Sabtu, 19 Desember 2015

Antara Pesona dan Makna Kawah Ijen (Part 2)

Mimpikah aku ini? Mimpikah?

Manusia macam apa yang mampu membawa beban 80 kilo sambil turun-naik gunung? Mimpikah aku? Tidak! Kupastikan diriku bahwa aku sama sekali tidak bermimpi. Aku melihat mereka--para penambang belerang Kawah Ijen--memikul belerang seberat 80 kilo turun-naik gunung. Sebelum fajar tiba, hal inilah yang kujumpai begitu tiba di Puncak Ijen. Kalau saja aku punya riwayat penyakit jantung, mungkin aku harus di-opname karena kekagetanku terhadap para penambang belerang yang luar biasa ini.

Seusai mengambil gambar, My Special One menunjuk ke arah kawah yang masih terbilang gelap, namun tidak pekat. Di sana--meski samar--terlihat  sisa-sisa blue fire yang padam berkat perpindahan cahaya matahari yang berjalan perlahan menghampiri Ijen, mengisyaratkan pagi. Dia mengajakku untuk menuruni kawah karena melihat banyak para pendaki yang juga turun ke kawah. Tapi aku? Tak tahukah My Special One itu tentang kakiku? Andai Go-Jek beroperasi di Puncak Ijen, aku akan memesan layanan antar paket untuk memaketkan My Special One ini ke negeri antah-berantah. Teganya ia...

Akhirnya, dengan kaki yang separuh bernyawa, aku dan dia berjalan turun ke bawah. Selang tak lama berjalan, kami melihat Tjen dan Han yang tengah asik mengambil foto dengan kamera DSLR-nya. Aku bertanya hal yang jawabannya sudah kuraba kepastiannya, tentang apakah mereka sempat menyaksikan blue fire atau tidak. Dengan senyum puas mereka menjawab iya. Tentu, itu merobek hatiku. Tapi, biarlah, toh aku masih bisa melihat blue fire di kompor gas rumah milik ibuku (menghibur diri). Dan mereka juga mengatakan bahwa mereka baru selesai dari pusat kawah. Kesimpulanku tentang mereka: mereka siluman yang menguasai ilmu menghilang dan berpindah dengan cepat.

Langkah demi langkah tiba-tiba aku bersemangat, entah kenapa. Padahal awalnya aku mengeluh tak kuat berjalan turun menelusuri bebatuan untuk mencapai kawah, bukan My Special One. Tapi kali ini dia justru yang kehilangan gairah--bukan semangat--untuk turun ke pusat kawah. Entah, mungkin karena aku terlalu bersemangat dengan pusat kawah, akhirnya dia menurut juga ikut mauku.

Kami berjalan, memilah-milah dataran yang sedikit bagus untuk ditapakkan oleh telapak kaki kami. Kontur dataran yang berbatu membuat kaki bagai diberi pijat refleksi gratis yang menyakitkan. Kupikir tadinya, saat melihat dari atas puncak, pusat kawah cukup dekat dan aku tak masalah berjalan untuk mencapainya. Tapi setelah kujalani, ternyata untuk mencapai pusat kawah, jalan berbatu dan berkelak-kelok amat menguras energi. Aku kembali mengeluh, tenggorokanku kembali tercekat. My Special One ternyata lebih lamban sedikit dariku sambil mengusap peluh (akhirnya aku menemukan tanda-tanda manusia pada dirinya. Dia kelelahan juga!). Tapi kami terus berjalan, berjalan, dan berjalan menuju hamparan ciptaan Tuhan yang tersaji di depan mata.

Setelah berpeluh, akhirnya kami sampai di pusat kawah. Dari sini, kami melihat jelas asap belerang menutup seluruh tubuh para penambang. Mereka para penambang, melawan terpaan asap belerang dan kemudian mencungkil belerang yang mengeras dengan linggis secara hati-hati. Bau belerang yang begitu pekat, membuatku enggan untuk melepas masker. Tapi, oh seribu tapi, tak sedikit dari para penambang yang tak menggunakan masker! Aku heran, kaget, takjub, sekaligus marah. Mengapa? Masker adalah benda yang paling mendasar sebagai penunjang kelancaran kerja para penambang, tapi mengapa masih banyak para penambang yang mengabaikannya? Apakah karena mereka sudah terbiasa dengan medan dan kondisi ini? Katakanlah iya, tapi tubuh tetaplah tubuh. Seberapa kuat dan lama tubuh mereka menghirup bau belerang, manusia kadang sulit untuk memprediksinya, bukan? Melihat itu, aku tak dapat berkata-kata lagi kecuali doa dalam hati akan keselamatan para penambang.

Belerang, kawah, penambang, dan turisme. Apa? Apa yang membuat manusia dan alam ini bertemu dalam satu tempat dengan misi yang berbeda? Belerang dan kawah adalah identitas Sang Ijen, begitulah statusnya kuat. Sementara penambang belerang mendaki dan turun Ijen demi menyambung nyawa dan mungkin menyambung cita-cita. Lalu kami para turis? Apa yang kami lalukan di sini? Menikmati keindahan alam? Membuktikan diri sebagai anak gunung? Mencari eksotisme pegunungan? Atau mensyukuri ciptaan Tuhan? Kami berbeda misi meski berada bersama dalam satu waktu dan tempat. Turis menyapa penambang, penambang mencungkil belerang. Turis memotret segala objek yang baginya menarik. Manusia, alam, dan mungkin juga tentang kedamaian. Sementara penambang mencoba mencari tambahan sampingan--mengukir belerang menjadi cinderamata sederhana, namun jika tidak berhasil menjajakannya, terpaksa kembali pada profesi utama--memikul 80 kilo belerang naik turun Ijen. Kami berinteraksi, saling berburu kebutuhan masing-masing. Tegur dan sapa antara Ijen, penambang, dan turis dalam seketika akan berakhir. Turun gunung, semua turis kembali ke jeep, sementara penambang akan bertemu lagi dengan turis-turis lainnya. Senyum sapa tadi, berakhir. Seperti tak pernah ada. Secuil ingatan mungkin yang tersisa: Ijen begitu indah.

Ah, aku tak pernah menemukan jawaban atas pertanyaanku: mengapa alam, penambang, dan turis bersua dalam satu waktu dengan misi yang berbeda? Biarlah. Bukankah tak semua pertanyaan membutuhkan jawaban. Dan tidak semua jawaban dari pertanyaan adalah tentang kebenaran.

Kami mulai menanjak ke arah puncak untuk kembali turun ke kaki gunung. Tiap turis yang melihat penambang mendaki sambil memikul 80 kilo belerang, dengan cepat dan sigap langsung memberi jalan mempersilakan lewat terlebih dulu. Begitu dengan turis lain, kami pun begitu. Rasanya, melihat otot-otot keras di bahu para penambang yang memikul 80 kilo belerang, membuat pertanyaan lain dari kekagetanku di awal melihat penambang memikul 80 kilo belerang tak bisa dibendung. Akhirnya, kuberanikan diri untuk bertanya dan berbincang kepada para penambang. Kukatakan pertanyaan-pertanyaan mendasar mulai kapan dan berapa kali naik-turun Ijen untuk menambang. Jawaban mereka beragam, ada yang memulainya sejak usia belia, ada juga yang memulainya ketika tidak ada lagi pilihan pekerjaan lain. Namun, umumnya penambang hampir sepakat menjawab, dalam sehari mereka bisa naik-turun Ijen sebanyak 2-3 kali dengan total penghasilan maksimum 150.000 rupiah!

Aku tak habis pikir. Pekerjaan yang menguras tenaga dan mengundang maut ini hanya menghasilkan beberapa receh rupiah. Salah satu penambang bahkan sempat mengatakan padaku tidak tahan dengan bau belerang yang menyengat. Dari semua cerita mereka, akhirnya aku berkesimpulan untuk sedikit membuka perspektif mereka akan rezeki. Kesimpulanku itu kusampaikan: mengapa tidak mencari pekerjaan lain?

Jawaban salah satu penambang membuatku bungkam. Aku merasa konyol dan malu telah berkata demikian. Sambil menghapus peluh, salah satu penambang menjawab bahwa profesi sebagai penambang adalah profesi terbaik saat itu yang didapatnya. Dengan pekerjaan itu, katanya, adalah satu-satunya cara bagi mereka bisa mendapatkan rupiah besar tiap harinya. Bagi mereka, 150.000 untuk naik-turun Ijen sambil memikul 80 kilo belerang adalah nikmat yang tak terhingga. Karena dengan itu, mereka bisa mendapatkan rupiah besar. 150.000 rupiah dibawa pulang. Itulah rupiah besar mereka. Dan mereka menikmatinya.

Seketika, aku mengutuki diriku. Aku yang menghasilkan 250.000 rupiah lebih dalam sehari berkat satu atau dua tulisan reportase, bahkan hampir tak pandai dalam merepresentasikan syukur. Tapi penambang ini, penambang yang memikul 80 kilo belerang ini, mensyukuri nikmat rupiah besar yang diperolehnya berkat menjual tenaga. Tenaga yang bahkan mereka tak tahu kapan limitnya akan habis. Ya, lagi lagi aku ditampar. Di sini, kuucapkan lagi sekeras-kerasnya di hati: fabiayyi ala'i Rabbikuma tukaziban.

Bersama sejuta pelajaran yang Ijen beri, aku bersyukur tiada henti. Dengan syukur ini, kuturuni Ijen dengan hati bangga. Lihatlah, My Special One tertinggal jauh di belakang. Dia bahkan mengeluh, merintih lelah, dan tak kuat menahan beban tubuhnya yang menuruni gunung. Kali ini, dengan manusia ini, rasa-rasanya tak ada salahnya aku merasa bangga sendiri karena perkasa dalam jalan turun dari Ijen. Tapi tahukah, meski manusia ini sedikit banyak menyebalkan, entah mengapa aku rela merangkulnya. Membantunya untuk melangkah turun dari Ijen, hingga mencarikan batang kayu sebagai tongkat pembantu langkahnya.

Ah, Ijen juga memberi pelajaran lain padaku dalam menyayanginya. Terima kasih telah menemaniku, My Special One. Terima kasih juga untuk para pembaca.

With peace and love,
@sundakelapa90

Cibubur, 19 Desember 2015
Pukul 20.21 WIB

1 komentar:

  1. memang rezeki tidak selalu berbentuk uang ya, bang. kebahagiaan karena dapat berkumpul dengan keluarga menikmati hasil payah yang sedikit, juga merupakan rezeki. beruntungnya orang-orang yang selalu bersyukur.
    you are really good in representing the journey into words. it is worth realizing the values of how our God touches eveything. thank you, bang.:)
    waiting for your next trip ;)

    BalasHapus