Senin, 07 Maret 2016

Banjir Jakarta Dari Masa Ke Masa (Part 1)

Banjir Jakarta bukanlah permasalah satu dua tahun yang ada di Jakarta. Berbagai faktor turut memengaruhi adanya banjir tergantung dari bagaimana perkembangan populasi masyarakat Jakarta, perubahan iklim, geografis Jakarta, hingga pola hidup masyarakatnya.

Sejarah mencatat, banjir melanda Jakarta telah terjadi saat pemerintahan Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara. Hal itu dituliskan secara jelas di dalam Prasasti Tugu, salah satu bukti literasi peninggalan Tarumanegara. Untuk mengantisipasi banjir datang kembali, Purnawarman memerintahkan pejabat dan rakyatnya untuk menggali Kali Chandrabhaga (Kali Bekasi) untuk mengalirkan airnya ke laut.
Lalu dua tahun setelahnya, Purnawarman juga menggali Kali Gomati. Penggalian Kali Gomati dilakukan pada 8 Paro petang bulan Phalguna dan selesai pada 13 Paro petang bulan Caitra. Jika dalam penanggalan Masehi, penggalian tersebut dilakukan dimulai Februari hingga April. Yang menarik, dalam penggalian Kali Gomati ini, Purnawarman menyembelih 1.000 ekor sapi sebagai tumbal. Menurut keyakinan pada saat itu, kepala sapi yang dipotong dan dikubur di dasar kali merupakan ritual kepercayaan agar tidak diganggu roh jahat selama melangsungkan pekerjaan yang berhubungan dengan alam.

Penggalian Kali Chandrabhaga dan Kali Gomati adalah salah satu sikap kerajaan tersebut yang telah menyadari bahwasannya letak geografis Jakarta merupakan dataran rendah yang rawan digenangi air saat curah hujan tinggi. Maka antisipasi yang dilakukan banjir adalah dengan mengalirkan air sungai tersebut ke laut dengan seminimim mungkin hambatan.

Di era Kolonial Belanda, banjir pertama melanda Jakarta--di era Kolonial Belanda disebut Batavia--adalah pada 1621. Banjir pertama di masa kekuasaan Vereenigde Oostindische Compaginie (VOC) yang dipimpin oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen ini merupakan banjir yang cukup membuatnya kewalahan. Pasalnya, saat itu Batavia belum dihuni oleh banyak orang. Maka, Coen mendatangkan orang-orang di seluruh Nusantara dengan latar belakang etnis berbeda seperti Makassar, Ambon, Manggarai, Jawa, Bali, Eropa, Cina, Arab, dan India untuk menempati Batavia.

Dengan teknologi minim dan sumber daya manusia yang belum masif, rumah-rumah kayu pemukiman penduduk Batavia rentan terhadap banjir. Pasca-banjir, warga Batavia masih didera kesulitan. Yakni putusnya jalur transportasi--yang kala itu jalan hanya tanah--becek dan berlumpur sehingga tidak bisa dilalui oleh roda-roda kereta kuda.

Namun, datangnya banjir pada masa itu bukan tanpa antisipasi. Pemerintah Kolonial sudah membangun kanal sejak dua tahun sebelum datangnya banjir dengan pola sistem kanal seperti yang dilakukan Pemerintah Belanda di Amsterdam. Hanya saja sistem kanal ini tidak berfungsi dengan baik karena debit air cukup besar dan genangan air tinggi. Hal inilah yang membuat Belanda gagal memahami wilayah Batavia yang berbeda secara topografis dan geografis dengan Amsterdam.

Batavia berada di bawah permukaan laut sehingga sulit mengalirkan air ke laut lewat sistem kanal. Topografinya rendah berupa rawa-rawa, hutan, dan semak belukar yang luas sehingga pasca-banjir, dataran dan permukaan Batavia penuh dengan lumpur. Tak terkecuali, pasca-banjir pun kondisi kanal penuh dengan sampah dan lumpur yang menimbulkan bau tak sedap dan juga penyakit seperti diare dan kolera. Untuk mengeruk sampah dan lumpur tersebut, Pemerintah Kolonial membutuhkan waktu yang lama, peralatan yang banyak, hingga biaya yang sangat besar. Sehingga sistem kanal, justru membuat permasalahan baru di masa itu bagi Pemerintah Kolonial.

Seiring berjalannya waktu, banjir tetap datang menghampiri Batavia. Belanda di satu sisi tidak dapat membenahi banjir dengan baik, namun bukan berarti tidak berkontribusi akan penanggulangan banjir sama sekali. Salah satu peninggalan Pemerintah Kolonial dalam penanunggalangan banjir yang bisa dirasakan hingga kini adalah: Bendung Katulampa, Bogor. Bendungan ini berfungsi sebagai pemantau debit air sebagai informasi antisipasi banjir di Jakarta.

Kini, menjelang pemilihan gubernur (pilgub) DKI Jakarta 2017, beragam tokoh mulai saling berbicara tentang Jakarta di berbagai media. Salah satu yang dibicarakan adalah mengenai permasalahan Jakarta. Meski sedikit muak--menjelang pilgub ini--para politisi sudah saling serang. Pemanasan barangkali. Namun yang harus digarisbawahi, telitilah dalam memili kepala daerah. Perhatikan secara rasional. Utamanya soal banjir, korek lebih dalam kepada bakal cagub DKI Jakarta, gagasan apa yang akan dilakukan untuk menanggulangi banjir Jakarta.

With peace and love,
@sundakelapa90

Cibubur, 7 Maret 2016
Pukul 19.09 WIB

Rabu, 02 Maret 2016

Wacana Kemanusiaan

Hari ini, kemanusiaan masih menjadi barang yang paling sibuk dibicarakan. Di panggung apapun, kemanusiaan menjadi hal yang selalu dikatakan. Lihat saja Israel, dengan telanjang mata mempertontonkan kebiadabannya pada Palestina di hadapan dunia, dia sering mengatasnamakan kemanusiaan sebagai dalih menutupi kebiadabannya.

Kemanusiaan menjadi barang dagangan. Diperdebatkan-perjuangkan, tapi di sisi lain juga kerap dilupakan-diacuhkan.

Contoh terdekatnya soal kemanusiaan yang tergerus adalah, terlalu sering kita meninggalkan dunia nyata. Kemanusiaan seolah hanya dinilai dari like Facebook atau banyaknya jumlah reshare di akun sosial media. Padahal, riuhnya dunia maya jarang berimbas pada dunia nyata (bukan berarti tidak berimbas sama sekali. Banyak kasus yang diangkat ke permukaan nyata karena riuhnya dunia maya).

Ketika kasus bocah Suriah Aylan Kurdi marak dibicarakan di dunia maya, dunia nyata merespons. Banyak dari kita bertindak karena nurani kita terenyuh. Ada yang menghujat mati-matian kepada mereka para pengacau, menyebarluaskan foto Aylan di sosial media, hingga merepresentasikan kegamangan di Timur Tengah dengan karya seni dan lainnya. Tapi apakah kita semua sadar bahwa, banyak dari Aylan-Aylan lainnya di depan mata kita detik ini?

Tengok bagaimana kebisingan politik dua kubu yang terjal pasca-Pilpres 2014 yang melibatkan massa di dunia maya, mengalihkan pikiran kita pada bagaimana harusnya bangsa ini melangkah merawat generasi bangsa. Sadarkah kita bahwa Aylan-Aylan lainnya jumlahnya banyak di negeri ini? Mereka mungkin tidak tewas mengenaskan terombang-ambing ombak laut seperti Aylan, tapi bisa jadi hampir mati karena tayangan media yang tak mendidik, putus sekolah, kelaparan, hingga menderita penyakit mematikan.

Lagi-lagi, kemanusiaan adalah urat nadi perdebatan.

Kemanusiaan adalah wacana. Wacana yang tak memiliki gagasan konkret untuk melangkah bersama dalam mewujudkannya menjadi nyata. Tengoklah ke luar rumah, betapa banyak pepohonan mati akibat keserakahan manusia. Di mana kemanusiaan kita terhadap alam ini? Ah, atau lihat lagi bagaimana sikap kita menjalankan silaturrahmi. 'Pagar rumah' menjadi kecenderungan orang untuk hidup makin individualis.

Saya melihat bagaimana masyarakat dunia menjadi terbuka di satu sisi, namun di sisi lain justru semakin tertutup. Membuka diri akan hal-hal yang mereka senangi, tapi menutup mata akan hal-hal yang ingin dihindari. Hari ini saya bermimpi setiap dari kita menghentikan perdebatan akan kemanusiaan. Bergeraklah bersama untuk menopang cita-cita yang menjadi esensi kemanusiaan itu sendiri.

With peace and love,
@sundakelapa90

Jakarta Pusat, 2 Maret 2016
Pukul 15.07

(Note: tulisan ini juga dipublikasikan di blog Ikatan Keluarga Alumni Pon-Pes Daarul Rahman dengan alamat blog ikdarindependen.wordpress.com)