Selasa, 02 Februari 2016

Sesat Pikir Dalam Artikel X

Tulisan ini diilhami dari broadcast message grup chating Whats App. Tentang korupsi, pengusaha peranakan Tiongkok di Indonesia, serta indenpendensi media.

Tulisan dari teman di grup WA itu akan saya lampirkan di bawah tulisan artikel ini. Maka sebelumnya, mari sejenak saya ajak anda untuk memahami makna dan dampak korupsi. Semoga tulisan ini menjadi bahan yang bisa didiskusikan lebih.

Pada era kepemimpinan Presiden Soekarno, pemerintah mengeluarkan kebijakan ekonomi tertutup dengan maksud meningkatkan produksi dalam negeri sehingga dapat menjadikan Indonesia kelak bangsa yang mandiri. Namun sayangnya sistem ini tidak berjalan maksimal karena terjadi beberapa kendala, salah satunya tidak didukung oleh SDM Indonesia yang memadai--wajar, Indonesia merupakan negara muda ketika itu. Selain itu, sistem yang diterapkan Soekarno lebih cenderung terlihat seperti idealisme sosialis, sehingga Amerika dan sekutu terus merasa terancam--karena saat itu sosialisme tengah populer. Sosialisme populer karena banyak menyuarakan kepentingan rakyat, utamanya kaum buruh. Modal di mata sistem ini adalah milik rakyat, dan laba akan kembali ke rakyat. Jelas hal ini membuat Amerika dan sekutu merasa terancam, pasalnya sistem kapitalisme yang bermuarakan laba kepada pengusaha, menjadi tidak populer.

Namun arus berbalik, gagasan Soekarno yang kurang berhasil itu menjadi bumerang politik untuknya. Soeharto memegang kendali setelah melengserkan Soekarno. Orde Baru muncul dan melakukan reformasi ekonomi besar-besaran. Salah satu yang dilakukan adalah menerapkan sistem ekonomi bebas yang membuat investor asing dapat menanamkan modalnya di sini. Perlu digarisbawahi, investasi asing tak semuanya jahat, asal diatur dengan aturan yang baik alias tidak merugikan negara, hal itu tidak jadi masalah.

Menjadi permasalahan adalah ketika keran investasi asing tidak diimbangi dengan aturan yang cermat. Terlebih pada era ini, banyak terjadi tindakan koruptif yang sangat masif. Digawangi oleh The Smiling General si Bapak Presiden Soeharto itu yang banyak menggunakan kewenangannya demi kepentingan kroni dan kolega, membuat banyak pengusaha-pengusaha berleha dan berkorupsi-ria. Hal ini membuat sistem ekonomi dan bisnis menjadi tidak sehat. Pada era ini juga, banyak sekali pengusaha yang survive dan bisnisnya menjadi nomor satu karena kedekatan yang luar biasa dengan Soeharto. Salah satunya adalah Liem Sioe Liong, pemilik Salim Group (Indofood, Indomilk, dll). Pada 1998 ketika Soeharto lengser, rumah Liem Sioe Liong dikroyok massa dan dia mengungsi ke Singapura hingga meninggal di sana pada 2012 (kalau saya tidak salah ingat). Perusahaannya hampir bangkrut dan dia banyak menjual saham-sahamnya. Dari contoh ini saja, terlihat bagaimana bisnis sangat dekat dengan kekuasaan. Ketika kekuasaan yang dekat itu mengalami keterpurukan, bisnis yang bersangkutan mau tidak mau juga akan terpuruk. Hal ini bisa terang diindikasikan sebagai praktik korupsi.

Karena banyaknya pengusaha--mayoritas pengusaha berasal dari etnis peranakan Tiongkok--yang dekat (saya konotasikan negatif) dengan Soeharto maka sistem yang ada telah tidak sehat. Hal itu banyak mengakibatkan terjadinya inflasi dan ekonomi yang sangat tidak stabil. Dunia perbankan Indonesia mengalami rush sehingga banyak ditambal dengan sokongan BLBI. Namun ada juga beberapa bank yang bertahan tidak menggunakannya, tapi risikonya adalah bangkrut sampai ke akar-akarnya. Bangkrutnya perbankan di Indonesia, sama dengan tutupnya modal bagi lintas sektor yang ada. Hal ini sekaligus menjadi penyumbang inflasi tertinggi di era kejatuhan Orde Baru. Namun menjadi bumerang juga ketika tak ada upaya pertanggung jawaban BLBI dari bank yang bersangkutan. Hal itu dapat merugikan negara, akhirnya banyak pengusaha yang lari membawa 'uang negara'.

Kondisi ekonomi di tiga era ini nantinya akan saya sambungkan dengan poin lain yang relevan dengan artikel dari WA tadi. Poin selanjutnya adalah media--yang dikatakan dalam artikel itu seperti berat sebelah. Bahkan tercium isu sensitfitas agama.

Media adalah kerajaan tanpa mahkota. Karena tentu saja, siapa yang menguasainya akan mendapatkan keuntungan-keuntungan. Permasalahannya, keuntungan seperti apa yang ingin diraih? Sebagai contoh, pada era Soeharto, media dipasung suaranya. Menjadi kaki tangan manis penguasa--media gagal menyuarakan kebobrokan pemerintahan. Beberapa media yang gerah dengan pengungkungan ini, mencoba berontak (seperti Tempo, Suara Pembaruan, Majalah Detik, dll) tapi gagal. Maka, keuntungan yang coba diraih Orde Baru terhadap media bukan atas sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Tapi hanya sebagai sebesar-besarnya kepentingan pribadi dan kroni.

Di era reformasi ini, media berhasil merebut kemerdekaannya. Tapi bagi saya, kemerdekaan ini semu. Memang, media semakin bebas menyuarakan, tapi hanya menyuarakan kepentingan pemodal. Sulit mencari media yang benar-benar independen, tapi saya pribadi masih percaya pada satu media saja (bukan termasuk rukun iman, jadi saya tidak murtad ya. Ho-ho-ho). Jadi dalam fase ini, media bagi saya pun terkungkung. Terbelenggu.

Dalam artikel di WA itu disebut bahwa media konvensional seperti Kompas, banyak menutup-nutupi kasus korupsi pengusaha-pengusaha peranakan Tiongkok, serta latar belakang agamanya. Saya tidak memungkiri bahwa sedikit banyak, Kompas memiliki framing tersendiri dalam memberitakan. Media ini menurut saya sangat hati-hati, terbukti ia (Kompas) tidak sampai dibredel saat Orde Baru. Tapi dari nama-nama pengusaha yang korupsi--yang disebut dalan artikel di WA--saya sangat familiar membacanya di kolom-kolom politik hukum Kompas. Maka jika artikel itu ingin mengkritik Kompas, silakan dicantumkan bukti konkret yang detail. Jangan menduga-duga.

Ketiga adalah poin agama. Apakah anda setuju dengan praktik korupsi? Jika anda waras, pasti anda tidak setuju bukan? Saya melihat artikel itu seperti mencoba membela praktik korupsi yang dilakukan oleh pemeluk agama tertentu (karena jumlah korupsinya menurut artikel itu, kecil) dibanding praktik korupsi yang masif dilakukan para pengusaha peranakan Tiongkok. Kenapa anda marah jika media memberitakan keburukan muslim yang korupsi? Karena peranakan Tiongkok atau tokoh agama tertentu tak diberitakan secara masif ketika korupsi? Lalu apa yang membuat anda marah, karena saudara semuslim anda dizalimi, sementara non-muslim yang korupsi adem ayem tanpa pemberitaan? Itu korupsi, bukan berjihad di jalan Allah!
Jika anda menuduh Kompas dan lain-lain melakukan framing berlebih kepada satu kelompok atau politik tertentu, silakan anda mengadukannya kepada pihak berwajib. Kenapa harus meruncingkan opini bahwa seakan-akan koruptor punya massa dari latar belakang agamanya? Yang muslim korupsi boleh dibela kalau mereka dizalimi media, begitu juga dengan koruptor non-muslim.

Namun, menjadi miris memang ketika seorang menteri agama melakukan korupsi. Yang ini JELAS jadi headline media. Wong tiap hari menyuruh kebaikan, tapi korupsi. Atau ketua umum partai tarbiyah yang korupsi. JELAS jadi headline, wong tiap hari menyerukan amar maruf nahi munkar sekalian kampanye poligami, tapi korupsi sapi. Yang begini mau dibela? Mau marah sama media?

Anda boleh marah dengan media, tapi dengan konten yang jelas. Soal indenpendensi media silakan anda kritik, tapi dengan cerdas. Jangan cengeng jangan manja. Jangan termehek-mehek ikut membela praktik korupsi juga. Mau muslim atau non-muslim, asal dia korupsi, pasti orang biadab! Menyengsarakan rakyat. Teman saya banyak dari kalangan peranakan Tiongkok, mereka sama kasarnya dengan saya dalam memandang koruptor. Mau apapun latar belakang agamanya, tetap saja koruptor adalah penjahat. Dari aroma artikel yang di-share di grup WA itu, saya tahu benar dari kalangan mana dan untuk apa tulisan itu dibuat.

With peace and love,
@sundakelapa90

Cibubur, 2 Februari 2016
Pukul 20.00 WIB

(Ini artikel yang di-share. Saya tidak tambah atau kurangi. Tidak juga saya edit tata penulisannya sama sekali. Silakan diterjemahkan sendiri menurut perspektif anda semua).

BANGUNLAH WAHAI ANAK BANGSA...
SADARILAH SIAPA YG MENJAJAH KITA....

BIARIN MUSLIM YANG PENTING TIDAK KORUPSI

¤ Eddi Tansil alias Tan Tjoe Hong atau Tan Tju Fuan. Lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 2 Februari 1953. Awal 1990an membobol Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) sebesar Rp 1,5 trilyun ketika nilai tukar rupiah thd dolar Amerika sekitar Rp 1.500,- per dollar. Kini, ketika nilai tukar rupiah mengalami depresiasi sekitar 700 %, berarti duit yg digondol Eddi Tansil setara dgn Rp 9 triliun, lebih besar dr nilai skandal Bank Century yg Rp 6,7 triliun

¤ Hartati Murdaya. Ketua umum WALUBI (Wali Umat Buddha Indonesia) ini ditangkap KPK karena menyogok Bupati Buol, Sulawesi Tengah, Arman Batalipu, yang merupakan kader Golkar. Uang suap diberikan agar usaha perkebunan Hartati mendapat konsesi perkebunan.

¤ Di penghujung tumbangnya orde baru, sejumlah pengusaha dan bankir Cina panen BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Banyak diantara mereka yg kemudian melarikan diri ke luar negeri dgn meninggalkan aset rongsokan sbg jaminan dana talangan.

Menurut catatan Kompas 2 Januari 2003, jumlah utang dan dana BLBI yg diterima Sudono Salim alias Liem Sioe Liong sekitar Rp 79 triliun, Sjamsul Nursalim alias Liem Tek Siong Rp 65,4 trilyun, Sudwikatmono Rp 3,5 trilyun, Bob Hasan alias The Kian Seng Rp 17,5 trilyun, Usman Admadjaja Rp 35,6 trilyun, Modern Group Rp 4,8 trilyun dan Ongko Rp 20,2 trilyun. Dan masih banyak lagi:

Andrian Kiki Ariawan, terlibat dalam korupsi BLBI Bank Surya. Perkiraan kerugian negara mencapai Rp 1,5 triliun. Proses hukum berjalan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Andrian kabur ke Singapura dan Australia. Pengadilan kemudian memutuskan melakukan vonis in absentia.

Eko Adi Putranto, anak Hendra Rahardja ini terlibat dalam korupsi BLBI Bank BHS. Kasus korupsi Eko ini diduga merugikan negara mencapai Rp 2,659 triliun. Ia melarikan diri ke Singapura dan Australia. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis in abenstia 20 tahun penjara.

Sherny Konjongiang, terlibat dalam korupsi BLBI Bank BHS bersama Eko Adi Putranto dan diduga merugikan negara sebesar Rp 2,659 triliun. Ia melarikan diri ke Singapura dan Amerika Serikat. Pengadilan menjatuhkan vonis 20 tahun penjara, in absentia.

David Nusa Wijaya alias Ng Tjuen Wie, terlibat dalam korupsi BLBI Bank Servitia. Ia diduga merugikan negara sebesar Rp 1,29 triliun. Sedang dalam proses kasasi. David melarikan diri ke Singapura dan Amerika Serikat. Namun, ia tertangkap oleh Tim Pemburu Koruptor di Amerika.

Samadikun Hartono, terlibat dalam korupsi BLBI Bank Modern. Dalam kasus ini ia diperkirakan merugikan negara sebesar Rp169 miliar. Kasus Samadikun dalam proses kasasi. Ia melarikan diri ke Singapura.

Total jendral, duit rakyat yg dikemplang tujuh konglomerat hitam (meminjam istilah Kwik Kian Gie) yg enam diantaranya Cina dlm kasus ini
sekitar Rp 225 trilyun.

¤ Pasca Orde Baru, muncul lagi pengusaha Cina yg membawa kabur uang dalam jumlah yg luar biasa besarnya. Misalnya Hendra Rahardja alias Tan Tjoe Hing, bekas pemilik Bank Harapan Santosa, yg kabur ke Australia setelah menggondol duit dari Bank Indonesia lebih dari Rp 1 trilyun. Hendra Rahardja tepatnya merugikan negara sebesar Rp 2,659 triliun. Ia divonis in absentia seumur hidup di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hendra meninggal di Australia pada 2003, dengan demikian kasus pidananya gugur.

¤ Kemudian ada Sanyoto Tanuwidjaja pemilik PT Great River, produsen bermerek papan atas. Sanyoto meninggalkan Indonesia setelah menerima penambahan kredit dari bank pemerintah.

¤ Lalu Djoko Chandra alias Tjan Kok Hui alias Joe Chan, yg terlibat dlm skandal cessie Bank Bali, meraup tidak kurang dari Rp 450 miliar. Ketika hendak ditahan Djoko kabur keluar negeri dan kini dikabarkan menjadi warga negara Papua Nugini.

¤ Maria Pauline, kasus pembobolan BNI. Diperkirakan kerugian negara mencapai Rp 1,7 triliun. Proses hukumnya masih dalam penyidikan dan ditangani Mabes Polri. Maria kabur ke Singapura dan Belanda.

¤ Anggoro Widjojo alias Ang Tjoe Hong, kasus SKRT Dephut. Merugikan negara sebesar Rp 180 miliar. Dalam proses penyidikan ke KPK. Anggoro lari ke Singapura dan masuk dalam DPO.

¤ Robert Dale Mc Cutchen, kasus Karaha Bodas. Rugikan negara senilai Rp 50 miliar. Ia masuk dalam DPO, lari ke Amerika Serikat.

¤ Marimutu Sinivasan, kasus korupsi Bank Muamalat. Kasus ini merugikan negara Rp 20 miliar. Masuk dalam proses penyidikan Mabes Polri. Marimutu melarikan diri ke India.

