Selasa, 22 Desember 2015

Kesalehan Individual dan Sosial

Menarik disimak geliat semangat masyarakat muslim Indonesia berlomba dalam berlaku saleh. Dari sosial media saja, akun-akun dakwah yang jumlahnya bejibun laris manis disukai agar followers dapat mengikuti perkembangan dakwah yang disampaikan. Tak sedikit bahkan yang me-reshare kiriman dari akun-akun dakwah tadi. Dari dunia sosial nyata, masjid pada kenyataannya telah ramai. Baik digunakan sebagai keperluan jamaah, mengaji, hingga tren baru-baru ini: itikaf. Belum lagi tren berumrah dan haji yang gairahnya tak pernah putus. Hal itu sedikit banyak didukung dengan banyaknya penerbangan murah serta inovasi kebijakan penerbitan visa oleh pemerintah Arab Saudi. Kebijakan visa itu salah satu yang menjadi primadona bagi kalangan usaha travel dalam menggenjot umat muslim Indonesia untuk berangkat ke Tanah Suci. Tak peduli untuk satu, dua, tiga, atau berkali-kali umrah dan haji sekalipun.

Namun sayangnya, kesalehan individual ini justru tak berimbang dengan kesalehan sosial masyarakat muslim Indonesia. Kesalehan sosial seperti berkreasi, membangun relasi muslim-non muslim, menggagas riset untuk keperluan jangka panjang, mempertajam olah pikir, hingga ikut serta dalam kompetisi teknologi dan sains global nyatanya masih belum banyak dikerjakan oleh masyarakat muslim Indonesia. Gerakan lembaga amal dan zakat yang ada pun belum banyak yang berorientasi pada pemberdayaan umat, tapi hanya memberi solusi jangka pendek yang kurang solutif. Maka tak heran, lembaga amal dan zakat ramai diartikan oleh masyarakat Indonesia sebagai lahan amal ketika hari-hari besar Islam saja. Lagi-lagi, kesalehan individual lebih menonjol di sini.

Kesalehan individual yang tidak dibarengi dengan kesalehan sosial sedikit banyak akan menutup ruang pemikiran. Umat cenderung konservatif dalam mengartikan baku suatu permasalahan. Tak sedikit bahkan, pergerakan dari kesalehan individual pun dimanfaatkan oleh kelompok politik. Menjadikan ranah kesalehan individual mau tak mau dicekoki satu kepentingan politik tertentu dan mendiskreditkan yang lain.

Antara kesalehan individual dan sosial, sebenarnya adalah interpretasi dari ajaran Islam berupa hablu mina-Allah wa hablu min an-nas. Menarik disimak mengenai konsep ini dalam salat. Di mana pada takbiratul ihram, konsep hablu mina-Allah disimbolkan dengan mengucap Allahu Akbar. Sementara di penghujung gerakan salat, terdapat gerakan salam yang menengok ke kanan dan kiri. Sebuah simbol akan pentingnya kepedulian sosial atau relasi manusia dan sekitarnya (hablu min an-nas). Jadi secara filosofis, gerakan salat merupakan simbol dari pentingnya memupuk tauhid (hablu mina-Allah) dan bertindak untuk sekitar (hablu min an-nas). Bahkan Islam menganjurkan, seorang muslim adalah seseorang yang dapat merasakan kepedihan dan kesulitan orang lain. Namun apa jadinya jika kita hanya berlomba memupuk kesalehan individual saja? Pentingnya kesalehan sosial juga harus ditekan agar menimbulkan efek jangka panjang dalam kelangsungan umat. Maka sudah saatnya kita untuk bergerak, namun jangan lagi bergerak dalam konsep yang jangka pendek.

Misalnya, menyantuni anak yatim dengan memberikan sejumlah uang di hari-hari besar Islam atau hari lainnya tanpa orientasi jelas akan digunakan apa uang itu, adalah sebuah solusi yang keliru. Namun jika uang amal dan zakat yang diperuntukkan anak yatim dikelola dengan baik sebagai pendidikan, pengembangan skil, hingga dana riset yang dilakukan anak-anak yatim, maka ke depan umat muslim Indonesia akan kuat dan memiliki jiwa yang kompeten. Dari yatim-yatim yang diberdayakan dengan baik oleh umat, bukan tidak mungkin kelak akan muncul sosok ilmuwan yang menguasai tafsir Al Quran tanpa mengesampingkan relasi dengan umat beragama lainnya.

With peace and love,
@sundakelapa90

Cibubur, 23 Desember 2015
Pukul 08.13 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar