Senin, 29 Februari 2016

Manusia Dua Daya (Part 1)

Terdapat dua daya dalam diri manusia: maskulin dan feminin. Kedua daya tersebut bukan melulu mengacu pada gender, tapi pada hal penting lain yang menentukan sikap dan kebijakan tiap insan terhadap sekitarnya. Daya maskulin dikaitkan dengan otak dan otot, sementara daya feminin kerap dikaitkan dengan hati. Sebagai contoh, banyak dari para tokoh yang memiliki keseimbangan memadukan keduanya sehingga sukses luar biasa dalam bidangnya. Contohnya bagi saya adalah BJ. Habibie, Cut Nyak Deviana, Pramoedya Ananta Toer, Gus Dur, dan lain-lain.

Sementara total yang hanya menggunakan satu daya saja, kerap menimbulkan kehancuran. Para politisi dan pemimpin dunia secara global, sering mengedepankan maskulinitas untuk mendongkrak keinginan atau keuntungan kelompok dan pribadinya. Sehingga tak heran, banyak kehancuran di mana-mana. Perang, kolonialisme, imperialisme, korupsi, dan perbudakan.

Saya ingin mengambil contoh paling dekat, misalnya penggusuran Kampung Pulo yang dilakukan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Ahok mengentikan komunikasi yang buntu antara Pemprov DKI Jakarta dan warga Kampung Pulo dengan mengambil tindakan paksa yang--bagi saya--sangat menggerus moral dan juga HAM. Penggusuran dilangsungkan dengan dalih relokasi. Ahok bahkan dengan gambalang mengatakan bahwa tidak perlu menggunakan hati dan otak, cukup otot saja dalam membenahi Kampung Pulo. Akhirnya, terjadi pertumpahan darah, ambil paksa tanah warga (ada yang bergirik, dan bahkan bersertifikat), dan tontonan perkelahian antara aparatur negara dan rakyat jelata. Inilah yang saya sebut sebagai daya maskulin menanggalkan daya feminin.

Dulu pada Orde Baru, Soeharto menutup semua suara 'bising' yang mengkritik diri dan pemerintahannya. Tentara digerakkan, suara-suara dibungkam, dan pengebirian HAM terjadi secara masif dan terstruktur. Secara verbal, Soeharto menunjukkan daya feminisnya. Tapi tentu, feminisme semu. Seperti senyumnya yang khas yang selalu ditunjukkan dalam hal apapun, pembangunan nasional, hingga pengendalian harga bahan-bahan pokok. Kesemuan ini akhirnya terkuak secara perlahan seiring dengan berjalannya waktu dan menunjukkan kepada kita bahwa Soeharto hanya mengendalikan daya maskulinnya semata.

Di ranah agama, tidak terhitung orang yang dengan dalih apapun, justru lebih mengedepankan ototnya. Ranah nasional kita kenal dengan Pemimpin FPI Habib Rizieq. Tidak terhitung aksi Rizieq yang lebih sarat kekerasan, sehingga jangankan untuk mendengar nasihatnya, orang seperti saya--akan berpikir jutaan kali untuk menjadi muridnya.

Daya maskulin dan feminin adalah dua kekuatan yang menemani diri manusia. Kekuatan tersebut yang berada dalam satu medium (tubuh), sering berlomba-lomba untuk lebih unggul satu sama lainnya. Berat sebelah sedikit saja, maka akan terjadi ketidakseimbangan dalam hal-hal yang kita lakukan. Maka sebagai umat yang beragama, layaknya kita mengacu pada konteks iman.

Iman adalah sebuah kepercayaan. Kepercayaan bisa didapat jika kita sudah merasa tenang, damai, pandai menerima perbedaan, mendengarkan lebih banyak, dan membaca kehidupan lebih luas. Iman adalah merasa tenang, tak takut akan keyakinan diri atas keyakinan orang lain. Iman adalah tenang, tak takut dikalahi nafsu birokrasi meski banyak godaan sana-sini. Iman adalah tenang, tak takut mencari kata mufakat meski harus melewati musyawarah yang cukup lama. Iman adalah tenang, di atas daya, masih ada Sang Pencipta Daya. Maka untuk apa mengikuti satu daya saja jika Tuhan menitipkan dua pada kita?

Saya ingin menulis tentang seseorang yang sangat luar biasa. Tentang keseimbangan diri yang ia jaga. Tentang kebijakannya yang meliputi dua daya. Tentang dia, adalah Baginda Muhammad Rasulullah. Dialah manusia dua daya. Warisannya menggenapi alam semesta.

With peace and love,
@sundakelapa90

Cibubur, 1 Maret 2016
Pukul 06.11

Sabtu, 27 Februari 2016

Jadilah Kata-Katamu (Memoar diri akan SDA)


Saat itu usiaku 16 tahun. Saat itu, kuingat bagaimana groginya aku yang akan melangsungkan pelantikan diriku sebagai pengurus di salah satu pondok pesantren di bilangan Jakarta Selatan. Aku grogi bukan karena ingin jadi pengurus, tapi grogi karena pelantikan itu akan dihadiri oleh tamu spesial. Dalam kamus hidup keluargaku, pengertian tamu spesial adalah dua hal: pertama dagangan ibu laris, kedua adalah datangnya penjual baju kreditan ke rumah, seminggu sebelum Hari Raya. Tapi kali ini, aku menemukan makna baru akan sebuah tamu. Kali ini, tamu itu bahkan berbentuk manusia yang lain dari sekadar jualan ibu yang laris ataupun penjual baju kreditan. Tamu itu adalah manusia terhormat. Seorang menteri.

Aku hanya tahu menteri itu dari surat kabar yang kubaca tiap pagi dari Divisi Penerangan Pesantren. Aku tahu wajahnya, jabatannya, serta kendaraan politiknya. Di luar itu, bagaimana pemikirannya dan bagaimana dia, aku tak tahu. Yang kutahu, dia adalah terhormat. Terhormat bukan main hingga membuatku grogi. Inilah kali pertama bagiku bertemu dengan seorang menteri dalam panggung terhormat jua.

Detik itu tiba juga, di saat aku naik ke atas panggung untuk dibaiat, kulihat satu-satu wajah di kursi paling depan. Mana si Menteri itu, mana dia? Dia yang membuatku grogi setengah mati, mana dia?

Beberapa saat mataku mencari, kutemukan dia duduk berdampingan dengan Kyaiku. Perawakannya sedikit berbeda dari gambar yang ada di surat kabar ternyata. Si Menteri ini terlihat lebih bersih kulitnya dan berperawakan tinggi. Sepanjang duduk bersebelahan dengan Kyaiku, Si Menteri terlihat ramah. Gestur tubuhnya menunjukkan betapa ia sangat menghormati Kyaiku. Tubuhnya dibungkuk-bungkukkan saat perbincangan dengan Kyaiku itu. Masya Allah... inikah manusia terhormat itu? Menghormati Kyaiku yang lebih tua darinya yang seorang menteri negara.

Usai dibaiat diiringi kalimat sakral yang sangat luar biasa, Menteri itu naik ke atas panggung. Menjumpaiku dan mengucapkan selamat serta memberikan petuah untuk terus semangat dalam berorganisasi. Mendengar kata-katanya, aku bangga. Bangga akan menteri ini.

Usai aku turun ke panggung, si Menteri tetap di atas panggung untuk berbicara di podiumnya. Tentang hal ini, tak akan kubiarkan sedikitpun kata-katanya lewat dari telingaku. Kurekam baik-baik perkataannya, perkataan yang penuh gairah muda untuk remaja sepertiku dulu. Potongan wejangannya:

"Anak-anak yang barusan dibaiat adalah aset bangsa. Pelipur para orangtua. Pemikir dan penerus bangsa yang memiliki nilai plus. Agama dan ilmu yang dimilikinya adalah bekal untuk memajukan bangsa.

Kita butuh generasi muda yang penuh semangat, menatap masa depan bangsa dengan cita-cita. Generasi muda yang kuat, generasi muda yang tidak mudah loyo. Maka, anakku, santri-santri di sini, jadilah generasi muda yang tidak loyo! Yang mengerti ke mana arah bangsa dan negara berpacu."

Bagiku, kenangan itu menjadi sangat manis bagiku. Mulai saat itu jua, aku terus mencari-cari namanya di Media Massa. Karena bagiku yang sedang pesantren, hal itulah yang bisa dimungkinkan untuk dapat mengetahui kabar terbaru darinya. Mungkin karena dialah pejabat satu-satunya yang berinteraksi secara dekat dengan aku dan pesantrenku, maka kumasukkan dirinya dalam daftar orang-orang penting di hidupku.

Bayangan akan kenangan manisku saat pesantren itu pun buyar saat teman-temanku yang ada di sampingku tertawa geli melihat tayangan di sebuah televisi saat kami sedang menunggu narasumber di Kementerian Hukum dan HAM. Tayangan tersebut menampilkan diskusi para pejabat negara dan pengacara, topik yang dibicarakan adalah tentang dualisme partai politik yang tengah sengit kala itu. Kebetulan, partai tunggangan menteri itu pun menjadi salah satu partai yang tengah mengalami dualisme. Tapi, yang membuat teman-temanku tertawa adalah saat kamera men-shoot si Menteri yang tengah duduk melipat kedua tangannya di dada, dan dengan raut wajah serius mendengarkan pembicaraan yang tengah berlangsung. Ia duduk di sana, dalam status dirinya sebagai tersangka korupsi yang ditetapkan oleh KPK.

Dengan nada mengolok, melihat gambar si Menteri di televisi, ia berucap: "Lagi apa dia di sana? Kuliah umum?". Celetukannya itu langsung disambung tawa oleh teman-temanku lainnya. Aku pun ikut tertawa, sekaligus hatiku teriris. Usai itu, aku berjalan lunglai menyendiri. Menenggelamkan pikiranku kembali akan memori manis tentang si Menteri. Tapi seribu tapi, apa yang terjadi kenangan itu kini kuanggap sebagai panggung politik yang hanya mempertontonkan hiburan tak segar.

Untuk si menteri, terima kasih telah memberiku wejangan dan kesan luar biasa dari orang yang luar biasa. Selesaikanlah urusanmu dengan negara, mohon maaflah pada rakyat dan Tuhan Yang Maha Esa. Jangan loyo untuk mengaku salah. Jangan loyo dan kalah oleh derasnya nafsu dan keserakahan diri.

Pak Surya Dharma Ali, jadilah seperti kata-katamu yang pernah kau ucapkan dulu.

Tentang Kasus SDA:

1. SDA terlibat kasus korupsi Dana Operasional Menteri (DOM) 2013-2014

2. SDA menyewengkan kuota haji sebanyak 33 orang kepada anggota DPR saat menjabat sebagai Menteri Agama

3. Pada tahun 2014 SDA ditetapkan menjadi tersangka dan pada April 2015 ditahan oleh KPK.

4. SDA sempat mengajukan pra-pra-peradilan, yang kemudian ditolak oleh Mahkamah Agung Jaksel. Hakim yang memutus perkara adalah seorang perempuan.

5. Saksi dalam kasus korupsi SDA di antaranya dari kalangan menteri, dirjen Kementerian Agama, hingga pihak swasta yang bekerjasama dengan Kemenag.

With peace and love,
@sundakelapa90

Cibubur, 28 Februari 2016
Pukul 06.40 WIB

Kamis, 25 Februari 2016

Berbudaya, Beragama, Bersaudara

Lelah. Malas. Tapi geram.

Itulah perasaan saya ketika membaca tulisan dalam meme ataupun artikel tentang hal-hal yang harusnya sudah final, tapi diperdebatkan dengan menarik urat oleh sebagian kalangan muslim. Tentang menulis kalimat Insya Allah-In Syaa Allah, Amin-Aamiin, dan juga perdebatan tentang mengucapkan hari besar perayaan agama orang lain.

Setiap tahun berulang. Itu-itu saja yang dibahas. Sadarkah mereka jika itu hanya akan menguras energi dan waktu?

Di balik dunia sana, orang sudah berpikir bagaimana bisa menghasilkan bibit padi yang bisa tumbuh dan panen hanya dalam hitungan hari. Atau ada juga yang berpikir menciptakan kendaraan udara semacam mobil, meracik obat-obatan pencegah demensia, atau memberikan terapi ampuh untuk mengurangi halusinasi orang dengan skizofrenia.

Itu sebabnya saya sangat menyayangkan kejadian remeh-temeh ini terus diperdebatkan di sebagian kalangan muslim. Mengklaim diri paling benar, menegasikan orang lain, dan bertindak dengan arogan seolah wakil Tuhan.

Marilah kita kembali kepada dasar diri manusia diciptakan ke bumi: menjadi pemimpin. Pemimpin untuk dirinya sendiri. Pemimpin untuk nuraninya, pemimpin untuk hatinya, pemimpin untuk penanya, pemimpin untuk tutur katanya, pemimpin untuk sikapnya, dan pemimpin untuk segala hal yang menjadi tanggung jawabnya.

Jadilah pembicara, penulis, penyanyi, penda'i, pengajar, pengamat, yang terus menebarkan kesejukan. Menjadi candu bagi mereka yang haus ilmu dan persaudaraan. Jadilah seluruh tutur kata dan laku menjadi hal yang paling menyejukkan di dunia. Menjadi yang paling ditunggu oleh setiap pemimpin di bumi. Menjadi manusia berbudaya beragama bersaudara.

Tulisan ini, saya pun takut akan menjadi bumerang untuk diri saya sendiri. Siapa yang tak lupa jika saya juga manusia, yang tak luput dari salah dan dosa. Mohon maaf jika ada salah-salah kata, tegur saya jika salah.

With peace and love,
@sundakelapa90

Cibubur, 25 Februari 2016
Pukul 20.50 WIB

Senin, 15 Februari 2016

Memahami Pulau Sempu (Part 2)

Setelah berjalan kaki kurang lebih tiga kilometer, akhirnya kami berenam tiba di Segara Anakan. 15 menit sebelum tiba di titik pusat Segara Anakan, kami telah mencium wangi laut yang cukup amis. Karena jalan menuju titik pusat Segara Anakan seperti memutari anak laut, maka dari jarak ini kami berdamping-dampingan dengan anak laut. Dari sini terlihat jelas bagaimana air laut Segara Anakan yang begitu jernih, sehingga menampakkan dengan jelas beragam ikan laut yang berenang di dalamnya.

Aku tak sabar. Tak sabar untuk sampai!

Ransel di pundakku serasa tak berat sama sekali. Aku tak lagi meminum air mineral, aku tak haus air. Aku hanya haus untuk tiba di Segara Anakan. Tapi, karena langkahku, My Special One, dan Pak Guide (aku lupa siapa namanya) lebih cepat dibanding keempat teman Malaysia kami, jadilah kami menunggu mereka muncul terlebih dahulu untuk dapat sampai ke Segara Anakan bersama-sama.

Dalam proses menunggu ini, aku memerhatikan sekeliling. Hutan belantara, keheningan, dan juga kuasa Tuhan. Entah mengapa, yang terbesit di benakku dalam suasana begini adalah J.K Rowling. Aku berpikir sendiri kenapa imajinasi Rowling menabrak dimensi imajinasi manusia kebanyakan? Mengapa dengan tema penyihir saja, Rowling bisa menyambungkan imajinasinya dengan beragam fantasi. Dan 'menyulap' imajinasi tersebut menjadi dunia nyata.

Kekagumanku pada Rowling makin bertambah hari itu. Bukan karena kisah Harry Potter begitu memikat, tapi karena objek yang diambil Rowling adalah tentang sihir. Di sini, entah disadari atau tidak oleh banyak pembaca dan penikmat seri fiksi imajinatif, bahwa dengan memasukkan tema sihir dalam karyanya, Rowling bisa lebih lentur memainkan drama. Dalam dunia nyata saja, banyak manusia yang sering berkhayal untuk cepat ini cepat itu. Andai ini andai itu. Dimensi sihir cukup fleksibel dalam menciptakan ruang baru khayal yang cukup realistis. Tapi nilai plus lain dari Rowling tak hanya membiarkan pembaca untuk terjebak dalam arus khayal dan magis, tapi juga memberikan pakem normatif yang sangat bijak. Seperti sistem sihir yang diterapkan di Hogwart. Satu kata untuk ini: briliant!

Sudahlah, jauh sekali aku memikirkan Rowling. Manusia itu memang ajaib. Tapi jujur dari hati, karena Rowling begitu 'rakus' menulis tentang imajinasi, aku kehilangan banyak objek dan ruang gerak (maklum, penulis amatiran. Belum banyak ide).

Whatever, will or without Rowling in this world, nyatanya imajinasiku terpancing juga dengan aura hutan belantara ini. Entah, ada beberapa tokoh hidup di kepalaku. Satu, dua, dan tiga muncul. Tentang binatang, kerakusan manusia, dan kemalangan manusia yang lain. Hutan, perburuan, kasih sayang semu, keluarga, binatang, dan kekuatan diri. Pikiranku mulai merangkai cerita, berjibaku dengan konflik, dan berdendang dengan gila. Pikiran ini yang kemudian merangsang bibirku untuk tersenyum. My Special One menatap senyumku, kemudian acuh lagi. Mungkin ia berpikir bahwa aku tengah kegirangan karena akan sampai ke Segara Anakan. Ha-ha.

Akhirnya, keempat teman Malaysia kami tiba. Perjalanan dilanjutkan kembali dan selang beberapa menit, kami tiba di titik utama Segara Anakan. Panas terik mini pantai ini menyambut kami. Terik yang luar biasa membuat tak satupun manusia yang rela berdiri di pasir pantai. Semua mengungsi ke pinggir, berteduh di pepohonan rindang yang menjadi tempat tinggal kera. Baru saja tiba, kami segera mendirikan tenda. Karena takut air laut pasang tiba-tiba, kami mendirikan tenda agak belakang tak jauh dari perkampungan kera. Ya, meski terkadang manusia sering menolak teori Darwin, tapi nyatanya antara manusia dan kera tetap saling berdampingan dan berbagi lahan. Nasib.

Usai mendirikan tenda, keempat teman Malaysia kami memutuskan untuk duduk santai dan beberapa ada yang merebahkan diri. Sementara aku dan My Special One membuka bekal dan melahapnya. Dalam makan siang ini, aku banyak berbincang dengan teman-teman Malaysiaku. Tentang alam, film, sepakbola, hingga UMR Jakarta dan nasib sarjana Indonesia. Dalam perbincangan inilah aku menangkap beberapa poin: kesetaraan, kemanusiaan, dan pengabdian alam pada manusia.

Dalam beberapa hal, teman Malaysiaku secara eksplisit memuji manusia Indonesia yang dibilangnya cukup artistik. Everywhere is music. Karena mereka baru saja pulang dari Semeru, aku menduga mereka cukup kagum dengan beberapa pendaki Indonesia di Semeru yang bersusah-susah memikul carier tapi masih menyelipkan gitar untuk dibawa sepanjang jalan. Itu baru musik, belum hal lainnya semisal kesenian benda dan warisan budaya tak benda. Tapi kutegaskan pada mereka, manusia adalah manusia. Antara manusia Indonesia dan Malaysia, semua adalah sama. Yang membedakan manusia Indonesia dan Malaysia hanyalah secarik dokumen. Bagiku, nasionalisme melintasi batas. Tak hanya geografis belaka, lebih dari itu bagaimana kita bisa melihat manusia adalah makhluk Tuhan yang sama dan memiliki hak bahagia, dialah nasionalisme. Alam ini, kataku pada mereka, bukanlah milik orang Indonesia ataupun pemerintahnya. Secara dokumen, ya. Tapi secara bahasa yang lebih manusiawi, alam ini milik dunia. Bukan hanya orang Indonesia yang wajib menjaganya, tapi juga siapapun mereka yang menamakan dirinya adalah manusia. Karena dunia harusnya tak dikotak-kotakkan dengan keserakahan dan aroganisme manusia, maka meski berbeda dokumen antara kita, marilah bergandengan tangan memupuk kedamaian dan persatuan dengan bibit terbaik.

Tentang sarjana Indonesia yang digaji murah oleh pemerintahnya, aku katakan pada mereka bahwa Tuhan tak pelit dalam membagikan ilmunya. Meski pemerintah Indonesia lemah, tapi banyak dari rakyatnya tidak. Berjuang mencari rezeki di luar pekerjaan formal, atau menciptakan lapangan pekerjaan baru, adalah salah satu contoh mengapa banyak sarjana Indonesia yang bisa bertahan hidup dan bahkan menghidupi banyak sektor non-formal. Meski tak sedikit juga sarjana Indonesia yang 'nyampah', merengek pekerjaan dengan skil pas-pasan. Hal itu silakan dimaknai sendiri.

Dari Segara Anakan di Pulau Sempu ini, rasanya aku ingin matahari segera tenggelam. Biar malam menampakkan wajahnya. Bersama bintang-bintang berserakkan di angkasa. Biar alu belajar, biar aku terus paham apa artinya Tuhan menitipkan Sempu kepada manusia.

With peace and love,
@sundakelapa90

Cibubur, 16 Februari 2016
Pukul 09.09 WIB






Minggu, 14 Februari 2016

Merapi Berpesan (Jogjakarta Part 1)

Pada 2012 lalu aku bersama temanku mengunjungi Jogjakarta. Rencana kami sebenarnya adalah berwisata, namun agar perjalanan ini terlihat lebih keren dan kece, rencana hunting foto akhirnya kami selipkan untuk sekalian dijadikan pameran foto jurnalistik tahunan di kampus kami.

Sampai di Jogja--sebagai mahasiswa kala itu yang masih berselera mainstream--Malioboro menjadi tujuan utama kami. Alasannya? Belanja, foto selfie, dan lainnya yang sama sekali lain dari wacana mulia kami. Tapi untuk pribadi sendiri, poin foto selfie tak masuk dalam kamus besar rencanaku.

Jujur saja, perjalanan kala itu adalah perjalanan ternorak yang pernah aku rasakan. Untuk kantong mahasiswa yang pas-pasan dan mental pengembara yang tak seberapa, beragam cobaan (biar dramatisir) datang silih berganti. STNK motor hilang (padahal motor teman yang tinggal di Jogja), itinerary kacau, dan norak berfoto di tiang lampu merah Benteng Vredeburg.

Namun karena cobaan dan kekacauan itinerary itulah barangkali yang mengantarkan kami sampai ke sebuah tempat yang tidak pernah kami duga sebelumnya: Merapi pasca erupsi.

Entah apa bayangan kami tentang gunung, yang kami tahu saat itu hanyalah keinginan melihat Merapi pasca erupsi. Entah, mungkin karena faktor pemberitaan media yang begitu masif tentang erupsi Merapi 2010 silam yang membuat kami sangat ingin berkunjung ke sana. Maka walhasil, bayangan gunung di benak kami barangkali sebelas dua belas dengan jalan ke Alun Alun Kidul. Jangan tertawa jika kuceritakan bahwa kami ke Merapi dengan mengendarai sepeda motor!

Awal mendaki, kami masih percaya diri bahwa kami tak salah berkendara begini. Awal pendakian, rumah-rumah warga masih banyak terlihat, petani banyak berseliweran, dan udara dingin belum menusuk ke tubuh kami. Tapi semakin menanjak, pemandangan mulai berubah. Pohon-pohon setengah tubuh memenuhi pandangan kami, sisa abu vulkanik mulai terlihat juga di hadapan kami. Karena semakin jauh mendaki dan melihat kondisi Merapi yang sunyi, aku membuat komitmen tersendiri pada hatiku bahwa aku sanggup menjelajah Merapi. Apapun yang terjadi.

Karena semakin jauh kami mendaki, temanku mencoba memastikan kondisi motor kami tidak memiliki masalah berarti. Maka aku pun memastikan bahwa bensin, ban, dan rem dalam kondisi baik. Kami berjalan lagi, tepatnya membesarkan diri bahwa perjalanan ini akan baik-baik saja.

Semakin tinggi kami mendaki, semakin hilang jalan utama Merapi yang diakibatkan erupsi lalu. Banyak jalan bercabang yang tak bisa kami raba yang mana jalan utamanya. Berbekal insting backpacker imitasi kami, akhirnya kami pilih satu jalan yang menghantarkan kami ke tempat Merapi yang paling sunyi. Di sini, pohon-pohon gundul bertebaran, hutan diamuk alam yang luar biasa, dan beberapa rumah hanya tersisa tiang-tiangnya saja. Dalam kondisi seperti ini, jangan tanya apakah ada manusia yang melintas. Satu-satunya manusia yang kurang waras adalah kami. Di sini dengan sunyinya Merapi.

Hanya ada suara burung dan kesunyian alam. Rintik hujan yang turun perlahan pun semakin menambah suasana Merapi bagaikan rumah tak berpenghuni untuk kami. Sempat terpikir untuk kembali, namun entah mengapa aku bertekad untuk melanjutkannya. Temanku ikut mauku. Maka untuk apa kembali? Perjalanan ini harus sampai ujungnya.

Motor kami terus jalan menanjak. Debu yang tebal makin membuat ban motor kami sulit berjalan. Terlebih medan yang menanjak semakin membuat laju motor kami melaju begitu lambat. Anjing yang melintas pun larinya lebih cepat dari motor kami. Selain laju motor, kami pun mulai menggigil. Dinginnya Merapi dipadu dengan gerimis hujan, membuat kami memutuskan untuk berteduh sejenak. Tapi di mana? Tak ada pohon utuh di sekitar kami, apalagi rumah. Tapi kemudian, tak jauh dari pandangan kami, kami melihat sebuah rumah yang masih memiliki tembok tanpa atap. Sesuatu yang langka dari pengalaman penglihatan kami untuk rumah-rumah di Merapi ini. Dan ketika kami sampai di rumah tersebut, gerimis mulai reda.

Kami cukup terkejut dengan rumah ini. Rumah ini berisi barang-barang rumah tangga yang terkena letusan Merapi. Gelas, piring, baju, buku, dan barang lainnya meleleh akibat panasnya erupsi Merapi. Melihat ini, kami segera mengeluarkan kamera DSLR kami dan mencoba mengabadikan momen apa-apa yang kami lihat. Dalam fase awal pemotretan, aku mengambil objek foto di interior rumah sementara temanku mengambil objek foto di beranda rumah.

Aku menjelajah ruangan demi ruangan untuk mendapatkan gambar. Lemari, tv, gamelan, tempat tidur, merupakan beberapa benda yang tak lagi utuh. Kulihat dengan jeli semua sudut rumah ini dan kuambil beberapa gambar. Beberapa objek bagiku terlihat seperti sama saja, tapi mataku terhenti pada satu objek yang entah mengapa menguras perasaanku. Tentang sebuah frame galeri yang tak lagi utuh, yang kehilangan gambar diri atau objek yang terpampang di sana. Tapi, objek diri tersebut digantikan dengan sebuah gambar sederhana seorang wanita di atas dinding. Tepat di samping frame tersebut tertulis: habis sudah semua.