¤ Lesmana Basuki, diduga terlibat dalam kasus korupsi Sejahtera Bank Umum (SBU). Dalam kasus ini diduga merugikan negara sebesar Rp 209 miliar dan 105 juta dollar Amerika. Lesmana divonis di Mahkamah Agung 14 tahun penjara. Ia melarikan diri ke Singapura dan menjadi DPO. ICW menyatakan tak jelas perkembangan terakhir kasus ini.

¤ Tony Suherman, diduga terlibat dalam kasus korupsi Sejahtera Bank Umum (SBU). Dalam kasus ini diduga merugikan negara sebesar Rp 209 miliar dan 105 juta dollar Amerika. Tony divonis 2 tahun penjara. Ia melarikan diri ke Singapura dan menjadi DPO. ICW menyatakan tak jelas perkembangan terakhir kasus ini.

¤ Dewi Tantular, terlibat kasus Bank Century. Kasus ini merugikan negara Rp 3,11 triliun. Kasus tersebut dalam penyidikan di Mabes Polri, Namun, menurut ICW perkembangan kasus tersebut tak jelas. Ia dikabarkan lari ke Singapura.

¤ Anton Tantular, terlibat kasus Bank Century. Kasus ini merugikan negara Rp 3,11 triliun. Kasus tersebut dalam penyidikan di Mabes Polri, Namun, menurut ICW perkembangan kasus tersebut tak jelas. Ia dikabarkan lari ke Singapura.

¤ Sukanto Tanoto, terlibat dalam dugaan korupsi wesel ekspor Unibank. Ia diduga merugikan negara sebesar 230 juta dollar Amerika. Ia lari ke Singapura. Menurut ICW, Sukanto masih terduga namun diberitakan menjadi tersangka. Proses hukum tidak jelas. (Nama Sukanto Tanoto dicabut dalam daftar ini. Kasusnya telah selesai.

¤ Pada 2010, mantan kepala ekonom konsultan McKinsey, James Henry, menerbitkan hasil studinya soal penyelewengan pajak di luar negeri (tax havens). Menurut laporan tsb, terdapat USD 21 trilyun (Rp 198.113 trilyun) pajak pengusaha di seluruh dunia yg seharusnya masuk kantong pemerintah, namun diselewengkan.

Sembilan diantara para pengusaha pengemplang pajak itu berasal dr Indonesia, seperti James Riady, Eka Tjipta Widjaja, Keluarga Salim, Sukanto Tanoto, dan Prajogo Pangestu.

¤ Ini belum bicara kasus yg melibatkan Miranda Goeltom, Theo Toemion, Freddy Harry Sualang, Panda Nababan, Max Moein, Ni Luh Mariani Tirta Sari, Olly Dondokambey, Rusman Lumbatoruan, Willem Tutuarima, Poltak Sitorus, Aberson M Sihaloho, Jeffey Tongas Lumban Batu, Matheos Pormes, Engelina A Pattiasina, Sengman Tjahja, Basuki, Elizabeth Liman, Yudi Setiawan, Artalyta Suryani alias Ayin dsb. Dalam skandal suap impor komoditas pertanian dsb. Panjang sekali daftarnya.

Kalau media-media sekuler dan anti-Islam, kasus-kasus korupsi yang melibatkan mayoritas non-muslim memang selalu ditutup-tutupi, dikecil-kecilkan, andaipun "terpaksa" diberitakan ya cuma sekilas saja.

Beda terhadap kasus korupsi yang menimpa tokoh-tokoh Islam. Walaupun terkadang nilainya kecil, alias tidak ada apa-apanya dibandingkan "rekor" skandal BLBI dll diatas, pasti akan selalu diblow-up habis-habisan, diberitakan berulang-ulang oleh kompas cs.

Dan simbol-simbol keIslaman pelaku korupsi tersebut, apakah gelar Hajinya, Habib, Kyai, Ustadz, Ustadzah, bendahara Majelis Ulama Indonesia, identitas partainya Islam, jilbabnya dsb, sengaja akan selalu ditonjolkan dalam pemberitaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar