Selasa, 15 Desember 2015

Jakarta The Queen of The East (Part 1)

Meski aku tak dibesarkan di pusat Kota Jakarta, namun sedikit banyak aku mencoba mengerti akan kota ini. Manusianya, tanahnya, bangunannya, hingga pesona dan kebinalannya. Bagiku Jakarta bagai gadis cantik yang terlanjur tua. Kecantikan itu tertutup usia, hanya menang di zamannya, dan sulit mendandani diri kembali. Jakarta bagai gadis cantik yang diperkosa, dieksploitasi, dicium jika wangi saja, dan dilupakan pesonanya. Di sinilah aku ingin menulis kisah si gadis cantik itu, yang dulu pernah menampuk sebuah gelar paling anggun di dunia: De Koningin van het Oosten.

Tiba-tiba rasanya aku tidak rela ketika melihat status opini beberapa orang yang menuding 'gadis cantik' Jakarta dengan sebutan yang tak adil. Mereka bilang bahwa kota ini hanyalah kota semrawut, kotor, kumuh, dan berbahaya. Aku sempat marah dalam hati akan umpatan-umpatan itu, tapi tak lama berselang, aku sadar bahwa memang 'si gadis cantik' telah celaka.

Sering kuhabiskan waktu senggangku hanya untuk sekadar mengitari Jakarta dengan sepeda motorku. Berkeliling Jakarta Utara, hingga menertawai pribumi masa kini yang mengapit bule-bule di Kota Tua untuk berfoto-ria. Tak jarang jika malam hari pun, aku membeli cendol di pinggir jalan. Memakannya perlahan agar tak habis dengan cepat. Karena dengan memesan cendol itulah alasan satu-satunya yang kupunya agar bisa duduk di pinggir Jalan Gongseng untuk memerhatikan arus masuk dan keluar para PSK. Dengan waktu yang agak lama, aku punya alasan untuk berduduk lama-lama di Gongseng berkat semangkuk cendol, bukan? Meski si abang tukang cendol melihatku dengan berjuta heran ketika aku menghabiskan semangkuk cendol dalam waktu tiga jam lamanya. Aku tertawa dalam hati, mungkin dudukku akan lebih lama lagi jika si abang tukang cendol rela memasang wifi gratis di gerobaknya. The cendol with mobile wifi! Sounds good, isnt it? He-he.

Mengamati dari dekat begini, bagiku belumlah cukup untuk mengenal Jakarta. Kemacetan, kesenjangan, kehidupan malam, kebinalan preman jalan, adalah warna gelap dari Jakarta yang tak bisa dikenali dalam waktu singkat. Tapi, apakah Jakarta hanya memiliki sisi ini? Lalu, apakah hanya Jakarta yang mempunyai sisi gelap ini saja? Bagaimana dengan kota lainnya? Prostitusi misalnya, bagaikan 'barang wajib' tiap kota-kota besar. Baik di Indonesia maupun dunia. Percaya tidak percaya, prostitusi menjadi denyut nadi sebagian kota. Perputaran uang yang fantastis tiap malamnya, tak masuk sebagai angka-angka yang menghiasi statistik pertumbuhan ekonomi yang dibuat pemerintah. Para PSK adalah warga abu-abu yang keberadaannya bagai aib, namun penghasilannya sedikit banyak mengurangi beban negara. Begini, tak jarang keberadaan tempat prostitusi dan para PSK bagaikan benang layang yang mudah ditarik-ulur. Ramai-ramai dicaci, lalu dinikmati, dijadikan jargon politis, disayang dibuai, dan kemudian dijungkirbalikkan lagi. Bertahun lamanya. Dari zaman Hindia Belanda hingga aksi binal FPI belum lama ini, prostitusi masih marak di mana-mana. Pertanyaannya bukan soal bagaimana memusnahkan prostitusi, tapi apa yang menyebabkan adanya prostitusi? Dari pertanyaan itu, akan timbul jawaban yang beranak-pinak. Dari sosial, ekonomi, budaya, agama, hingga politik.

Dengan kehidupan malamnya, Jakarta bagai ratu yang kehilangan mahkota. Entah siapa perebut mahkota itu. Entah pemerintah, entah laki-laki hidung belang, entah para PSK. Entah seribu entah kutulis, prostitusi tetap bekerja dengan caranya sendiri tanpa membutuhkan jawaban pasti.

Lalu, apa yang membuat Jakarta mendapat predikat sebagai kota semrawut? Adilkah predikat itu untuk 'si gadis cantik' yang dulunya bernama Sunda Kelapa--Jayakarta--Batavia--Jacatra ini?

Pernah saat aku berjalan menghabiskan waktu senja di Pelabuhan Sunda Kelapa untuk hunting foto, aku menemukan sisi lain dari Jakarta. Bukan lagi soal prostitusi, kemacetan, atau lainnya itu. Saat aku berada di Pelabuhan Sunda Kelapa--entah berapa kali aku telah ke tempat ini--ada hal yang berkesan bagiku saat aku masuk ke dalam sebuah kapal kayu tua pengantar barang ke kepulauan di Nusantara (ya, seperti layaknya kapal-kapal lainnya di pelabuhan itu). Aku berbincang dengan kapten kapal yang berusia senja. Di usia senjanya, yang ia punya hanya setumpuk cerita. Cerita perjuangan, kebanggaan, dan kekalahan. Tentang laut, badai, kapal, masa jaya kapal kayu, hingga dimadu dengan kapal besi bermesin canggih. Ia bercerita bagai aktor dalam lakon pada teater megah milik Koma. Padahal di hadapannya, hanya ada aku semata. Aku yang bahkan buta tentang laut, yang sulit membedakan mana yang utara dan mana yang selatan. Tapi ia terus bercerita padaku. Tentang laut nun luas itu, tak peduli siapa aku.

Katanya, saat berada di laut, hanya dua hal saja yang dipikirkannya. Yaitu ajal dan nikmatnya rindu bercinta dengan istri di rumah. Laut selalu mengingatkannya pada maut, sementara luasnya samudera seolah mengulur waktunya untuk berjumpa istri. Ia bercerita dengan detail bagaimana awak kapalnya disapu ombak setinggi lima meter dan hilang di laut untuk selama-lamanya. Ia bercerita, katanya, kasihan awak kapal itu, belum juga merasakan bagaimana rasanya menikmati gaji pertama, justru menjajal maut lebih dulu. Ia pun bercerita, sambil tergelak, jika laut tak jua membawanya ke rumah, ia terpaksa beronani dengan sabun di toilet. Katanya, itu sedikit mengobati luka.

Lalu, ia bercerita bagaimana pekatnya malam di lautan luas. Mata harus tetap awas, otak terus waspada, dan hati tak boleh berdegup berlebih. Ia sadar, perjalanannya bukanlah perjalanan besar layaknya Cheng Ho atau Columbus yang mengubah dunia. Ia hanya nahkoda kapal barang. Tak ada hebatnya. Tapi satu kata yang terucap berikutnya, kata yang tak akan kulupa yang ia katakan dengan bangga: aku adalah nahkoda kapal yang mengangkat sauh dari Pelabuhan Sunda Kelapa. Si Ratu dari Timur!

Kebanggaan jelas tersirat dari nada bicara, raut wajah, hingga tatap mata sepi menatap ke ujung dek kapal. Lalu, dengan semangat kebanggaan yang tersisa, ia memamerkan kalender perjalanannya tahun ini yang sepi dari catatan kaki perjalanan berlayar. Saat ini, kapal-kapal kayu sulit berlayar lagi akibat order yang sepi. Zaman telah berubah, teknologi sudah seperti raja. Kapal kayu terlalu lama, kiriman barang terlalu lama terombang-ambing di samudera. Orderan pergi, kapal besi bermesin canggih lebih seksi. Apalah daya, toh, Sunda Kelapa bukan lagi ratu. Pelabuhan Tanjung Priok lebih menarik bagi siapapun pencinta kargo.

Sebelum meninggalkan kapal kayu itu, kusempatkan melihat mata nahkoda tadi. Matanya seperti bicara, entah pada siapa, didengar ataupun tidak, ia ingin bicara: wahai semua anak dunia, berabad-abad lalu, pelabuhan ini adalah urat nadi dunia. Dan aku--nahkoda tua ini--bangga menjadi pelaut dari Sunda Kelapa. Meski miskin, tak apa. Aku pelaut, aku bangsa maritim.

Sebelum kututup cerita tentang 'si gadis cantik' ini, kutuliskan satu hal lagi: Jakarta belum kehilangan pesona. Dengan keluh kesahnya, dengan kerumitan masalahnya, dengan setumpuk tingkah beragamnya manusia Jakarta, Pelabuhan Sunda Kelapa memberiku satu makna. Ya, dialah De Koningin van het Oosten. Ia setengah mati, tua renta sendiri, tapi pesonanya tetap membekas di hati.

With peace and love,
@sundakelapa90

Cibubur, 15 Desember 2015
Pukul 22:56 WIB

1 komentar:

  1. iya ya...
    kasihan Jakarta dan masyarakat aslinya.baca tulisan ini bikin saya paham kalo Jakarta teraniaya. semoga tulisan ini membawa kebaikan dan menggerakkan hati masyarakat negara kita untuk lebih menyayangi kota Jakarta. terimakasih mas Sunda Kelapa :) terus berkarya ya.

    BalasHapus