Hatiku pilu melihatnya. Tiba-tiba saja aku mengutuk diriku yang datang dengan rencana mencari gambar foto untuk keperluan pameran. Tapi di hadapanku, tak kuasa aku melihat bagaimana pergulatan batin seseorang yang entah siapa menggambar ulang seseorang ke dalam frame yang tak lagi utuh pasca erupsi. Ini adalah tragedi. Sebuah narasi tentang kehilangan, bukan lagi narasi tentang amukan Merapi. Maka benda-benda yang semula aku lihat seperti gelas, piring, gamelan, tv, lemari, dan lainnya tadi bukanlah perihal tentang ganasnya Merapi saja. Tapi lebih dari itu, terdapat sebuah wacana besar bagaimana seseorang atau lebih, dalam memelihara trauma dan memaknainya.

Di luar rumah, kulihat tulang-belulang binatang ternak yang disusun rapi, dan tak jauh dari tulang-belulang itu terdapat sebuah tanggal sakral kapan tepatnya Merapi menumpahkan luapannya. Sejenak kuperhatikan puncak Merapi dari tempatku berdiri, lama kuperhatikan dan hatiku bergumam sendiri: Merapi berpesan, manusia belajar kembali.

Perjalananku pun terus menemukan titik haus. Kupastikan Merapi bukanlah ujung dari pengembaraanku. Pesan dari Merapi, akan kutulis lagi.

With peace and love,
@sundakelapa90

Cibubur, 15 Februari 2016
Pukul 08.01 WIB


Kamis, 11 Februari 2016

Jakarta The Queen of the East (part 2)

Wanita tua itu duduk memandangi bunga-bunga di depan rumahnya. Menghirup aroma bunga yang baru saja tumbuh. Harum. Sejuk.

Matanya yang layu, tak henti memandangi langit senja. Menunggu pandang burung yang terbang. Satu menit, lima, hingga ratusan menit ia tunggu, tak ada burung barang satupun jua. Setelahnya ia baru tersadar: "Ah ya, ini Jakarta. Bukan kampung halamanku."

Meski sedikit kecewa, wanita tua itu masih punya banyak alasan untuk tersenyum. Tentang cita-cita besar milik seorang wanita. Cita-cita yang telah ia raih dengan letih. Karena cita-cita itulah, aku sendiri yang akan menuliskan cerita singkatnya di sini. Kisah ini, tentang seorang ratu. Wanita tua itu...

Gadis cantik seusianya (16 tahun) masih sibuk dengan dapur. Mengurus suami, memandikan anak, dan menunggu senja datang untuk menyambut kembali suami di rumah. Tapi gadis ini tidak, di usia mudanya, ia telah menjadi janda. Setengah gila dengan kematian dua anaknya dalam waktu yang tak terlalu jauh. Gadis muda itu pulang ke rumah orangtuanya dengan hati dan pikiran yang kacau. Rasanya ia berniat tak akan melanjutkan masa depan. Untuk apa hidup jika cinta berkhianat dan anak-anak telah mangkat? Hancur sudah.

Ah, gadis semuda itu mengerti benar menerjemahkan naluri seorang ibu!

Hari demi hari, gadis itu mencoba melupakan kenangan pahitnya. Kenangan tinggal di Kota besar, kenangan memakai kebaya encim termahal, kenangan menyaksikan pembangunan pusat kota, hingga kenangan bagaimana menjalin cinta mudanya. Ia hapus kenangan itu, meski tak seluruhnya. Tak satupun barang atau album kenangan yang ia bawa, kecuali foto dua anaknya yang mangkat. Ia tahu, foto itu akan menjadi modal menghadirkan semangat hidupnya.

Ia kembali ke pinggir kota. Mencari rezeki di kampung halamannya. Menjadi petani, menjual kue, atau menjadi buruh pabrik ubin pun tak masalah. Ia harus mencari uang untuk kebutuhan hidup. Ia sadar, orangtuanya bukanlah orang punya. Orangtuanya hanyalah pengajar ngaji yang tak bermimpi memupuk rupiah. Bagi keluarganya, rupiah hanya bisa didapat dari tenaga. Karena tak satupun dari mereka yang sanggup mencicipi bangku sekolah. Maka jelas, rupiah tak akan mungkin mereka dapatkan dari jalan akademis.

Namun takdir berkata lain. Gadis muda itu ternyata menemukan rezekinya pada profesi tata rias. Belajar otodidak, ia nyatanya dapat menjadikan profesi itu sampingan dari pekerjaan utamanya sebagai buruh pabrik. Dari sini, ia mulai menabung. Mulai percaya diri memupuk masa depan. Memupuk cita-citanya. Cita-cita yang begitu mulia.

Tahun demi tahun berganti, pernikahan keduanya datang. Meski banyak pria mapan dan bujang datang padanya, gadis ini memilih menikah dengan seorang pria berpenampilan elegan yang berbeda usia 25 tahun darinya. Bahkan gadis ini rela menjadi istri kedua. Keluarga mencacinya. Mendengar kisah inipun, aku turut mengkritiknya. Tapi siapa lah aku?

Alasan penerimaan gadis itu terhadap lelaki suami orang yang diterimanya adalah sederhana. Lelaki itu sangat dekat dengan anak-anak kecil. Siapapun anak kecil yang bertemu dengannya, selalu melekat erat dan terngiang. Kata anak-anak itu: "Ah ya, mana Bapak Arab itu?"

Tahun berganti. Cinta mereka bersatu. Meski diwarnai pro kontra. Namun harapan gadis itu pupus. Suami yang diharapkannya terlalu lemah. Ia tak memiliki gagasan besar tentang hidup. Tak memiliki semangat untuk membangun cita-cita. Padahal gadis itu tengah takut, hatinya genting. Betapa tidak, masyarakat dan sanak saudara di sekelilingnya tengah asik menjual tanah dan sawah secara masif. Rupiah tersebut dibelanjakan kebutuhan kelakuan. Tak ada yang diinvestasikan untuk pendidikan. Gadis itu layu, ia menatap kampungnya. Hutan hilang, sawah makin sempit, dan hidupnya juga terancam karena suaminya adalah pengangguran-penyakitan.

Gadis lain yang bermandikan rupiah karena menjual tanahnya, berhidup hedonis, berdempul bedak termahal pada zamannya. Sementara gadis itu hanya berpikir bagaimana enam orang anaknya dapat melanjutkan sekolah tanpa menjual tanah waris sepeserpun. Sementara profesi menjadi tata rias telah ia hentikan karena kecemburuan suaminya yang terlalu picik.

Ia tak mau berdempul. Ia tak mau membeli kebaya encim. Ia tak mau membeli perabot terbaru. Dan ia juga tak mau memuaskan gairah wanita muda seusianya untuk menikmati hedonime. Tapi sungguh, nuraninya ingin. Sangat ingin. Memiliki semuanya yang harusnya ia bisa, ia sangat ingin. Tapi bagaimana cita-citanya?

Akhirnya ia membuang jauh-jauh hasrat mudanya. Ia buang tak tersisa. Ia tak mau tergerus zaman. Ia tahu ia bisa.

Bersama sedikit kebisaannya di dapur, ia membuat kue lapis, bugis, apem, lupis, hingga nasi uduk untuk dijajakan di warung-warung di pagi hari. Siangnya, ia menjual es sirup hingga sore. Proses itu dimulai saat jam dua pagi. Di malam yang buta itu, ia bersujud memohon rezeki halal dan kekuatan diri. Kemudian ia mulai berkutat di dapur. Menggoreng tempe, bakwan, dan keperluan nasi uduk lainnya. Sebelum subuh tiba, ia sudah siap mengantar dagangannya. Sebelum pergi, ia tengok dulu anak-anaknya yang masih pulas di ranjang. Lima anak muat tertidur dalam satu ranjang. Terlihat jelas bagaimana kurangnya gizi mereka bukan? Badan kecil-kecil itu diselimutinya dengan perlahan. Ia kemudian menengok si bungsu yang tertidur di ayunan. Lelap. Semua masih tertidur, maka ia siap berangkat mengantarkan dagangan.

Usai mengantar dagangan dari jarak satu kilometer dari rumahnya, dalam separuh perjalanan balik ke rumah, adzan subuh berkumandang. Ia lari secepat-cepatnya ke rumah. Tak peduli bagaimana jalan berbatu atau menanjak sekalipun, ia tetap berlari. Ia takut anak bungsunya terbangun dan jatuh dari ayunan.

Untuk apa wanita muda itu sangat ngotot mencari rupiah? Sangat mengacuhkan masa mudanya? Padahal ia kehilangan hak sebagai istri, hak kenikmatan muda, hingga hak sebagai warga negara untuk menempuh pendidikan. Jawabannya hanya dua: ia ingin menyekolahkan anak-anaknya dan menyimpan warisan leluhurnya akan sebuah tanah. Sepetak tanah Jakarta.

Menulis ini, menguras hatiku. Gadis yang kehilangan masa mudanya itu, kini tengah menikmati kebahagiaannya. Duduk di teras rumahnya mencium wewangian bunga. Gelar sarjana telah ditorehkan anak-anaknya, tanah waris tak ada yang dijualnya, di depannya berbaris mobil-mobil anak-anaknya, dan ia telah selesai menuntaskan kewajiban haji dengan keringatnya. Hanya saja ia kehilangan kampung halamannya yang dulu. Hutan dan sawah tinggal kenangan. Burung-burung tak lagi terbang. Tembok beton perumahan barangkali menghalangi sayap burung-burung.

Tak berlebihan kukatakan bahwa wanita tua itu adalah ratu tanpa mahkota. Dia adalah ratu sesungguhnya, ratu adil yang begitu menggugah. Dialah, De Koningin van het Oosten Jakarta masa kini. Bagiku, dialah Ratu dari Timur itu. Dialah Hj. Saanih--ibundaku tercinta.

With peace and love,
@sundakelapa90

Cibubur, 12 Februari 2016
Pukul 09.47 WIB

(Note: tulisan ini adalah cuplikan novel yang tengah saya garap. Novel ini baru saya tulis sampai bab lima. Untuk para pembaca, mohon doakan saya semoga diberikan waktu dan kekuatan untuk merampungkannya. Terima kasih untuk mendoakan dan membaca tulisan ini.)

Cinta Mengalahkan Kasta

Judulnya terdengar ilusi, ilusi milik para pemimpi. Tapi orang yang tak pernah jatuh cinta, tak akan mengerti bagaimana sebuah mimpi bisa membangun harapan yang nyata.

Sebuah lakon drama dari Maestro Teater asal Bali, Putu Wijaya yang berjudul Bila Malam Bertambah Malam, mencoba menggambarkan bagaimana kekuatan cinta pada akhirnya merobohkan sebuah tatanan sosial yang sudah tidak relevan lagi pada zamannya. Lakon ini tentang cinta seorang sudra yang mencintai seorang dari kasta keluarga ksatria.

Kisah ini seutuhnya milik satu cinta dengan dua jalan terjal berbeda. Antara seorang lelaki sudra Wayan dan seorang wanita berdarah biru I Gusti Biang.

Kisah dimulai dengan hadirnya seorang wanita tua janda yang menghabiskan hidupnya dengan kebanggaan akan garis keturunannya. Tentang leluhurnya yang berdarah biru, dan suaminya yang meninggal di medan perang dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dengan kebanggaannya tersebut, I Gusti Biang tak henti-hentinya menegaskan diri bahwa dirinya adalah wanita tertinggi bagi siapapun manusia yang ada di lingkungan sekitarnya. Kebanggan tersebut ia tunjukkan tak terkecuali, hingga di hadapan para pembantunya. Si lelaki tua Wayan, dan pembantu wanita muda yang mengabdi padanya sedari kecil bernama Nyoman.

Meski sering mendapatkan perlakuan tidak mengenakan dari Gusti Biang, Nyoman tetap patuh dan memedulikan kesehatan sang majikan. Setiap hari Nyoman selalu menyediakan masakan empat sehat lima sempurna dan ramuan obat-obatan agar batuk Gusti Biang sembuh. Namun perlakuan baik Nyoman justru menghadirkan sikap kasar dari Gusti Biang. Nyoman dicurigai akan meracunnya. Umpatan kasarpun sering dilontarkan Gusti Biang pada Nyoman.

Bertahun lamanya Nyoman diperlakukan seperti itu, hingga suatu ketika datang masa di mana kesabarannya telah habis. Nyoman memutuskan untuk pergi dari rumah Gusti Biang. Namun kepergian Nyoman ini tak diizinkan begitu saja oleh Gusti Biang. Ia mewajibkan Nyoman membayar ganti rugi dari semua materi yang telah diberikan sejak kecil hingga dewasa yang dirasakan Nyoman. Mendengar hal tersebut, tentu Nyoman merasa sedih dan tidak habis pikir. Padahal, ia mengabdi pada Gusti Biang tanpa sepeserpun gaji. Tapi biaya hidupnya sedari kecil ternyata menjadi perhitungan tersendiri oleh Gusti Biang. Maka Nyoman pergi dengan meninggalkan hutang materi yang tak terhingga pada Gusti Biang.

Mendengar kepergian Nyoman, si pembantu tua yang pikun dan tuli, Wayan, kaget bukan main. Ia mencoba membujuk Gusti Biang untuk memanggil Nyoman kembali. Namun tentu saja, hasil ini nihil. Wayan justru mendapatkan cacian dari Gusti Biang.

Akhirnya karena putus asa membujuk, Wayan kemudian memberitahu Gusti Biang bahwa jika Nyoman pergi dari purinya itu, maka anaknya yang tengah menimba ilmu di kota yang bernama Ngurah, akan sedih bukan main. Wayan akhirnya memberitahu bahwa Ngurah sangat mencintai Nyoman dan berencana akan menikahinya. Mendengar hal tersebut, Gusti Biang tak percaya dan murka pada Wayan. Ia tak percaya bahwa anaknya mencintai darah sudra. Gusti Biang sama sekali tak percaya.

Namun ketidakpercayaan tersebut pupus ketika Ngurah pulang ke puri dan menemuinya. Ngurah menjelaskan kepada ibunya bahwa ia mencintai Nyoman dan akan menikahinya. Mendengar hal itu, Gusti Biang marah bukan main. Ia tak habis pikir bagaimana anaknya dapat menjatuhkan martabat leluhur dengan mencintai darah sudra. Maka dengan cepat, Gusti Biang menuduh Wayan sebagai dalang dari percintaan anaknya dengan Nyoman itu.

Gusti Biang percaya bahwa Wayan menghasut Ngurah dan Nyoman untuk saling mencintai.

"Leak! Wayaaan! Kau penghasut, kau tua bangka sial! Tuli, pikun, buta huruf, sudra! Kau menghasut anakku mencintai darah sudra! Kurang ajar!" umpat Gusti Biang geram.

Ngurah mencoba membela Wayan dengan menjelaskan bahwa ia mencintai Nyoman apa adanya. Namun begitu, Gusti Biang menjelaskan bahwa Ngurah akan dinikahkan dengan wanita berdarah biru bernama Sagung Rai. Gusti Biang percaya, Sagung Rai lebih terhormat dan pantas untuk Ngurah dibandingkan Nyoman.

Ngurah menolak. Ia kemudian menjelaskan kepada ibunya bahwa kasta adalah ajaran yang sudah tidak relevan lagi. Cinta tak perlu memandang kasta.

"Apa yang menjadikan Sagung Rai lebih pantas untuk Ngurah dibandingkan Nyoman? Tidak ada, Ibu. Semua manusia sama. Apapun kastanya, tidak ada yang membedakan kecuali seberapa besar dan kuat cinta yang dirasakan di hatinya," kata Ngurah dengan tegas.

"Anak laknat! Kau kotori kehormatan leluhurmu, kau kotori puri ini dengan cinta anak sudra itu?! Sungguh menyesal leluhurmu memiliki anak sepertimu!"

Gusti Biang melirik Wayan dan mengusirnya pergi. Wayan pun segera berkemas dan meninggalkan kediaman Gusti Biang. Dengan membawa pakaian dan bedil kuno, Wayan hendak bergegas. Namun Gusti Biang berteriak dan memerintahkan Wayan untuk tidak membawa bedil tersebut.

"Tua bangka! Mau kau curi bedil suamiku?!"

"Bedil suami Gusti Biang? Bedil mana?" jawab Wayan tak mengerti.

"Bedil yang kau pegang itu milik suamiku. Bedil itu adalah bedil tentara NICA yang telah menewaskan suamiku?"

"NICA tidak punya bedil macam ini, Gusti," kata Wayan menguji.

"Masih mengelak. Ngurah, ambil bedim ayahmu itu!"

"Biar saya lihat, Bape," kata Ngurah kepada Wayan.

Ngurah memerhatikan bedil tersebut dan mengambil peluru yang ditemukan di jasad ayahnya saat meninggal.

"Percayalah, Ngurah, peluru itu bukan milik NICA. Bedil ini juga," Wayan mencoba menjelaskan.

"Diam kau tua bangka! Suamiku adalah pejuang, dia adalah pahlawan negara. Dia mati ditembak NICA!"

"NICA tidak punya bedil seperti ini, tidak juga punya peluru macam itu, Gusti. Bedil ini milik gerilyawan Indonesia, peluru itu juga,"

"Diam kau, diam kau!"

"Suamimu mati ditembak gerilyawan, bukan ditembak NICA. Dia mati sebagai pengkhianat karena membocorkan strategi dalam perang Puputan kepada NICA. Dia ditembak gerilyawan, dia mati sebagai pengkhianat!"

"Kurang ajar! Beraninya kau menghina suamiku?! Suamiku yang sangat terhormat, terlahir dari keluarga bermartabat dihina oleh seorang sudra?! Tembak dia Ngurah, tembaaak!"

"Bape, tega betul bicara begitu pada kami," Ngurah bingung dan tak percaya dengan apa yang dikatakan Wayan.

"Memang itulah yang terjadi, Ngurah. Ayahmu adalah pengkhianat negara. I Gusti Ngurah Ketut adalah orang yang paling berdosa dalam Perang Puputan. Karena ia, Pak Rai gugur dalam perang, kapten juga gugur. Banyak prajurit Bali di Perang Puputan terbantai oleh NICA. Sebab itu, aku sebagai gerilyawan menembaknya. Dengan bedil ini, ia mati di tanganku!"

"Tidak! Bohooong! Bohong!" tangis Gusti Biang histeris.

"Bape menembak ayah saya?"

"Ya. Ayahmu kutembak. Ia mati sebagai pengkhianat. Tapi karena dia adalah keturunan bangsawan, maka kesalahannya ditutupi. Ia dibilang mati dalam membela negara. Padahal ia mati karena telah berkhianat pada negara. Sejarah banyak dipalsukan. Kejahatan seringkali ditutupi."

Gusti Biang tak henti-hentinya menangis. Ia terpukul dan berhenti bicara.

"Ngurah, ayahmu adalah pengecut. Dia adalah seorang wandu alias banci. Demi menutupi itu, ia sengaja memelihara 15 selir agar orang tak tahu bahwa ia adalah wandu. Tiyang selalu ada menemani Gusti Ngurah Ketut ke manapun dia pergi. Tapi tiyang kecewa, tiyang kecewa dan sedih karena Gusti Ketut tak menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami. Ia tidak dapat membuat Gusti Biang bahagia," ucap Wayan dengan ketir. Kata-katanya terputus sejenak.

"Maksud Bape bahwa ibu tidak bahagia adalah karena ayah adalah wandu? Lalu mengapa Bape bersedih?" Ngurah tersentak dan air matanya hampir meleleh, namun sekuat tenaga ia ingin mendengar pernyataan Wayan selanjutnya.

"Ibumu adalah cintaku satu-satunya. Sedari kecil kami saling mencintai. Tapi ia tidak mau dikalahkan oleh statusnya, ia menolak cintaku dan menikah dengan Gusti Ngurah Ketut yang berdarah bangsawan hanya karena gengsi semata. Tapi karena Gusti Ngurah Ketut adalah seorang wandu, maka akulah yang selalu menemani Gusti Biang dalam suasana apapun. Aku rela menjadi pembantu seumur hidupnya, dicaci, dan dihina asal tetap bisa ada di sanpingnya. Dan Ngurah... tanyakanlah pada ibumu, siapa sebenarnya ayah kandungmu? Tanyakanlah..."

Ngurah melirik ibunya lirih, Gusti Biang tak balik menatapnya, seolah mengulur waktu akan terbongkarnya sebuah rahasia.

"Akulah ayah biologismu. Tapi aku hanya seorang sudra. Legalitas saja aku tak punya untuk mengakui kau adalah putraku. Tapi biarlah begitu. Biarlah. Asal aku ada di sisi Gusti Biang, asal aku bisa menemaninya, itu cukup. Meski aku harus berpura-pura menjadi tua bangka tuli, pikun, buta huruf, aku tak mengapa."

Ngurah tertunduk lesu, terperanjat dengan kenyataan yang baru saja didengarnya.

"Tapi Ngurah... kau tidak boleh merasakan apa yang aku rasakan. Kau tidak boleh kehilangan masa mudamu sepertiku. Kau tidak boleh kalah oleh tatanan sosial ini. Kejarlah Nyoman jika kau mencintainya. Kejarlah ia dan nikahilah. Lalu engkau akan tahu bahwa sesungguhnya, cinta bisa mengalahkan kasta."

"A... ayah..." kata Ngurah terbata-bata dan segera dipotong Wayan.

"Tak perlu memanggilku dengan sebutan ayah. Anggap engkau tak pernah tahu. Anggap aku adalah sudra pembantumu. Tapi percayalah, aku akan selalu ada di sisi kalian berdua. Percayalah... "

Terharu dengan ucapan Wayan, Ngurah segera bergegas menjemput Nyoman. Menjemput cintanya. Menjemput masa mudanya. Ia lari, secepat-cepatnya pada cinta.

Sepeninggal Ngurah, Wayan mendekati Gusti Biang.

"Tak apa kah bila tiyang tetap tinggal di puri ini, Gusti?"

"Diam kau. Aku malu," wajah Gusti Biang merah merona. Seolah usia tak menjadi pengingat rona tersebut.

"Malu dengan siapa, Gusti? Tiyang tidak akan bicara lagi tentang yang dulu-dulu,"

"Tadi kau ceritakan pada Ngurah, aku malu,"

"Baiklah, tiyang tidak akan ceritakan lagi. Tapi apakah tiyang boleh tinggal lagi di puri ini?"

"Kenapa kau bertanya? Aku malu,"

"Kenapa malu? Gusti Biang masih tetap cantik seperti dulu. Selalu begitu di hatiku. Selalu menjadi cintaku seumur hidup ini,"

Dengan malu, Gusti Biang mencoba menatap Wayan kembali. Hatinya kemudian berdesir seolah merasakan energi cinta yang kuat yang dipancarkan Wayan kepadanya. "Tinggallah di sini, temani aku lagi."

"Selalu, cintaku. Selalu kutemani sampai akhir hayatku. Gusti Biang, sayangku... kasta ini tak akan mengalahkan cintaku padamu."

Wayan memeluk Gusti Biang dengan erat. Gusti Biang pun mendekapnya dengan erat juga. Malam yang bertambah malam, seolah tak mereka hiraukan. Biar usia semakin larut, cinta yang kuat tiada akan terlelap. Karena cinta selalu menjadi kekuatan seseorang untuk bertahan.

With peace and love,
@sundakelapa90

Jakarta Pusat, 11 Februari 2016
Pukul 18.50 WIB

Selasa, 09 Februari 2016

No Drama

Klo hidup lu susah, gak ada uang, gak kaya, gak bisa nongkrong nongkrong cantik, bilang aja. No drama.

Kalo lu gak cakep cakep amat dan udah berusaha berpenampilan lebih baik dan masih jomblo, santai aja. Jangan ngarang bebas kalo lu punya gebetan secakep dewa-dewi. No drama.

Kalo lu gak ngerti bahasa bahasa akademisi, ngomong apa adanya aja, pake bahasa lu. Gak usah ikutan ngomong berakademisi tapi gak tahu maknanya. No drama.

Klo ternyata lu suka ikan teri sama sayur asem, jangan lu bilang suka pizza biar dibilang kekinian. No drama.

Kalo lu cowok dan hobi masak, lakuin aja. Gak usah sok berhobi nge-gym biar dibilang cowok banget. No drama.

Kalo lu kere, gak cakep cakep amat, gak pinter ngomong kayak akademisi, gak suka masakan modern, hobi lu beda dari garis gender lu, its okay. Asal lu jadi diri lu sendiri, itu udah cukup. No drama.

Apa gunanya lu kaya, cakep, pinter, modern, cowok/cewek banget, tapi ternyata semuanya adalah rekayasa?

Menonton drama memang indah, Guys! Tapi menjadikan hidup sendiri sebagai sebuah drama adalah lelucon!

So, be yourself. Get your style from who you are! Life isnt drama. And this is no drama.

With peace and love,
@sundakelapa90

Cibubur, 9 Februari 2016
Pukul 21.30 WIB

(Seperti Ron dan Hermione, meski dalam drama, cinta mereka menutup kekurangan satu dari yang lainnya. In drama, no drama. Thats a life!)

Selasa, 02 Februari 2016

Sesat Pikir Dalam Artikel X

Tulisan ini diilhami dari broadcast message grup chating Whats App. Tentang korupsi, pengusaha peranakan Tiongkok di Indonesia, serta indenpendensi media.

Tulisan dari teman di grup WA itu akan saya lampirkan di bawah tulisan artikel ini. Maka sebelumnya, mari sejenak saya ajak anda untuk memahami makna dan dampak korupsi. Semoga tulisan ini menjadi bahan yang bisa didiskusikan lebih.

Pada era kepemimpinan Presiden Soekarno, pemerintah mengeluarkan kebijakan ekonomi tertutup dengan maksud meningkatkan produksi dalam negeri sehingga dapat menjadikan Indonesia kelak bangsa yang mandiri. Namun sayangnya sistem ini tidak berjalan maksimal karena terjadi beberapa kendala, salah satunya tidak didukung oleh SDM Indonesia yang memadai--wajar, Indonesia merupakan negara muda ketika itu. Selain itu, sistem yang diterapkan Soekarno lebih cenderung terlihat seperti idealisme sosialis, sehingga Amerika dan sekutu terus merasa terancam--karena saat itu sosialisme tengah populer. Sosialisme populer karena banyak menyuarakan kepentingan rakyat, utamanya kaum buruh. Modal di mata sistem ini adalah milik rakyat, dan laba akan kembali ke rakyat. Jelas hal ini membuat Amerika dan sekutu merasa terancam, pasalnya sistem kapitalisme yang bermuarakan laba kepada pengusaha, menjadi tidak populer.

Namun arus berbalik, gagasan Soekarno yang kurang berhasil itu menjadi bumerang politik untuknya. Soeharto memegang kendali setelah melengserkan Soekarno. Orde Baru muncul dan melakukan reformasi ekonomi besar-besaran. Salah satu yang dilakukan adalah menerapkan sistem ekonomi bebas yang membuat investor asing dapat menanamkan modalnya di sini. Perlu digarisbawahi, investasi asing tak semuanya jahat, asal diatur dengan aturan yang baik alias tidak merugikan negara, hal itu tidak jadi masalah.

Menjadi permasalahan adalah ketika keran investasi asing tidak diimbangi dengan aturan yang cermat. Terlebih pada era ini, banyak terjadi tindakan koruptif yang sangat masif. Digawangi oleh The Smiling General si Bapak Presiden Soeharto itu yang banyak menggunakan kewenangannya demi kepentingan kroni dan kolega, membuat banyak pengusaha-pengusaha berleha dan berkorupsi-ria. Hal ini membuat sistem ekonomi dan bisnis menjadi tidak sehat. Pada era ini juga, banyak sekali pengusaha yang survive dan bisnisnya menjadi nomor satu karena kedekatan yang luar biasa dengan Soeharto. Salah satunya adalah Liem Sioe Liong, pemilik Salim Group (Indofood, Indomilk, dll). Pada 1998 ketika Soeharto lengser, rumah Liem Sioe Liong dikroyok massa dan dia mengungsi ke Singapura hingga meninggal di sana pada 2012 (kalau saya tidak salah ingat). Perusahaannya hampir bangkrut dan dia banyak menjual saham-sahamnya. Dari contoh ini saja, terlihat bagaimana bisnis sangat dekat dengan kekuasaan. Ketika kekuasaan yang dekat itu mengalami keterpurukan, bisnis yang bersangkutan mau tidak mau juga akan terpuruk. Hal ini bisa terang diindikasikan sebagai praktik korupsi.

Karena banyaknya pengusaha--mayoritas pengusaha berasal dari etnis peranakan Tiongkok--yang dekat (saya konotasikan negatif) dengan Soeharto maka sistem yang ada telah tidak sehat. Hal itu banyak mengakibatkan terjadinya inflasi dan ekonomi yang sangat tidak stabil. Dunia perbankan Indonesia mengalami rush sehingga banyak ditambal dengan sokongan BLBI. Namun ada juga beberapa bank yang bertahan tidak menggunakannya, tapi risikonya adalah bangkrut sampai ke akar-akarnya. Bangkrutnya perbankan di Indonesia, sama dengan tutupnya modal bagi lintas sektor yang ada. Hal ini sekaligus menjadi penyumbang inflasi tertinggi di era kejatuhan Orde Baru. Namun menjadi bumerang juga ketika tak ada upaya pertanggung jawaban BLBI dari bank yang bersangkutan. Hal itu dapat merugikan negara, akhirnya banyak pengusaha yang lari membawa 'uang negara'.

Kondisi ekonomi di tiga era ini nantinya akan saya sambungkan dengan poin lain yang relevan dengan artikel dari WA tadi. Poin selanjutnya adalah media--yang dikatakan dalam artikel itu seperti berat sebelah. Bahkan tercium isu sensitfitas agama.

Media adalah kerajaan tanpa mahkota. Karena tentu saja, siapa yang menguasainya akan mendapatkan keuntungan-keuntungan. Permasalahannya, keuntungan seperti apa yang ingin diraih? Sebagai contoh, pada era Soeharto, media dipasung suaranya. Menjadi kaki tangan manis penguasa--media gagal menyuarakan kebobrokan pemerintahan. Beberapa media yang gerah dengan pengungkungan ini, mencoba berontak (seperti Tempo, Suara Pembaruan, Majalah Detik, dll) tapi gagal. Maka, keuntungan yang coba diraih Orde Baru terhadap media bukan atas sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Tapi hanya sebagai sebesar-besarnya kepentingan pribadi dan kroni.

Di era reformasi ini, media berhasil merebut kemerdekaannya. Tapi bagi saya, kemerdekaan ini semu. Memang, media semakin bebas menyuarakan, tapi hanya menyuarakan kepentingan pemodal. Sulit mencari media yang benar-benar independen, tapi saya pribadi masih percaya pada satu media saja (bukan termasuk rukun iman, jadi saya tidak murtad ya. Ho-ho-ho). Jadi dalam fase ini, media bagi saya pun terkungkung. Terbelenggu.

Dalam artikel di WA itu disebut bahwa media konvensional seperti Kompas, banyak menutup-nutupi kasus korupsi pengusaha-pengusaha peranakan Tiongkok, serta latar belakang agamanya. Saya tidak memungkiri bahwa sedikit banyak, Kompas memiliki framing tersendiri dalam memberitakan. Media ini menurut saya sangat hati-hati, terbukti ia (Kompas) tidak sampai dibredel saat Orde Baru. Tapi dari nama-nama pengusaha yang korupsi--yang disebut dalan artikel di WA--saya sangat familiar membacanya di kolom-kolom politik hukum Kompas. Maka jika artikel itu ingin mengkritik Kompas, silakan dicantumkan bukti konkret yang detail. Jangan menduga-duga.

Ketiga adalah poin agama. Apakah anda setuju dengan praktik korupsi? Jika anda waras, pasti anda tidak setuju bukan? Saya melihat artikel itu seperti mencoba membela praktik korupsi yang dilakukan oleh pemeluk agama tertentu (karena jumlah korupsinya menurut artikel itu, kecil) dibanding praktik korupsi yang masif dilakukan para pengusaha peranakan Tiongkok. Kenapa anda marah jika media memberitakan keburukan muslim yang korupsi? Karena peranakan Tiongkok atau tokoh agama tertentu tak diberitakan secara masif ketika korupsi? Lalu apa yang membuat anda marah, karena saudara semuslim anda dizalimi, sementara non-muslim yang korupsi adem ayem tanpa pemberitaan? Itu korupsi, bukan berjihad di jalan Allah!
Jika anda menuduh Kompas dan lain-lain melakukan framing berlebih kepada satu kelompok atau politik tertentu, silakan anda mengadukannya kepada pihak berwajib. Kenapa harus meruncingkan opini bahwa seakan-akan koruptor punya massa dari latar belakang agamanya? Yang muslim korupsi boleh dibela kalau mereka dizalimi media, begitu juga dengan koruptor non-muslim.

Namun, menjadi miris memang ketika seorang menteri agama melakukan korupsi. Yang ini JELAS jadi headline media. Wong tiap hari menyuruh kebaikan, tapi korupsi. Atau ketua umum partai tarbiyah yang korupsi. JELAS jadi headline, wong tiap hari menyerukan amar maruf nahi munkar sekalian kampanye poligami, tapi korupsi sapi. Yang begini mau dibela? Mau marah sama media?

Anda boleh marah dengan media, tapi dengan konten yang jelas. Soal indenpendensi media silakan anda kritik, tapi dengan cerdas. Jangan cengeng jangan manja. Jangan termehek-mehek ikut membela praktik korupsi juga. Mau muslim atau non-muslim, asal dia korupsi, pasti orang biadab! Menyengsarakan rakyat. Teman saya banyak dari kalangan peranakan Tiongkok, mereka sama kasarnya dengan saya dalam memandang koruptor. Mau apapun latar belakang agamanya, tetap saja koruptor adalah penjahat. Dari aroma artikel yang di-share di grup WA itu, saya tahu benar dari kalangan mana dan untuk apa tulisan itu dibuat.

With peace and love,
@sundakelapa90

Cibubur, 2 Februari 2016
Pukul 20.00 WIB

(Ini artikel yang di-share. Saya tidak tambah atau kurangi. Tidak juga saya edit tata penulisannya sama sekali. Silakan diterjemahkan sendiri menurut perspektif anda semua).

BANGUNLAH WAHAI ANAK BANGSA...
SADARILAH SIAPA YG MENJAJAH KITA....

BIARIN MUSLIM YANG PENTING TIDAK KORUPSI

¤ Eddi Tansil alias Tan Tjoe Hong atau Tan Tju Fuan. Lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 2 Februari 1953. Awal 1990an membobol Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) sebesar Rp 1,5 trilyun ketika nilai tukar rupiah thd dolar Amerika sekitar Rp 1.500,- per dollar. Kini, ketika nilai tukar rupiah mengalami depresiasi sekitar 700 %, berarti duit yg digondol Eddi Tansil setara dgn Rp 9 triliun, lebih besar dr nilai skandal Bank Century yg Rp 6,7 triliun

¤ Hartati Murdaya. Ketua umum WALUBI (Wali Umat Buddha Indonesia) ini ditangkap KPK karena menyogok Bupati Buol, Sulawesi Tengah, Arman Batalipu, yang merupakan kader Golkar. Uang suap diberikan agar usaha perkebunan Hartati mendapat konsesi perkebunan.

¤ Di penghujung tumbangnya orde baru, sejumlah pengusaha dan bankir Cina panen BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Banyak diantara mereka yg kemudian melarikan diri ke luar negeri dgn meninggalkan aset rongsokan sbg jaminan dana talangan.

Menurut catatan Kompas 2 Januari 2003, jumlah utang dan dana BLBI yg diterima Sudono Salim alias Liem Sioe Liong sekitar Rp 79 triliun, Sjamsul Nursalim alias Liem Tek Siong Rp 65,4 trilyun, Sudwikatmono Rp 3,5 trilyun, Bob Hasan alias The Kian Seng Rp 17,5 trilyun, Usman Admadjaja Rp 35,6 trilyun, Modern Group Rp 4,8 trilyun dan Ongko Rp 20,2 trilyun. Dan masih banyak lagi:

Andrian Kiki Ariawan, terlibat dalam korupsi BLBI Bank Surya. Perkiraan kerugian negara mencapai Rp 1,5 triliun. Proses hukum berjalan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Andrian kabur ke Singapura dan Australia. Pengadilan kemudian memutuskan melakukan vonis in absentia.

Eko Adi Putranto, anak Hendra Rahardja ini terlibat dalam korupsi BLBI Bank BHS. Kasus korupsi Eko ini diduga merugikan negara mencapai Rp 2,659 triliun. Ia melarikan diri ke Singapura dan Australia. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis in abenstia 20 tahun penjara.

Sherny Konjongiang, terlibat dalam korupsi BLBI Bank BHS bersama Eko Adi Putranto dan diduga merugikan negara sebesar Rp 2,659 triliun. Ia melarikan diri ke Singapura dan Amerika Serikat. Pengadilan menjatuhkan vonis 20 tahun penjara, in absentia.

David Nusa Wijaya alias Ng Tjuen Wie, terlibat dalam korupsi BLBI Bank Servitia. Ia diduga merugikan negara sebesar Rp 1,29 triliun. Sedang dalam proses kasasi. David melarikan diri ke Singapura dan Amerika Serikat. Namun, ia tertangkap oleh Tim Pemburu Koruptor di Amerika.

Samadikun Hartono, terlibat dalam korupsi BLBI Bank Modern. Dalam kasus ini ia diperkirakan merugikan negara sebesar Rp169 miliar. Kasus Samadikun dalam proses kasasi. Ia melarikan diri ke Singapura.

Total jendral, duit rakyat yg dikemplang tujuh konglomerat hitam (meminjam istilah Kwik Kian Gie) yg enam diantaranya Cina dlm kasus ini
sekitar Rp 225 trilyun.

¤ Pasca Orde Baru, muncul lagi pengusaha Cina yg membawa kabur uang dalam jumlah yg luar biasa besarnya. Misalnya Hendra Rahardja alias Tan Tjoe Hing, bekas pemilik Bank Harapan Santosa, yg kabur ke Australia setelah menggondol duit dari Bank Indonesia lebih dari Rp 1 trilyun. Hendra Rahardja tepatnya merugikan negara sebesar Rp 2,659 triliun. Ia divonis in absentia seumur hidup di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hendra meninggal di Australia pada 2003, dengan demikian kasus pidananya gugur.

¤ Kemudian ada Sanyoto Tanuwidjaja pemilik PT Great River, produsen bermerek papan atas. Sanyoto meninggalkan Indonesia setelah menerima penambahan kredit dari bank pemerintah.

¤ Lalu Djoko Chandra alias Tjan Kok Hui alias Joe Chan, yg terlibat dlm skandal cessie Bank Bali, meraup tidak kurang dari Rp 450 miliar. Ketika hendak ditahan Djoko kabur keluar negeri dan kini dikabarkan menjadi warga negara Papua Nugini.

¤ Maria Pauline, kasus pembobolan BNI. Diperkirakan kerugian negara mencapai Rp 1,7 triliun. Proses hukumnya masih dalam penyidikan dan ditangani Mabes Polri. Maria kabur ke Singapura dan Belanda.

¤ Anggoro Widjojo alias Ang Tjoe Hong, kasus SKRT Dephut. Merugikan negara sebesar Rp 180 miliar. Dalam proses penyidikan ke KPK. Anggoro lari ke Singapura dan masuk dalam DPO.

¤ Robert Dale Mc Cutchen, kasus Karaha Bodas. Rugikan negara senilai Rp 50 miliar. Ia masuk dalam DPO, lari ke Amerika Serikat.

¤ Marimutu Sinivasan, kasus korupsi Bank Muamalat. Kasus ini merugikan negara Rp 20 miliar. Masuk dalam proses penyidikan Mabes Polri. Marimutu melarikan diri ke India.

¤ Lesmana Basuki, diduga terlibat dalam kasus korupsi Sejahtera Bank Umum (SBU). Dalam kasus ini diduga merugikan negara sebesar Rp 209 miliar dan 105 juta dollar Amerika. Lesmana divonis di Mahkamah Agung 14 tahun penjara. Ia melarikan diri ke Singapura dan menjadi DPO. ICW menyatakan tak jelas perkembangan terakhir kasus ini.

¤ Tony Suherman, diduga terlibat dalam kasus korupsi Sejahtera Bank Umum (SBU). Dalam kasus ini diduga merugikan negara sebesar Rp 209 miliar dan 105 juta dollar Amerika. Tony divonis 2 tahun penjara. Ia melarikan diri ke Singapura dan menjadi DPO. ICW menyatakan tak jelas perkembangan terakhir kasus ini.

¤ Dewi Tantular, terlibat kasus Bank Century. Kasus ini merugikan negara Rp 3,11 triliun. Kasus tersebut dalam penyidikan di Mabes Polri, Namun, menurut ICW perkembangan kasus tersebut tak jelas. Ia dikabarkan lari ke Singapura.

¤ Anton Tantular, terlibat kasus Bank Century. Kasus ini merugikan negara Rp 3,11 triliun. Kasus tersebut dalam penyidikan di Mabes Polri, Namun, menurut ICW perkembangan kasus tersebut tak jelas. Ia dikabarkan lari ke Singapura.

¤ Sukanto Tanoto, terlibat dalam dugaan korupsi wesel ekspor Unibank. Ia diduga merugikan negara sebesar 230 juta dollar Amerika. Ia lari ke Singapura. Menurut ICW, Sukanto masih terduga namun diberitakan menjadi tersangka. Proses hukum tidak jelas. (Nama Sukanto Tanoto dicabut dalam daftar ini. Kasusnya telah selesai.

¤ Pada 2010, mantan kepala ekonom konsultan McKinsey, James Henry, menerbitkan hasil studinya soal penyelewengan pajak di luar negeri (tax havens). Menurut laporan tsb, terdapat USD 21 trilyun (Rp 198.113 trilyun) pajak pengusaha di seluruh dunia yg seharusnya masuk kantong pemerintah, namun diselewengkan.

Sembilan diantara para pengusaha pengemplang pajak itu berasal dr Indonesia, seperti James Riady, Eka Tjipta Widjaja, Keluarga Salim, Sukanto Tanoto, dan Prajogo Pangestu.

¤ Ini belum bicara kasus yg melibatkan Miranda Goeltom, Theo Toemion, Freddy Harry Sualang, Panda Nababan, Max Moein, Ni Luh Mariani Tirta Sari, Olly Dondokambey, Rusman Lumbatoruan, Willem Tutuarima, Poltak Sitorus, Aberson M Sihaloho, Jeffey Tongas Lumban Batu, Matheos Pormes, Engelina A Pattiasina, Sengman Tjahja, Basuki, Elizabeth Liman, Yudi Setiawan, Artalyta Suryani alias Ayin dsb. Dalam skandal suap impor komoditas pertanian dsb. Panjang sekali daftarnya.

Kalau media-media sekuler dan anti-Islam, kasus-kasus korupsi yang melibatkan mayoritas non-muslim memang selalu ditutup-tutupi, dikecil-kecilkan, andaipun "terpaksa" diberitakan ya cuma sekilas saja.

Beda terhadap kasus korupsi yang menimpa tokoh-tokoh Islam. Walaupun terkadang nilainya kecil, alias tidak ada apa-apanya dibandingkan "rekor" skandal BLBI dll diatas, pasti akan selalu diblow-up habis-habisan, diberitakan berulang-ulang oleh kompas cs.

Dan simbol-simbol keIslaman pelaku korupsi tersebut, apakah gelar Hajinya, Habib, Kyai, Ustadz, Ustadzah, bendahara Majelis Ulama Indonesia, identitas partainya Islam, jilbabnya dsb, sengaja akan selalu ditonjolkan dalam pemberitaan.