjuk ke arah kawah yang masih terbilang gelap, namun tidak pekat. Di sana--meski samar--terlihat  sisa-sisa blue fire yang padam berkat perpindahan cahaya matahari yang berjalan perlahan menghampiri Ijen, mengisyaratkan pagi. Dia mengajakku untuk menuruni kawah karena melihat banyak para pendaki yang juga turun ke kawah. Tapi aku? Tak tahukah My Special One itu tentang kakiku? Andai Go-Jek beroperasi di Puncak Ijen, aku akan memesan layanan antar paket untuk memaketkan My Special One ini ke negeri antah-berantah. Teganya ia...

Akhirnya, dengan kaki yang separuh bernyawa, aku dan dia berjalan turun ke bawah. Selang tak lama berjalan, kami melihat Tjen dan Han yang tengah asik mengambil foto dengan kamera DSLR-nya. Aku bertanya hal yang jawabannya sudah kuraba kepastiannya, tentang apakah mereka sempat menyaksikan blue fire atau tidak. Dengan senyum puas mereka menjawab iya. Tentu, itu merobek hatiku. Tapi, biarlah, toh aku masih bisa melihat blue fire di kompor gas rumah milik ibuku (menghibur diri). Dan mereka juga mengatakan bahwa mereka baru selesai dari pusat kawah. Kesimpulanku tentang mereka: mereka siluman yang menguasai ilmu menghilang dan berpindah dengan cepat.

Langkah demi langkah tiba-tiba aku bersemangat, entah kenapa. Padahal awalnya aku mengeluh tak kuat berjalan turun menelusuri bebatuan untuk mencapai kawah, bukan My Special One. Tapi kali ini dia justru yang kehilangan gairah--bukan semangat--untuk turun ke pusat kawah. Entah, mungkin karena aku terlalu bersemangat dengan pusat kawah, akhirnya dia menurut juga ikut mauku.

Kami berjalan, memilah-milah dataran yang sedikit bagus untuk ditapakkan oleh telapak kaki kami. Kontur dataran yang berbatu membuat kaki bagai diberi pijat refleksi gratis yang menyakitkan. Kupikir tadinya, saat melihat dari atas puncak, pusat kawah cukup dekat dan aku tak masalah berjalan untuk mencapainya. Tapi setelah kujalani, ternyata untuk mencapai pusat kawah, jalan berbatu dan berkelak-kelok amat menguras energi. Aku kembali mengeluh, tenggorokanku kembali tercekat. My Special One ternyata lebih lamban sedikit dariku sambil mengusap peluh (akhirnya aku menemukan tanda-tanda manusia pada dirinya. Dia kelelahan juga!). Tapi kami terus berjalan, berjalan, dan berjalan menuju hamparan ciptaan Tuhan yang tersaji di depan mata.

Setelah berpeluh, akhirnya kami sampai di pusat kawah. Dari sini, kami melihat jelas asap belerang menutup seluruh tubuh para penambang. Mereka para penambang, melawan terpaan asap belerang dan kemudian mencungkil belerang yang mengeras dengan linggis secara hati-hati. Bau belerang yang begitu pekat, membuatku enggan untuk melepas masker. Tapi, oh seribu tapi, tak sedikit dari para penambang yang tak menggunakan masker! Aku heran, kaget, takjub, sekaligus marah. Mengapa? Masker adalah benda yang paling mendasar sebagai penunjang kelancaran kerja para penambang, tapi mengapa masih banyak para penambang yang mengabaikannya? Apakah karena mereka sudah terbiasa dengan medan dan kondisi ini? Katakanlah iya, tapi tubuh tetaplah tubuh. Seberapa kuat dan lama tubuh mereka menghirup bau belerang, manusia kadang sulit untuk memprediksinya, bukan? Melihat itu, aku tak dapat berkata-kata lagi kecuali doa dalam hati akan keselamatan para penambang.

Belerang, kawah, penambang, dan turisme. Apa? Apa yang membuat manusia dan alam ini bertemu dalam satu tempat dengan misi yang berbeda? Belerang dan kawah adalah identitas Sang Ijen, begitulah statusnya kuat. Sementara penambang belerang mendaki dan turun Ijen demi menyambung nyawa dan mungkin menyambung cita-cita. Lalu kami para turis? Apa yang kami lalukan di sini? Menikmati keindahan alam? Membuktikan diri sebagai anak gunung? Mencari eksotisme pegunungan? Atau mensyukuri ciptaan Tuhan? Kami berbeda misi meski berada bersama dalam satu waktu dan tempat. Turis menyapa penambang, penambang mencungkil belerang. Turis memotret segala objek yang baginya menarik. Manusia, alam, dan mungkin juga tentang kedamaian. Sementara penambang mencoba mencari tambahan sampingan--mengukir belerang menjadi cinderamata sederhana, namun jika tidak berhasil menjajakannya, terpaksa kembali pada profesi utama--memikul 80 kilo belerang naik turun Ijen. Kami berinteraksi, saling berburu kebutuhan masing-masing. Tegur dan sapa antara Ijen, penambang, dan turis dalam seketika akan berakhir. Turun gunung, semua turis kembali ke jeep, sementara penambang akan bertemu lagi dengan turis-turis lainnya. Senyum sapa tadi, berakhir. Seperti tak pernah ada. Secuil ingatan mungkin yang tersisa: Ijen begitu indah.

Ah, aku tak pernah menemukan jawaban atas pertanyaanku: mengapa alam, penambang, dan turis bersua dalam satu waktu dengan misi yang berbeda? Biarlah. Bukankah tak semua pertanyaan membutuhkan jawaban. Dan tidak semua jawaban dari pertanyaan adalah tentang kebenaran.

Kami mulai menanjak ke arah puncak untuk kembali turun ke kaki gunung. Tiap turis yang melihat penambang mendaki sambil memikul 80 kilo belerang, dengan cepat dan sigap langsung memberi jalan mempersilakan lewat terlebih dulu. Begitu dengan turis lain, kami pun begitu. Rasanya, melihat otot-otot keras di bahu para penambang yang memikul 80 kilo belerang, membuat pertanyaan lain dari kekagetanku di awal melihat penambang memikul 80 kilo belerang tak bisa dibendung. Akhirnya, kuberanikan diri untuk bertanya dan berbincang kepada para penambang. Kukatakan pertanyaan-pertanyaan mendasar mulai kapan dan berapa kali naik-turun Ijen untuk menambang. Jawaban mereka beragam, ada yang memulainya sejak usia belia, ada juga yang memulainya ketika tidak ada lagi pilihan pekerjaan lain. Namun, umumnya penambang hampir sepakat menjawab, dalam sehari mereka bisa naik-turun Ijen sebanyak 2-3 kali dengan total penghasilan maksimum 150.000 rupiah!

Aku tak habis pikir. Pekerjaan yang menguras tenaga dan mengundang maut ini hanya menghasilkan beberapa receh rupiah. Salah satu penambang bahkan sempat mengatakan padaku tidak tahan dengan bau belerang yang menyengat. Dari semua cerita mereka, akhirnya aku berkesimpulan untuk sedikit membuka perspektif mereka akan rezeki. Kesimpulanku itu kusampaikan: mengapa tidak mencari pekerjaan lain?

Jawaban salah satu penambang membuatku bungkam. Aku merasa konyol dan malu telah berkata demikian. Sambil menghapus peluh, salah satu penambang menjawab bahwa profesi sebagai penambang adalah profesi terbaik saat itu yang didapatnya. Dengan pekerjaan itu, katanya, adalah satu-satunya cara bagi mereka bisa mendapatkan rupiah besar tiap harinya. Bagi mereka, 150.000 untuk naik-turun Ijen sambil memikul 80 kilo belerang adalah nikmat yang tak terhingga. Karena dengan itu, mereka bisa mendapatkan rupiah besar. 150.000 rupiah dibawa pulang. Itulah rupiah besar mereka. Dan mereka menikmatinya.

Seketika, aku mengutuki diriku. Aku yang menghasilkan 250.000 rupiah lebih dalam sehari berkat satu atau dua tulisan reportase, bahkan hampir tak pandai dalam merepresentasikan syukur. Tapi penambang ini, penambang yang memikul 80 kilo belerang ini, mensyukuri nikmat rupiah besar yang diperolehnya berkat menjual tenaga. Tenaga yang bahkan mereka tak tahu kapan limitnya akan habis. Ya, lagi lagi aku ditampar. Di sini, kuucapkan lagi sekeras-kerasnya di hati: fabiayyi ala'i Rabbikuma tukaziban.

Bersama sejuta pelajaran yang Ijen beri, aku bersyukur tiada henti. Dengan syukur ini, kuturuni Ijen dengan hati bangga. Lihatlah, My Special One tertinggal jauh di belakang. Dia bahkan mengeluh, merintih lelah, dan tak kuat menahan beban tubuhnya yang menuruni gunung. Kali ini, dengan manusia ini, rasa-rasanya tak ada salahnya aku merasa bangga sendiri karena perkasa dalam jalan turun dari Ijen. Tapi tahukah, meski manusia ini sedikit banyak menyebalkan, entah mengapa aku rela merangkulnya. Membantunya untuk melangkah turun dari Ijen, hingga mencarikan batang kayu sebagai tongkat pembantu langkahnya.

Ah, Ijen juga memberi pelajaran lain padaku dalam menyayanginya. Terima kasih telah menemaniku, My Special One. Terima kasih juga untuk para pembaca.

With peace and love,
@sundakelapa90

Cibubur, 19 Desember 2015
Pukul 20.21 WIB

Kamis, 17 Desember 2015

Megapower Diversitas Indonesia

Akhir-akhir ini berita di media dipenuhi wajah Setya Novanto dan juga dagelan DPR soal revisi Undang-Undang KPK. Hampir semua space diisi oleh berita-berita yang itu saja. Sedikit sekali gegap-gempita media memberitakan tentang peluncuran pesawat anak bangsa olahan PT Dirgantara N-19 dan satelit buatan Lapan A2/Orari.

Kadang saya berpikir, Indonesia adalah negara yang unik. Unik bukan karena keragaman budaya dan lainnya itu, tapi unik dalam menghasilkan generasinya. Ada generasi pembangun yang mencipta dan berkreasi, dan di saat yang bersamaan ada juga generasi penghancur yang menciptakan kegaduhan negeri. Dan mirisnya, antara si kreator dan si penghancur, justru si pengancur lah yang mendapatkan panggung besar di kancah nasional. Unik atau lucu? Entahlah.

Memang, lembaga legislatif adalah lembaga strategis dalam menentukan ke mana negara ini akan melaju. Jadi wajar jika orang berdalih, itulah mengapa porsi panggung untuk anggota legislatif besar. Sedikit banyak saya setuju dengan dalih demikian, tapi menjadi geli sendiri rasanya jika ada seorang anggota DPR yang mengatakan bahwa pada
kenyataannya, rakyat tidak menginginkan Novanto dihukum. Pernyataannya itu dimuat di media sebagai konsumsi publik, membuat saya mengoreksi lagi arti 'panggung besar' itu. Hallo? Are you alien from Mars, Mr. F**** H?

Padahal, jika panggung besar itu diberikan kepada sebesar-besarnya riset dan teknologi, Indonesia bisa meraih swasembada di semua sektor. Siapa tahu, dengan porsi panggung yang lebih besar di sektor riset dan teknologi, banyak dari generasi penerus bangsa yang bercita-cita melahirkan kreasi dan inovasi untuk negeri, bukan hanya bercita-cita duduk di kursi parlemen yang pada kenyataannya, hampir semua cita-cita anggota dewan di parlemen tergerus oleh kepentingan pribadi dan kelompok yang cenderung pragmatis. Tentu, selain panggung besar, riset dan teknologi juga butuh dukungan hukum dan anggaran. Tanpa ini, riset dan teknologi akan sulit menciptakan budaya produksi demi meningkatkan daya saing.

Permasalahannya, sudah siapkah seluruh pemangku jabatan di negeri ini untuk berubah? Menatap masa depan dan menyingkirkan ego pribadi? Bekerja pada posisinya masing-masing untuk kepentingan negeri? Ini tantangan besarnya.

Indonesia dengan segala potensinya memiliki masa depan yang sangat cerah jika diberdayakan dengan benar. Dengan lebih dari 17.000 pulau dan 2/3 wilayah perairan, Indonesia dianugerahi sekitar 10% total spesies flora di dunia (mencakup 38.000 spesies), 12% spesies mamalia yang mencapai 515 jenis termasuk mamalia langka seperti orangutan, harimau Sumatera, dan komodo yang hanya satu-satunya komunitasnya yang tersisa di dunia. Indonesia juga memiliki 17% dari macam spesies burung yang ada di dunia. (Iskandar: 2015).

Dengan ini menasbihkan predikat pertama Indonesia sebagai the world's center of agroindustry yang memiliki tanaman budidaya (plant cultivar) dan unggas budidaya (domesticated livestock) terbesar di dunia. Masih banyak lainnya, dari ragam spesies bunga dan tanaman, keragaman biota laut, hutan hujan tropis terbesar ketiga di dunia setelah Brasil dan Kongo adalah modal yang sangat besar bagi Indonesia untuk dapat menjadi bangsa yang mandiri dan berswasembada di semua sektor.

Satu virus yang diteliti dan dikembangkan saja oleh para ahli, Inonesia mendapatkan income fantastis berkisar miliaran rupiah. Bagaiamana jika 10, 100, 1000 virus? Tak terbayangkan lagi bagaimana makmurnya rakyat Indonesia ini. Bagaimana menanamkan cita-cita merangkul biodiversitas Indonesia memang tidaklah mudah. Stigma tentang profesi petani dan nelayan yang rendahan, membuat masyarakat Indonesia pada umumnya meninggalkan profesi tersebut dan lebih memilih sebagai pekerja kantoran. Dan mirisnya, banyak dari perusahaan-perusahaan asing yang bertengger di Indonesia. Padahal negara mereka--contohnya Amerika--tengah menggenjot bio ekonomi dan life science. Dan Indonesia adalah surga empuk riset hayati yang menjadi target mereka.

Bagaimana dengan kita? Bangsa Indonesia sendiri dalam memperlakukan karunia Tuhan ini?

Semoga kelak lahir banyak profesor riset hutan, flora, fauna, dan laut yang dapat memberdayakan petani, kesehatan, dan nelayan Indonesia. Semoga. Percayalah, harapan itu selalu ada bagi orang yang percaya. Sumber daya manusia kita tak kalah hebatnya dari diversitas hayati yang ada. Itu salah satunya sudah dibuktikan oleh PT Dirgantara dan Lapan dalam peluncuran N-19 dan A2/Orari baru-baru ini. Semoga selalu optimis semua dari kita untuk berkarya demi negeri.

With peace and love,
@sundakelapa90

Jakarta, 18 Desember 2015
Pukul 14.05

Selasa, 15 Desember 2015

Jakarta The Queen of The East (Part 1)

Meski aku tak dibesarkan di pusat Kota Jakarta, namun sedikit banyak aku mencoba mengerti akan kota ini. Manusianya, tanahnya, bangunannya, hingga pesona dan kebinalannya. Bagiku Jakarta bagai gadis cantik yang terlanjur tua. Kecantikan itu tertutup usia, hanya menang di zamannya, dan sulit mendandani diri kembali. Jakarta bagai gadis cantik yang diperkosa, dieksploitasi, dicium jika wangi saja, dan dilupakan pesonanya. Di sinilah aku ingin menulis kisah si gadis cantik itu, yang dulu pernah menampuk sebuah gelar paling anggun di dunia: De Koningin van het Oosten.

Tiba-tiba rasanya aku tidak rela ketika melihat status opini beberapa orang yang menuding 'gadis cantik' Jakarta dengan sebutan yang tak adil. Mereka bilang bahwa kota ini hanyalah kota semrawut, kotor, kumuh, dan berbahaya. Aku sempat marah dalam hati akan umpatan-umpatan itu, tapi tak lama berselang, aku sadar bahwa memang 'si gadis cantik' telah celaka.

Sering kuhabiskan waktu senggangku hanya untuk sekadar mengitari Jakarta dengan sepeda motorku. Berkeliling Jakarta Utara, hingga menertawai pribumi masa kini yang mengapit bule-bule di Kota Tua untuk berfoto-ria. Tak jarang jika malam hari pun, aku membeli cendol di pinggir jalan. Memakannya perlahan agar tak habis dengan cepat. Karena dengan memesan cendol itulah alasan satu-satunya yang kupunya agar bisa duduk di pinggir Jalan Gongseng untuk memerhatikan arus masuk dan keluar para PSK. Dengan waktu yang agak lama, aku punya alasan untuk berduduk lama-lama di Gongseng berkat semangkuk cendol, bukan? Meski si abang tukang cendol melihatku dengan berjuta heran ketika aku menghabiskan semangkuk cendol dalam waktu tiga jam lamanya. Aku tertawa dalam hati, mungkin dudukku akan lebih lama lagi jika si abang tukang cendol rela memasang wifi gratis di gerobaknya. The cendol with mobile wifi! Sounds good, isnt it? He-he.

Mengamati dari dekat begini, bagiku belumlah cukup untuk mengenal Jakarta. Kemacetan, kesenjangan, kehidupan malam, kebinalan preman jalan, adalah warna gelap dari Jakarta yang tak bisa dikenali dalam waktu singkat. Tapi, apakah Jakarta hanya memiliki sisi ini? Lalu, apakah hanya Jakarta yang mempunyai sisi gelap ini saja? Bagaimana dengan kota lainnya? Prostitusi misalnya, bagaikan 'barang wajib' tiap kota-kota besar. Baik di Indonesia maupun dunia. Percaya tidak percaya, prostitusi menjadi denyut nadi sebagian kota. Perputaran uang yang fantastis tiap malamnya, tak masuk sebagai angka-angka yang menghiasi statistik pertumbuhan ekonomi yang dibuat pemerintah. Para PSK adalah warga abu-abu yang keberadaannya bagai aib, namun penghasilannya sedikit banyak mengurangi beban negara. Begini, tak jarang keberadaan tempat prostitusi dan para PSK bagaikan benang layang yang mudah ditarik-ulur. Ramai-ramai dicaci, lalu dinikmati, dijadikan jargon politis, disayang dibuai, dan kemudian dijungkirbalikkan lagi. Bertahun lamanya. Dari zaman Hindia Belanda hingga aksi binal FPI belum lama ini, prostitusi masih marak di mana-mana. Pertanyaannya bukan soal bagaimana memusnahkan prostitusi, tapi apa yang menyebabkan adanya prostitusi? Dari pertanyaan itu, akan timbul jawaban yang beranak-pinak. Dari sosial, ekonomi, budaya, agama, hingga politik.

Dengan kehidupan malamnya, Jakarta bagai ratu yang kehilangan mahkota. Entah siapa perebut mahkota itu. Entah pemerintah, entah laki-laki hidung belang, entah para PSK. Entah seribu entah kutulis, prostitusi tetap bekerja dengan caranya sendiri tanpa membutuhkan jawaban pasti.

Lalu, apa yang membuat Jakarta mendapat predikat sebagai kota semrawut? Adilkah predikat itu untuk 'si gadis cantik' yang dulunya bernama Sunda Kelapa--Jayakarta--Batavia--Jacatra ini?

Pernah saat aku berjalan menghabiskan waktu senja di Pelabuhan Sunda Kelapa untuk hunting foto, aku menemukan sisi lain dari Jakarta. Bukan lagi soal prostitusi, kemacetan, atau lainnya itu. Saat aku berada di Pelabuhan Sunda Kelapa--entah berapa kali aku telah ke tempat ini--ada hal yang berkesan bagiku saat aku masuk ke dalam sebuah kapal kayu tua pengantar barang ke kepulauan di Nusantara (ya, seperti layaknya kapal-kapal lainnya di pelabuhan itu). Aku berbincang dengan kapten kapal yang berusia senja. Di usia senjanya, yang ia punya hanya setumpuk cerita. Cerita perjuangan, kebanggaan, dan kekalahan. Tentang laut, badai, kapal, masa jaya kapal kayu, hingga dimadu dengan kapal besi bermesin canggih. Ia bercerita bagai aktor dalam lakon pada teater megah milik Koma. Padahal di hadapannya, hanya ada aku semata. Aku yang bahkan buta tentang laut, yang sulit membedakan mana yang utara dan mana yang selatan. Tapi ia terus bercerita padaku. Tentang laut nun luas itu, tak peduli siapa aku.

Katanya, saat berada di laut, hanya dua hal saja yang dipikirkannya. Yaitu ajal dan nikmatnya rindu bercinta dengan istri di rumah. Laut selalu mengingatkannya pada maut, sementara luasnya samudera seolah mengulur waktunya untuk berjumpa istri. Ia bercerita dengan detail bagaimana awak kapalnya disapu ombak setinggi lima meter dan hilang di laut untuk selama-lamanya. Ia bercerita, katanya, kasihan awak kapal itu, belum juga merasakan bagaimana rasanya menikmati gaji pertama, justru menjajal maut lebih dulu. Ia pun bercerita, sambil tergelak, jika laut tak jua membawanya ke rumah, ia terpaksa beronani dengan sabun di toilet. Katanya, itu sedikit mengobati luka.

Lalu, ia bercerita bagaimana pekatnya malam di lautan luas. Mata harus tetap awas, otak terus waspada, dan hati tak boleh berdegup berlebih. Ia sadar, perjalanannya bukanlah perjalanan besar layaknya Cheng Ho atau Columbus yang mengubah dunia. Ia hanya nahkoda kapal barang. Tak ada hebatnya. Tapi satu kata yang terucap berikutnya, kata yang tak akan kulupa yang ia katakan dengan bangga: aku adalah nahkoda kapal yang mengangkat sauh dari Pelabuhan Sunda Kelapa. Si Ratu dari Timur!

Kebanggaan jelas tersirat dari nada bicara, raut wajah, hingga tatap mata sepi menatap ke ujung dek kapal. Lalu, dengan semangat kebanggaan yang tersisa, ia memamerkan kalender perjalanannya tahun ini yang sepi dari catatan kaki perjalanan berlayar. Saat ini, kapal-kapal kayu sulit berlayar lagi akibat order yang sepi. Zaman telah berubah, teknologi sudah seperti raja. Kapal kayu terlalu lama, kiriman barang terlalu lama terombang-ambing di samudera. Orderan pergi, kapal besi bermesin canggih lebih seksi. Apalah daya, toh, Sunda Kelapa bukan lagi ratu. Pelabuhan Tanjung Priok lebih menarik bagi siapapun pencinta kargo.

Sebelum meninggalkan kapal kayu itu, kusempatkan melihat mata nahkoda tadi. Matanya seperti bicara, entah pada siapa, didengar ataupun tidak, ia ingin bicara: wahai semua anak dunia, berabad-abad lalu, pelabuhan ini adalah urat nadi dunia. Dan aku--nahkoda tua ini--bangga menjadi pelaut dari Sunda Kelapa. Meski miskin, tak apa. Aku pelaut, aku bangsa maritim.

Sebelum kututup cerita tentang 'si gadis cantik' ini, kutuliskan satu hal lagi: Jakarta belum kehilangan pesona. Dengan keluh kesahnya, dengan kerumitan masalahnya, dengan setumpuk tingkah beragamnya manusia Jakarta, Pelabuhan Sunda Kelapa memberiku satu makna. Ya, dialah De Koningin van het Oosten. Ia setengah mati, tua renta sendiri, tapi pesonanya tetap membekas di hati.

With peace and love,
@sundakelapa90

Cibubur, 15 Desember 2015
Pukul 22:56 WIB

Jumat, 11 Desember 2015

Antara Pesona dan Makna Kawah Ijen (Part 1)


Malam menyambut kedatanganku dan seseorang (baca: My Special One) di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi. Malam itu, mungkin pertama kalinya aku menyaksikan aktifitas pelabuhan pada malam hari. Truk-truk pengangkut barang, bus malam, hingga van travel berseliweran mencari barisan pada antrean masuk ke kapal. Belum lagi petugas pelabuhan yang menjaga pintu masuk gerbang pelabuhan, ojek-ojek pengantar pejalan kaki dari dan ke pelabuhan, serta petugas karcis pintu masuk yang membuat malam seolah berubah makna menjadi siang. Sibuk, sibuk, dan sibuk. Itulah gambaranku tentang aktifitas pelabuhan ini di malam hari.

Aku bergantian dengan My Special One menjaga barang untuk kemudian menunaikan kewajiban kami sebagai seorang muslim. Aku yang mendapat giliran pertama menjaga barang, duduk di teras musala. Dari tempat dudukku, kulihat kapal besar pengangkut manusia dan hajat keperluannya menyebrang ke Gilimanuk, Bali. Kontras budaya terasa jelas di perbatasan dua pulau ini. Antara Timur Jawa dan Barat Bali, antara Islam dan Hindu. Sekejap, baik dari Bali ke Banyuwangi ataupun sebaliknya, semua kekontrasan itu terlihat pada sebuah salam yang begitu syahdu. Dari swastiastu menjadi assalamualaikum, begitupun sebaliknya. Dari situ, aku tenggelam dalam memorial politik pra-Indonesia.

Islam memang berkembang pesat di Pulau Jawa karena berbagai faktor. Dari politik hingga penanggalan tradisi yang dianggap sudah tidak sesuai lagi. Kasta dalam ajaran lama dan tradisi nenek moyang yang tidak relevan pada zamannya (seperti tradisi mewajibkan seorang istri menceburkan diri ke dalam api jika sang suami telah mangkat) adalah salah satu alasan mengapa Islam mulai diterima di kalangan rakyat Jawa. Menyebarnya agama Islam di tanah Jawa juga tak lepas dari peran para ulama yang datang dari dataran Tiongkok dan India sebelum akhirnya perjuangan tersebut dilanjutkan oleh ulama asal Arab yang kebetulan mendengar kabar dari para jamaah haji asal Nusantara tentang perkembagan Islam di tanah Jawa.

Menurut Sastrawan Indonesia Pramoedya Ananta Toer dalam roman sejarah karya masterpiece-nya Arus Balik, penyebaran Islam di tanah Jawa tak lepas dari kepentingan raja-raja Jawa untuk berekspansi mencari wilayah yang dapat dikuasai sebagai daerah kekuasaan. Untuk mencapai itu, agama Islam yang tengah populer menjadi moda raja-raja Jawa untuk mengakomodir keperluan politiknya. Meski dengan taktik ini, Nusantara justru terpukul mundur oleh kemahagagahan Portugis yang telah menguasai Malaka dan lanjut ke Maluku hingga tanah Jawa. Kegagalan mempertahankan Nusantara tentu tak satu alasan saja, menurut Pram, pemikiran sekterian dari raja-raja Jawa dan Nusantara masa itu adalah salah satu faktor yang paling krusial yang membuat Nusantara terpukul mundur berada dalam genggaman Portugis dan bangsa-bangsa Atas Angin.

Lepas dari itu semua, sebuah pertanyaan justru muncul, mengapa Islam tak menjadi agama mayoritas di Bali? (Artikel tentang mengapa Islam bukan menjadi agama mayoritas di Bali, dapat anda baca pada postingan saya yang lain).

Lamunanku tentang memorial pra-Indonesia terhenti ketika My Special One datang dan mempersilakanku untuk menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim.

Usai itu, aku dengannya berjalan keluar dari Pelabuhan Ketapang menuju kantor travel yang rencananya akan menjadi mitra kerjaku. Dari perbatasan Jawa-Bali itu, aku bersamanya akhirnya menuju Kawah Ijen dengan jeep bersama dua turis laki-laki asal Malaysia beretniskan Tiongkok. Di perjalanan yang gelap menuju Paltuding, aku tak henti-hentinya memerhatikan jalan. Mulai dari suasana pusat Kota Banyuwangi, hingga daerah pegunungan Paltuding. Dari semua pemandangan sepanjang jalan itu, ada kesamaan yang kulihat antara jumlah pohon dan jumlah spanduk Pilkada: sama-sama banyak.

Dingin mulai menusuk, utamanya ketika kami mulai mendekati kaki gunung Ijen. Gelap pekat suasana malam memasuki hutan menuju Ijen. Sopir jeep sibuk mencari kaset dvd mana lagi yang mesti diputar, karena dari semua kaset yang dimilikinya dalam jeep, semua memiliki suara yang beragam: zzzzzttt! Kusut. Namun akhirnya setelah susah payah mencari, dia tersenyum puas dan mulai bersenandung: cublak cublak suweng, suwenge ting gelenter... sir sir pong dhele kupong. Turis Malaysia yang duduk di sebelah sopir megap-megap sendiri mendengar lagu dari kaset yang dinyanyikan oleh sopir dengan intonasi anak tangga yang melipir ke atas. Melengking seperti aungan srigala. Barangkali ketimbang disebut menyanyi, sopir itu lebih terdengar seperti suara bintang film permen Hexos. Teriak melengking sambil bilang: segaaaaaar.

Akhirnya setelah diiringi suara melengking si sopir, kami tiba di pintu masuk pendakian Gunung Ijen. Aku yang tengah mencoba memakai masker tiba-tiba diberitahu oleh My Special One bahwa nafasku mengeluarkan 'asap'. Aku tertawa, tiap kali ke tempat dengan suhu dingin dan mengeluarkan 'asap' begini ketika bernapas, sensasi Eropa atau pegunungan es Himalaya seolah sudah pernah aku rasakan.

Seperti umumnya etnis Tiongkok di Malaysia, kedua turis Malaysia yang menjadi kawan perjalananku ini pun sulit menggunakan bahasa Melayu. Maka sesekali, aku mencampur bahasa Indonesiaku dengan bahasa Inggris untuk memudahkan komunikasi. Yang satu bernama Tjen dan yang satunya bernama Han. Sambil menunggu antrian daftar mendaki, aku mengisi waktu dengan diskusi yang tengah ramai diperbincangkan ketika itu tentang Malaysia. Kukatakan, bagaimana perkembangan demonstran yang menuntut Najib mundur karena skandal korupsinya dan kukatakan juga pengalamanku saat berbincang dengan anak dari Pemimpin Oposisi Malaysia Anwar Ibrahim yang beberapa waktu lalu datang ke Jakarta. Tak dinyana, entah mengapa justru Tjen malah balik bertanya perihal bencana asap yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan yang juga berimbas ke negaranya. Entah karena Malaysia masih terkungkung dalam cengkraman rezim otoritarian, atau karena isu korupsi adalah aib bagi negara mereka, atau mungkin asap yang menyebabkan negaranya susah adalah karena semata disebabkan oleh pemerintah Indonesia dan rakyatnya sehingga membuat Tjen nampak mengalihkan pembicaraan ke arah yang ia suka.

Aku mencoba mengerti, akhirnya kualihkan juga pembicaraan mengenai pakaian mereka yang begitu santai menghadapi gunung. Hanya berkaus oblong pendek dan tanpa masker! Sungguh, belerang Ijen menyengat luar biasa, bukan? Mereka hanya tersenyum-senyum sambil mengatakan: dont worry, dont worry, we'll fine.

Pendakian itu pun tiba. Awal mendaki, aku masih bisa menyamai langkah Tjen dan Han. Bahkan aku masih banyak tingkah dalam masalah penampilan seolah bilang: akulah anak gunung. Langkah selanjutnya, aku terseok, tenggorokanku tercekat, nafasku tersengal. My Special One berjalan pelan-pelan menungguku, Tjen dan Han yang sudah jauh di depanku terlihat berhenti menunggu langkahku berjalan cepat kembali. Usai menyamai langkah mereka, kami memulai langkah bersama lagi. Kemudian akhirnya aku terseok lagi, tercekat lagi tenggorokanku, nafasku tersengal satu satu, aku merengek minta berhenti sejenak, My Special One melarang. Katanya jika sudah berhenti mendaki, akan sulit untuk memulainya lagi. Aku menurut dan mencoba lagi. Lagi dan lagi. Hingga akhirnya aku melihat Tjen dan Han yang penuh semangat memburu blue fire terlihat iri dengan turis-turis mancanegara lainnya yang berjalan dengan kecepatan luar biasa. Akhirnya kupersilahkan mereka berdua untuk berjalan lebih dulu.

Langkah demi langkah kutempuh dengan sulit. Tiap langkah yang mampu kulewati bagaikan sukur yang tiada terkira kepada Illahi. Mengapa, oh mengapa kaki ini tidak menuruti perintah tuanya? Mengapa ia tak bergerak sesuai mauku? Aku mengeluh dan berpeluh. My Special One mementoriku--lebih tepatnya memarahiku. Akhirnya, aku menyerah sesaat usai buang hajat, aku memutuskan beristirahat sejenak. Namun kemarahan My Special One mengingatkanku kembali akan puncak dan blue fire itu. Maka, aku harus berjalan lagi. Lagi dan lagi. Sampai puncak, sebelum fajar tiba.

Trek menuju puncak tak seolah tak ada perhentiannya. Kutengok jurang di sampingku yang terlihat gelap pekat, begitu menyeramkan. Tak terbayang bagaimana rasanya tergelincir ke sana. Aku hanya menyisakan nama. Tapi aku tidak peduli dengan ketakutanku terhadap ketinggian, yang kutahu aku harus berjalan sampai puncak dan kawah. Pasir dan debu gunung yang dingin, seolah menyibak kakiku yang beralaskan sandal tanpa kaus kaki. Aku tak peduli lagi pada suhu dingin, seolah itu sudah menjadi kawan karibku sendiri. Yang kupedulikan hanya kaki ini, sulit sekali dikontrol oleh kerja otakku.

Berjalan, terseok, jatuh, dan bangkit kemudian menghantarkanku ke puncak Ijen. Fajar belum terbit, tapi blue fire telah menghilang. Aku gagal. Tapi My Special One mengingatkan bahwa masih ada keindahan lainnya dari Ijen ini, tak cuma blue fire. Jika mengumpati kegagalan, segala keindahan akan menjadi sasaran kebinalan keputusasaan. Maka tak akan ada lagi tempat di hati untuk bersyukur.

Kutunaikan dua rakaat mengikuti barisan jamaah subuh di atas Ijen. Saat aku tengah bertayamum, seorang laki-laki minta diajari cara bertayamum padaku. Katanya, ia tak tahu cara bertayamum. Lalu, kuajari ia pelan-pelan dan kami masuk barisan salat. Usai salat, hatiku tergugah. Keindahan menjadi pendorong yang indah bagi seseorang untuk mendekati Tuhannya. Aku berpikir, jika tiap hati manusia diisi hikmah dan kedamaian, maka tak ayal hanya selalu ada pikiran di hatinya untuk terus bercumbu dengan Tuhan. Namun sebaliknya, jika di hati hanya tertanam kebencian, maka patutlah dipertanyakan kembali perihal cintanya kepada Tuhan.

Tak ada salahnya kuucapkan: fabiayyi ala'i Rabbikuma tukaziban.

Dari Ijen, begitulah Tuhan menuntun manusia. Meski harus terseok, mengeluh, jatuh, dan kemudian bangkit lagi adalah sebuah proses yang harus dijalani dengan sukur. Tiada Tuhan membenci, Tuhan hanya menyayangi. Hanya jika manusia mau mengerti.

With peace and love,
@sundakelapa90

Perkenalan Kembali

Salam. Untuk semua pengguna maya.

Saya @sundakelapa90 izin perkenalan kembali dengan Blogger. Karena tentu, perkenalan saya dengan Blogger sudah lama. Hanya saja, saya kurang aktif memberdayakan blog saya.

Saya berkomitmen, untuk diri saya khususnya, agar terus membagi kisah dan gundah saya di blog ini. Terima kasih untuk kawan-kawan pengunjung baik yang di akun Blogger ataupun Wordpress saya, terima kasih sudah membaca.

Salam,
@sundakelapa90

Fenomena Masyarakat Massa

Antara Jonru dan Ade Armando, mana yang harus diikuti? Atau lebih tepatnya, mana yang lebih baik?

Menilai seseorang dari baik dan buruknya memang sulit, karena penilaian manusia tidak mutlak objektif. Namun yang perlu digarisbawahi pada tulisan ini bukan tentang yang demikian, tapi mengenai dampak yang terjadi di tengah masyarakat. Tentang dua tokoh tersebut atas pandangan-pandangan yang cenderung runcing, mengajak--kalau tidak dibilang memprovokasi.

Mari kita kupas. Secara kasat mata, kedua tokoh tersebut merupakan 'representasi' dua kubu yang bertentangan ideologi dan politik, utamanya pada dan pasca-Pilpres 2014. Jonru dengan Prabowo-nya, dan Ade Armando dengan Jokowinya. Mereka berdua saling melempar isu-isu yang kadang kontroversial di sosial media. Isunya tak lain dari pro dan kontra pemerintahan, entah seputar agama, politik, hukum, ekonomi, dan budaya.

Dari latar belakang, Jonru merupakan mualaf dan seorang penulis buku-buku populer. Salah satu karyanya--kalau saya tidak salah ingat--adalah "Jonru Tobat" (mohon dikoreksi jika salah). Dan secara gamblang, dia menyatakan diri sebagai simpatisan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Dia memiliki fanpage di Facebook dan media sosial lainnya. Pengikutnya cukup banyak, dan ikut aktif menyebarluaskan opini-opini Jonru. Mayoritas adalah simpatisan PKS, pengikut ormas-ormas Islam (ini hasil riset kecil-kecilan saya semasa insomnia. Iseng iseng, saya mengubrak-abrik dan berselancar bebas di dunia maya).

Opini yang dilempar ke publik tak jauh dari konspirasi Yahudi, Islamophobia di Indonesia, kristenisasi, dan Jokowi antek asing. Dengan data-data yang menurut saya 'asal comot' tanpa riset mendalam lagi.

Kedua adalah Ade Armando. Dia adalah seorang dosen komunikasi di Universitas Indonesia. Dulu, Armando merupakan simpatisan PKS era 2004 (saat PKS meroket unggul dengan jargon bersih dan peduli. Saat itu, memang cukup bersih). Kini, dia tidak berafiliasi dengan partai politik manapun, namun ia mendeklarasikan diri sebagai yang terdepan dalam membela pemerintahan Jokowi. Nyaris tanpa koreksi--kecuali saat kisruh KPK-Polri, Armando sedikit mengkrtik Jokowi (itupun secara halus dan 'ndalem'). Armando punya beberapa akun di sosial media, utamanya Facebook dan Twitter, ia sering melemparkan opininya. Hasil riset gila saya yg mengobrak-abrik dunia maya, Armando tidak punya pengikut yang signifikan. Bahkan mahasiswanya cenderung 'malu-malu' mendukung pernyataan2 Armando di sosial media. Dibanding Jonru, <em>haters</em> Armando lebih banyak ketimbang pengikutnya.

Berbeda dengan Jonru, Armando melempar opini yang sebaliknya. Gaya serampangannya dalam beropini sering membuat heboh. Misalnya soal langgam hip-hop, Jokowi adalah khilafah, dan gerakan anti ormas-ormas Islam radikal. Biasanya, Armando hobi melempar isu agama. Nyentil, tapi dia kurang memberi dasar yang berarti. Terlebih, baik Armando maupun Jonru, mereka jarang memberikan titik temu dalam perdebatan panas di akun media sosial mereka. Saya mencoba memahami, mungkin maksud kedua tokoh tersebut baik, hanya saja cara menyampaikannya kurang efisien. Terlebih, sosial media dibatasi <em>space </em>yang tidak memungkinkan orang untuk saling mengerti.

Hasilnya, <em>netizen </em>makin panas. Sengit dan meruncing. Tak jarang malah korbannya adalah sejarah dan budaya. Kenapa? Utamanya Jonru, dia hampir nyasar ke mana-mana jika mengangkat sejarah. Armando cukup pintar bermain dalam sejarah, tapi pengetahuan agamanya masih dibilang dangkal namun ia berani melemparkan opini tentang agama yang cukup nyeleneh. Begini, masyarakat massa tumbuh.

Dampaknya, persatuan dirasa musykil. Pesimisme tumbuh di mana-mana meski Pilpres 2014 telah usai. Fenomena masyarakat massa ini harus dicegah, diantisipasi, dan digerakkan dengan orang-orang yang ahli dan revolusioner agar peperpecahan dan pesimisme dapat diredam.

Berkaca pada dua tokoh tadi, rasa-rasanya sangat rugi jika kita masuk ke dalam arus deras fenomena massa itu. Satu hal yang pasti, anda boleh kritis terhadap pemerintah, tapi anda tidak boleh kehilangan optimisme terhadap bangsa. Anda harus bedakan itu. Ingat, ketika Soekarno bilang berikan aku 10 pemuda maka akan kugoncangkan dunia, apakah Soekarno lupa bahwa ketika itu, di antara 10 pemuda Indonesia, hanya satu yg bisa baca-tulis. Kira-kira jika bukan optimis terhadap bangsa, bagaimana mungkin Soekarno yakin akan mengguncangkan dunia dengan 10 pemuda yg sembilan di antaranya adalah buta huruf?

Maka ketika itu, meski banyak tokoh tokoh politik, seniman, dan budayawan Indonesia yang berbeda sikap politiknya dengan Soekarno, mereka mencoba merepresentasikan semangat Sang Bung itu. Meski berbeda pendapat, seniman seperti Affandi bahkan menerjemahkan semangat Bung Karno untuk menggelorakan semangat rakyat dengan kata-kata dahsyat: "Bung ayo Bung! Merdeka atau mati!"

Kritis terhadap pemerintah adalah sikap politik. Optimisme terhadap bangsa adalah proses meraih cita-cita. Jangan kehilangan itu. Salam Binneka Tunggal Ika. Salam Indonesia.

With peace and love,
@sundakelapa90

Cibubur, 25 Agustus 2015
Pukul 18:43 WIB

Pesan dari Ibu

Tiada dunia tahu
Tentangmu, Ibu
Tiada senyum tulus
Untukmu, Ibu

Kau katakan, dunia tidak akan pernah runtuh dengan kebaikan
Maka yang kulihat darimu, hanya kebaikan
Karena kau memberi kebaikan

Tapi senyum tulus itu
Tak datang untukmu

Mereka berbondong-bondong datang
Menawarkan kripik dan baju gamis berjuntai
Pada Si Kaya yang gemerlap, yang perhiasannya mengkilap
Aku berprasangka, itu hanya untuk cari muka
Si Miskin ingin dapat kerja

Katamu, itu kebaikan
Kepada siapa memberi, tak jadi soal
Tapi aku menggugatmu
Bukankah yang memberi adalah Si Miskin? Pantaskah Si Kaya menerima?

Kau tersenyum, seolah tak peduli dengan perkataanku
Aku memaksa
Mengiba agar kau menjawab

Kau tak juga jawab hingga hari wisudaku tiba

Kau katakan
Setiap yang memberi, lebih mulia dari yang diberi
Tak kau pelajari itu dari Nabimu?

Tapi Si Miskin tak tulus memberi
Si Kaya pun tak peduli
Padahal Si Miskin tengah mencari-cari perihal kerja untuk menyambung hari
Tapi beribu tapi
Kukatakan berapi

Ibu menjawab lagi
Begitulah hati, Nak
Siapa yang tahu isi
Hanyalah Dia Illahi

Katanya, satu saja yang perlu kau garisbawahi
Berbuat baiklah sepanjang hari
Tuhanmu melihat, Dia tak mati

Berapa kebaikan bernilai
Berapa dalamnya hati
Berapa dalam syahdu nurani
Tuhanlah saksi sejati

Kita hanya manusia
Berbuat baiklah setiap hari
Jangan lelah jangan letih
Lakukanlah sampai mati

With peace and love,
@sundakelapa90

Hijrah, Manusia, dan Alam

Perjalanan membawaku pergi ke banyak hal. Bukan hanya tempat, tapi juga pada manusia dan cerita. Berliku-liku ataukah mulus sebuah perjalanan, menjadi tidak penting lagi ketika saat kembali tak membawa secuilpun pelajaran hidup. Hari itu, seperti hari-hari yang lalu pada biasanya perjalananku, aku duduk berdesakkan di kereta Matarmaja tujuan Malang. Duduk di depanku seorang guru pramuka yang sibuk mengurus tingkah anak didiknya selama perjalanan di kereta yang banyak dihabiskan berloncat-loncat ala Spiderman, atau bernyanyi sambil berjoget ala 'Chaiya-Chaiya' di sepanjang lorong gerbong.

Aku duduk di kursi paling pinggir bersebelahan dengan jalan. Di seberang kursiku juga diisi anak-anak pramuka. Aku melirik ke arah belakang, ternyata seluruh gerbongku ditumpangi para anak pramuka, kisaran SD. Di gerbong depan yang kulongok dari kursiku, ternyata pun diisi oleh para anak pramuka. Mereka umumnya berpakaian ala pencinta alam dengan emblem sekolah yang dipasangkan di topi, kaos, dan sepatu mereka secara bangga. Ternyata, hari perjalananku dari Jakarta ke Malang ini berbarengan dengan rangkaian acara berupa perkemahan di Hari Pramuka Nasional yang digelar oleh Kemendikbud di Malang.

Satu, dua, hingga tiga jam lamanya telah kumaklumi kelakuan para anak pramuka yang menemukan fungsi lain kakiku sebagai pedal gas mobil yang bisa diinjak kapanpun tanpa ampun. Tapi jam-jam berikutnya, di saat perjalanan sampai penghujung malam, usai tawa dan nyanyian yel-yel dinyanyikan oleh mereka, mataku yang sudah tak tahan menahan kantuk harus terbuka lagi. Segerombol anak pramuka dari kursi lain tak henti-hentinya berjalan menelusuri lorong gerbong menuju toilet, mengantre. Satu dua tiga, hampir muka-muka yang sama yang rasanya selalu kembali melawat ke toilet. Keluar toilet mereka tertawa dan berkata-kata polos: keran airnya menyala! Luar biasa, padahal di kereta!

Pengalaman pertama. Begitu bahagianya bocah-bocah itu. Itu yang terbesit dalam benakku. Toliet kereta menjadi fantasi tersendiri bagi mereka. Mungkin seperti merasakan pipis di angkasa sana.

Tapi mataku sudah tidak kuat lagi, kakiku telah ditekuk berjam-jam lamanya, badanku telah sampai limitnya. Tak bisakah anak-anak itu mengerti tentang sedikit penderitaan ini? Ah, tapi mereka anak-anak, tak layak rasanya aku mengiba waktu pada mereka hanya untuk memejamkan mataku. Maka, kuambil Kitab Suci yang kubawa. Kubaca lafal dan terjemahannya, kuiingat-ingat sejenak memoriku tentang sebuah kisah. Sebuah hijrah. Hijrahnya Sang Baginda. Muhammad SAW.

Sepuluh tahun. Angka yang tidak terlalu banyak untuk jumlah waktu jika menyisakan jutaan warisan peradaban dan ilmu kepada dunia. Sang Baginda berhijrah dari Mekkah ke Madinah. Meninggalkan putus asa dan kecewanya terhadap sebuah Tanah Kelahiran dan kaumnya, menuju sebuah Tanah Baru yang penuh pengharapan. Di Tanah Baru itu, Yatsrib diubah namanya oleh Sang Baginda menjadi Madinah. Bukan hanya nama, di Madinah, Sang Baginda juga mengubah dunia.

Lahirlah pemikiran baru yang representatif pada zamannya dan diklaim hingga akhir masa. Sang Baginda memaknai perpindahannya dengan sejumput hikmah. Kebinalan bangsa Arab diaraknya dengan berbagai kasih dan makna. Diperkenalkan kemudian apa itu konstitusi dan peradaban madani. Sang Baginda dihina, lalu dipuji. Ditertawakan, lalu diagungkan. Kini, Sang Baginda terus hidup. Meski hanya ia yang mau menahan rasa sakit kematian semua umatnya, bahkan untuk yang belum lahir ke dunia sekalipun. Semua pencapaian itu dirasakan Sang Baginda berkat satu kata: perjalanan. Sang Baginda bermodalkan putus asa, tiada daya, dan tanpa arah ke Yatsrib. Namun di Yastrib, Sang Baginda kembali menemukan arti sebuah semangat, harapan, dan peradaban. Setidaknya, perpindahan dan perjalanan telah banyak memiliki peran yang sangat berarti bagi Sang Baginda.

Aku menutup memoriku akan semangat hijrah Baginda. Kututup juga Kitab Suci. Kuatur perlahan nafasku untuk menghalau letih yang menusuki seluruh tubuh. Di depanku, bocah laki-laki terpengkur khusyuk di samping gurunya. Aku pun terpukau khusyuk melihat kepolosan wajah bocah tersebut. Berkat kekhusyuanku itu, tak kusadari bocah yang duduk di sampingku telah lama menuangkan tinta liur alami dari mulutnya di pundakku. Aku terhenyak: hueeeeeeeeekkk.

Beginikah perjalananku yang diawali dengan semangat kece itu? Belum jauh melangkah, pundakku sudah jadi lahan gratis makhluk Tuhan yang tengah bebas berkreasi.

Detik demi detik berlalu, kali ini mataku memang terpejam, tapi telingaku tidak. Semua langkah kaki, perbincangan pelan guru pada muridnya yang memberi petuah agar jangan tidur mendengkur, suara rel yang berdesing, hingga suara petugas kereta yang menawarkan bantal berbayar masuk ke dalam pendengaranku. Semua. Tiada yang tidak. Maka kusimpulkan, aku tak tidur. Sama sekali.

Mana perjalananku? Mana arti hidup yang kucari itu? Aku terkurung di gerbong kereta, 14 jam lamanya.

Berlalu, malam itu. Pagi tiba dengan sinar matahari yang menyelinap masuk dari kaca jendela. Seketika toilet riuh lagi. Kali ini bukan hanya diisi oleh anak-anak pramuka, tapi juga guru, dan penumpang umum lainnya. Petugas kereta sibuk berjejalan di lorong-lorong gerbong, menawarkan teh hangat, kue, nasi goreng, minuman botol berbayar. Aku diam. Tak selera. Aku hanya ingin tidur. Tak ingin makan apalagi ke toilet. Tapi, baru saja nafsu tidurku datang, salah satu bocah pramuka tak sengaja terpeleset saat berdiri. Mie cup instant yang dipegangnya jatuh mendarat empuk di kakiku. Kuah panasnya membanjiri telapak kakiku. Aku merintih dengan segala gengsiku. Guru bocah itu segera menghampiriku dengan raut wajah bersalah dan mengatakan maaf berulang-ulang. Kukatakan aku tak apa, tapi ia tak percaya. Dimarahinya si bocah pramuka dengan berapi-api. Lagi dan lagi.
Suasana gerbongku makin tak karuan. Pasar dadakan ini sungguh membuatku sesak. Ayolah, Malang! Tiba-tiba rasanya aku ingin cepat sampai.

Ketibaanku di Malang pun akhirnya sampai. Kota yang sering kukunjungi ini, tak banyak berubah. Hanya aku, aku yang sedikit berubah. Aku ingat betul awal perjumpaanku dengan kota ini. Aku yang baru, menganggap diri sebagai orang asing. Takut dan tiada arah. Aku asing, butuh navigasi. Aku asing, butuh informasi. Aku asing, maka hanya sekejap di sini. Aku asing, pada akhirnya aku akan pergi dari sini. Tapi sekarang, aku adalah aku. Dengannya dan hidupku. Kali ini, setelah kupuaskan asa menikmati keindahan Bromo berkali-kali saat dulu, aku akan berjumpa dengan asa baru pada Bromo. Ah ya, Ijen juga. Di ujung Jawa sana.

Perjalanan ini, kumulai lagi. Bukan karena aku asing, tapi karena aku adalah manusia, bagian dari semesta. Tak ada kasta antara aku dan alam. Tak ada yang lebih tinggi dari nirwana. Karena di atas nirwana, masih ada nirwana. Bersama cinta, kucari makna hijrah.

With peace and love,
@sundakelapa90

Tentang Kesalehan

Ibuku selalu bilang bahwa berlaku baiklah kepada siapa saja. Meski orang itu telah melakukan keburukan kepada kita. Memberi kebaikan tidak akan pernah mubazir, sia-sia. Katanya, yang sia-sia adalah jika kita berlaku buruk. Meski pada orang yang telah melakukan keburukan kepada kita. Karena berlaku buruk hanya akan menguras energi, menyiakan waktu.

Aku pergi berjalan, menapaki tiap sudut kelompok. Bermodalkan kosong dan kepolosan anak kampung di pinggiran Jakarta. Tak kenal kemewahan materi, apalagi gemerlapnya ilmu. Tapi yang kuingat satu saja pesan ibundaku: berlaku baiklah. Selalu. Selalu.

Langkah awalku adalah sebuah pesantren, tempat yang mewah bagi generasi keluarga sebelum garisku. Aku anak-cucu-cicit yang pertama mampu mengenyam pendidikan di dunia ini. Katanya, santri adalah sebaik-baiknya manusia. Benarkah?

Harapan mereka rasanya pupus tentang santri itu, meski mereka tak tahu. Karena itu hanya ada dalam hatiku. Aku ternyata tak berlaku layaknya santri pada umumnya. Disiplin, cerdas, kalem, dan penurut adalah yang tak pernah aku punya. Aku tahu ini akan mengecewakan mereka, maka kututup semua ini. Aku mengatur skenario sebagai 'santri' di hadapan keluargaku tiap libur pulang tiba. Aku mengiyakan saja tiap ada undangan dari majelis ke majelis yang memintaku untuk berpidato ataupun mengajar mengaji. Kususun kata per-kata, dalil-dalil sesuai tema, dan sedikit guyonan khas dai. Lalu, bergamislah aku. Berjalan dan diserbu para jamaah kampung halamanku, menciumku sambil menepuk-nepuk pipiku. Sejuta doa takwa mereka ucapkan untukku. Aku hanya membalas amin, amin, dan amin.

Tenggorokanku seolah tercekik. Tak dinyana, aku ada di atas panggung takwa. Di hadapan para jamaah yang menatapku penuh kekaguman. Barangkali dalam benak, mereka berkata, akhirnya kampung kita punya santri takwa! Aku semakin ingin teriak tak sanggup melawan batinku. Tapi, bukankah ibunda pernah bilang, berbuat kebajikan saja. Sebanyak-banyaknya. Itu saja. Ya, aku tak punya jalan lain. Berkata yang baik dan setelah itu, aku harus turun dari mimbar. Tak boleh lebih.

Waktu bergulir, hari demi harinya tahun pun berganti. Aku semakin beranjak dewasa. Dan sekembalinya libur ke rumah, makin banyak saja orang-orang yang datang melawat untuk bertanya apa hukumnya ini dan itu. Mengenalkan anak-anak balita mereka tentangku dengan sapaan yang sangat terpuji namun sakit bagiku tak terperi: guru ngaji.

Aku kembali ke pesantren. Seketika derajatku berbanding terbalik dari santri takwa menjadi begajulan pondok. Baru-baru sampai kamar saja, sudah berapa kali teman memperingatkanku akan ancaman dari Ustaz N yang fenomenal itu. Katanya, aku membuat malu pesantren karena kedapatan memakai motor warga untuk keliling Jakarta. Seketika, kulepas atribut takwaku. Kuhadapi Ustaz N dengan nyaliku, kutatap matanya seperti mauku, kukawani pembicaraannya yang tak sesuai dengan kelakuanku. Ia murka, marah, dan tak terima. Aku lebih-lebih. Tapi, aku santri dan dia Ustaz, aku pastilah salah. Kebenaran dimonopoli olehnya. Aku kalah. Sementara.

Tapi kata ibunda, berlaku baiklah. Selalu. Kepada siapapun. Layaknya mentari yang tak bisa pilih kasih. Tapi aku bukan mentari, aku hanya santri. Hubunganku dengan Ustaz N sudah di titik nadir, sementara kelulusan sudah di pelupuk mata. Apa yang harus kuperbuat? Menjadi penjilat? Mengatakan semua puja-puji di hadapannya bahwa dialah guru yang selalu jadi panutan? Ataukah aku harus bilang bahwa akulah yang salah, murid yang tak tahu diuntung dan hanya menyusahkan dewan guru? Tidak. Aku tidak akan pernah melakukannya. Aku tidak akan menjilat. Perihal kelulusan, siapa peduli? Aku tak butuh ijazah. Tak butuh pengakuan dari sebuah institusi. Tapi ibundaku, dia seorang diri membungkus rezeki demi mempunyai anak yang santri. Haruskah aku bunuh harapannya akan keegoisan ini?

Dilema ini pernah membunuhku sesaat. Kala itu, saat hanya beberapa teman saja yang percaya padaku, aku hadapi arus ini. Kutemui Ustaz N, kukatakan aku akan belajar dengan baik. Ia mencibir, senyumnya neraka. Aku mulai membara. Namun sebelum bara apiku memanas, tiba-tiba seorang wali murid datang dan menyanggah perbincangan kami. Ustaz N langsung menerimanya hangat, raut wajahnya berubah drastis. Sangat drastis. Tak pernah aku melihatnya sebegitu ramah. Ia kemudian melirikku--sedikit ramah--memberi isyarat untuk meninggalkannya dengan tamunya itu. Aku menurut. Aku pergi. Tapi, pertempuran ini belum berakhir.

Esoknya aku datang lagi. Ternyata Ustaz N sudah duduk di depan kamarnya. Mata tajamnya menyambutku. Aku duduk dan menatap kembali matanya. Aku siap.

Ia bilang tahu semua rekam jejakku. Tentangku yang pembangkang, yang dia katakan dengan wacana lebar selama 47 menit. Tak kurang tak lebih. Aku tak lagi marah, rasanya aku kebal dengan sumpah-serapahnya. Usai puas dengan caci-makinya, ia memintaku menjawab pertanyaannya: dengan cara apa kau akan lulus?

Aku menjawab dengan cara belajar. Hanya itu kemampuanku. Kalaulah ia menyuruhku untuk berlaku tunduk pada tiap guru, maka ia salah besar telah bicara padaku. Benar saja, ia tertawa. Lalu ia berkata lain tentang akhlak. Bahwasannya akhlak lebih mulia ketimbang ilmu yang didapat seseorang. Aku mengangguk. Memang, ucapannya tiada yang salah. Sama sekali tidak. Maka aku sependapat. Namun, setelah ia menyemprotkan sumpah-serapahnya dan menyebutku sebagai bajingan, benalu, setan, dan lainnya itu, aku berkesimpulan bahwa ia sama tak berakhlaknya denganku.

Pertemuan kami akhirnya membuahkan kesepakatan. Aku harus datang tiap dua hari sekali untuk menjelaskan Fathul Muin yang babnya ia tentukan sendiri. Katanya, itu salah satu syarat kelulusan untuk anak pembangkang sepertiku. Aku menyanggupi, tak masalah. Dalam hati, aku merasa berdosa telah melanggar nasehat ibunda. Ternyata aku tak mampu jadi anak yang baik.

Kelulusan pun tiba. Tak dinyana, aku lulus. Ibunda menangis haru. Aku memeluknya. Kukatakan padanya, setelah ini hanya akan ada kebaikan yang kukerjakan. Katanya, aku sudah menjadi anak yang baik. Aku menggeleng, ia semakin menepuk pundakku. Ia lalu berkata, ijazahku adalah bukti kebaikan itu.

Allah... teganya aku! Membohongi ibunda yang baik hati itu.

Kututup lembaran manis dan pahit enam tahun kehidupan di sebuah pesantren. Perlahan alu pun akan mengatakan pada ibunda bahwa aku akan menjadi diriku. Ia tak mengerti akan ucapanku. Lalu kujelaskan bahwa aku ingin menjadi seorang jurnalis bukan guru ngaji atau pendai.

Kupikir ia akan kecewa, marah, dan kalah. Tapi ternyata, jauh dari dugaanku, ia justru mengambil celengan bulat yang terbuat dari tanah liat. Ia pecahkan di depan mataku celengan itu. Lalu ia menghitungnya pelan-pelan. Ia menatapku dengan haru. Katanya: mana universitas yang akan kau tuju?

Kupeluk ibundaku. Kucium keningnya. Kutanamkan dalam hati keinginan diri untuk menjadi insan yang lebih baik lagi. Dengan sekuat tenaga, aku harus masuk universitas itu, keinginan ibunda. Kata ibunda, di sana ada Islamnya. Aku tertawa, ia pun juga.

Di sini, universitas ini, aku kembali dalam keadaan nol. Entah mengapa justru aku tertarik pada musik ketimbang teman-teman seperjuanganku yang sibuk menaikkan bendera ini itu. Aku menghargai usaha mereka, bukankah mereka yang akan menjadi pemimpin negeri ini? Betapa kuatnya mereka bercita-cita menjadi pemimpin negeri kepulauan bahari ini.

Salah satu temanku menggeleng, tak habis pikir katanya tentangku, mengapa tak kembali pada trek santri. Kini bukan aktif di organisasi, aku justru asik memikul gitar ke sana sini. Temanku tertawa, aku juga. Lalu kunyanyikan lagu Gaby, rumor yang beredar, lagu ini bicara soal kematian. Ia makin tertawa. Sial katanya, belum mati dinyanyikan lagu mati.

Teman musikku dari seluruh penjuru. Pandangan mereka pun beragam, mulai yang percaya akan Tuhan dan mengamalkannya, percaya pada hidayah yang belum datang menyambanginya, hingga yang percaya bahwa perkataan John Lennon ada benarnya juga. Terakhir yang akhirnya kutahu, yang percaya pada John Lennon itu ternyata hobi mengumpulkan koko takwa di Hari Raya. Langsung saja ia dilabeli kiai oleh sekelompok anak musik kami.

Yang paling kuingat tentang kawan musikku yang kebetulan seorang 'polyglot instrumen', adalah ia rajin menggelar sajadah di samping drum. Ia bersujud khusyuk meski temanku si Lennonisme sengaja terpengkur di atas sajadahnya. Si Lennonisme sengaja tak bangun hingga 15 menit dari sajadah ketika si Polyglot Instrumen sedang rukuk. Maka usai shalat usai, si Polyglot Instrumen mengejar si Lennonisme membabi buta. Tulang punggungnya mau patah, larinya pun terbata-bata berkat rukuk 15 menit lamanya.

Usai perjalanan singkatku di universitas ini. Langkah selanjutnya adalah dunia terbuka. Aku diterima menjadi jurnalis di sebuah stasiun televisi yang mengusung tema kekinian. Aku bekerja di bagian produksi tv, tapi rasanya ini bukanlah aku. Terkurung dalam kotak studio adalah bukan diriku. Sebulan tak lebih, aku mengundurkan diri. Kucari pengalaman baru di dunia cetak. Kembali sebagai seorang jurnalis.

Waktu demi waktu, perjalanaku makin membuka batinku. Kesalehan yang diinginkan ibunda, ternyata tersebar di mana-mana. Inikah jawaban dari persetujuannya tentang pilihanku?

Di sini, kutemui banyak sosok saleh yang tak lagi beratribut takwa. Tak lagi menjual murah nama-nama Tuhan. Di sini, kesalehan tak dituliskan dalam lembar ijazah. Di sini, kesalehan tak diumbar dalam sorot kamera. Di sini, kesalehan tak dimonopoli satu pihak saja.

Ini yang membuatku rindu pada masa laluku. Benar kata ibunda, tak ada salahnya menebar kebaikan pada siapapun. Karena kebaikan tak akan sia-sia. Seketika aku teringat dengan Ustaz N, aku akan menemuinya, bersilaturrahmi dan berdamai atas nama kebaikan.

Lalu tibalah aku di pesantrenku dulu. Kucari sosok itu dan kudekati dengan senyumku yang baru. Ia melihatku dan menatapku datar lalu berkata: dasar Wahabi!

Lalu pergi berlalu. Begitu saja.

Apa aku akan menyerah? Tidak akan. Ia guruku. Dan kata ibunda, menebar kebaikan kepada siapapun jua tidak akan sia. Akan kutemui ia, lagi dan lagi. Sampai ia mau, sampai ia sudi. Selebihnya, antara aku dan dia, biarlah Tuhan yang menilai.

With peace and love,
@sundakelapa90

Menjelajah Dunia: Mimpi atau Ambisi?

Aku pernah berucap dalam hati dengan geram saat berada di sebuah kotak panjang bernama bus. Aku ingat betul saat itu usiaku baru beranjak tujuh tahun. Aku mengumpat dalam hati: "Betapa, oh betapa harus ku berada di bus ini? Mengapa tak kutolak saja tawaran ibu untuk ikut ke Pelabuhan Ratu? Aku menyesal. Kembalikan waktu 1 jam 25 menitku! Aku tak rela tersiksa karena mabuk darat ini. Aku mengutuk pencipta mobil, bus, dan kendaraan empat atau lebih. Betapa, betapa banyak dosa mereka padaku. Tuhan, hentikan bus ini! ". 

Begitulah kira-kira umpatanku. Aku mabuk darat. Itu yang kutahu. Setiap ibu atau paman-pamanku mengajak pergi berlibur, hatiku selalu riang. Aku selalu mengucap akan ikut--meski aku tahu betapa tersiksanya berada di dalam mobil selama perjalanan--aku tak peduli. Yang kuingat, aku selalu mengiyakan, dan selalu berakhir pada penyesalan. Seperti taubat sambal, ketertarikanku pada perjalanan dan kebencianku pada kendaraan darat selalu kukawinkan dalam ikatan terlarang. 

Aku kawan, adalah anak Betawi. Aku lahir di pinggir Jakarta. Bahkan beberapa mereka menyebut aku dan orang-orang sekitarku adalah orang Betawi Pinggir. Tak peduli, biarlah mereka memanggil kami sesuka hati. Di Cibubur ini, kami bahagia. Bukankah, itu saja tugas manusia? 

Kendaraan darat--kecuali motor--adalah barang yang sangat kukutuk. Dari situlah dulu, tak pernah terbesit dari benakku tentang pergi melangkah keluar dari kampungku. Pergi berarti harus berurusan dengan kendaraan darat. Itu artinya, aku sama saja menjadikan diriku sebagai umpan untuk ikan hiu. 

Waktu terus berjalan. Hari berganti, dan semakin banyak saja orang berdatangan ke kampung kami. Nama mereka bermacam-macam: Suparjo, Nainggolan, Nasution, dan lainnya. Tak hanya nama-nama asing yang membanjiri kampungku, kendaraan-kendaraan pribadi mereka yang dikandangi di garasi rumah adalah hal yang paling membuatku alergi. Mereka pergi bekerja dengan mobil, begitupun untuk kembali ke rumah. Saat itu, aku menjadi orang yang paling pandai berayukur pada Tuhan. Kukatakan, setidaknya aku dilahirkan sebagai miskin, tapi selama tak berurusan dengan kendaraan darat, beruntunglah hidupku. 

Kedatangan orang-orang itu, saat itu, sama sekali tak membuatku berani berimajinasi jauh bahwa kelak aku akan pergi meninggalkan kampung halamanku. Berpergian dengan bus, atau berdamai dengan mobil dan bertamasya ke suatu daerah. Aku? Mengapa harus aku pergi dari kampungku. 

Tuhan berkata lain. Ternyata meski di hati dan mulut aku mengumpat tentang perjalanan, nuraniku berkata lain. Diam-diam aku kagum dengan buku peta fotokopianku. Kupandangi peta itu berkali-kali, tiap-tiap waktu senggangku. Imajinasiku berjalan perlahan, kemudian meloncati batas yang telah kupagari dengan sempurna. Imajinasi itu menangkap sebuah pulau bersebelahan dengan Jawa: Sumatera. Svarnadwipa! 

Ada apa di Sumatera? Apa kelak akan kujumpai dan kenal secara pribadi dengan orang-orangnya? Bukankah aku telah banyak bertemu dengan orang Medan di kampungku sendiri? Lalu kenapa harus Sumatera yang menjadi keinginanku? Ada apa saja di Sumatera? Ah, tapi bukankah telah kutemui separuh punggung Sumatera itu? Beberapa lagu tradisional Minang aku hapal, lagu tradisional Batak juga, dan warung nasi Padang bahkan setiap tikungan di kampungku ada. Orag Aceh hingga lampung, banyak bekerja di perempatan jalan besar Cibubur. Lalu, mengapa harus Sumatera? 

Dari semua tanya itu, Tuhan menuntunku berjalan dan menapaki tanah-tanah baru: seluruh Jawa, Bali, hingga Asia Tenggara. Kalaulah ini bukan mimpi, maka ambisi ke Sumatera akan kulunasi. 

Dengan cinta, aku akan pergi.

With peace and love,
@sundakelapa90

Cibubur, 18 November 2015