Kamis, 11 Februari 2016

Jakarta The Queen of the East (part 2)

Wanita tua itu duduk memandangi bunga-bunga di depan rumahnya. Menghirup aroma bunga yang baru saja tumbuh. Harum. Sejuk.

Matanya yang layu, tak henti memandangi langit senja. Menunggu pandang burung yang terbang. Satu menit, lima, hingga ratusan menit ia tunggu, tak ada burung barang satupun jua. Setelahnya ia baru tersadar: "Ah ya, ini Jakarta. Bukan kampung halamanku."

Meski sedikit kecewa, wanita tua itu masih punya banyak alasan untuk tersenyum. Tentang cita-cita besar milik seorang wanita. Cita-cita yang telah ia raih dengan letih. Karena cita-cita itulah, aku sendiri yang akan menuliskan cerita singkatnya di sini. Kisah ini, tentang seorang ratu. Wanita tua itu...

Gadis cantik seusianya (16 tahun) masih sibuk dengan dapur. Mengurus suami, memandikan anak, dan menunggu senja datang untuk menyambut kembali suami di rumah. Tapi gadis ini tidak, di usia mudanya, ia telah menjadi janda. Setengah gila dengan kematian dua anaknya dalam waktu yang tak terlalu jauh. Gadis muda itu pulang ke rumah orangtuanya dengan hati dan pikiran yang kacau. Rasanya ia berniat tak akan melanjutkan masa depan. Untuk apa hidup jika cinta berkhianat dan anak-anak telah mangkat? Hancur sudah.

Ah, gadis semuda itu mengerti benar menerjemahkan naluri seorang ibu!

Hari demi hari, gadis itu mencoba melupakan kenangan pahitnya. Kenangan tinggal di Kota besar, kenangan memakai kebaya encim termahal, kenangan menyaksikan pembangunan pusat kota, hingga kenangan bagaimana menjalin cinta mudanya. Ia hapus kenangan itu, meski tak seluruhnya. Tak satupun barang atau album kenangan yang ia bawa, kecuali foto dua anaknya yang mangkat. Ia tahu, foto itu akan menjadi modal menghadirkan semangat hidupnya.

Ia kembali ke pinggir kota. Mencari rezeki di kampung halamannya. Menjadi petani, menjual kue, atau menjadi buruh pabrik ubin pun tak masalah. Ia harus mencari uang untuk kebutuhan hidup. Ia sadar, orangtuanya bukanlah orang punya. Orangtuanya hanyalah pengajar ngaji yang tak bermimpi memupuk rupiah. Bagi keluarganya, rupiah hanya bisa didapat dari tenaga. Karena tak satupun dari mereka yang sanggup mencicipi bangku sekolah. Maka jelas, rupiah tak akan mungkin mereka dapatkan dari jalan akademis.

Namun takdir berkata lain. Gadis muda itu ternyata menemukan rezekinya pada profesi tata rias. Belajar otodidak, ia nyatanya dapat menjadikan profesi itu sampingan dari pekerjaan utamanya sebagai buruh pabrik. Dari sini, ia mulai menabung. Mulai percaya diri memupuk masa depan. Memupuk cita-citanya. Cita-cita yang begitu mulia.

Tahun demi tahun berganti, pernikahan keduanya datang. Meski banyak pria mapan dan bujang datang padanya, gadis ini memilih menikah dengan seorang pria berpenampilan elegan yang berbeda usia 25 tahun darinya. Bahkan gadis ini rela menjadi istri kedua. Keluarga mencacinya. Mendengar kisah inipun, aku turut mengkritiknya. Tapi siapa lah aku?

Alasan penerimaan gadis itu terhadap lelaki suami orang yang diterimanya adalah sederhana. Lelaki itu sangat dekat dengan anak-anak kecil. Siapapun anak kecil yang bertemu dengannya, selalu melekat erat dan terngiang. Kata anak-anak itu: "Ah ya, mana Bapak Arab itu?"

Tahun berganti. Cinta mereka bersatu. Meski diwarnai pro kontra. Namun harapan gadis itu pupus. Suami yang diharapkannya terlalu lemah. Ia tak memiliki gagasan besar tentang hidup. Tak memiliki semangat untuk membangun cita-cita. Padahal gadis itu tengah takut, hatinya genting. Betapa tidak, masyarakat dan sanak saudara di sekelilingnya tengah asik menjual tanah dan sawah secara masif. Rupiah tersebut dibelanjakan kebutuhan kelakuan. Tak ada yang diinvestasikan untuk pendidikan. Gadis itu layu, ia menatap kampungnya. Hutan hilang, sawah makin sempit, dan hidupnya juga terancam karena suaminya adalah pengangguran-penyakitan.

Gadis lain yang bermandikan rupiah karena menjual tanahnya, berhidup hedonis, berdempul bedak termahal pada zamannya. Sementara gadis itu hanya berpikir bagaimana enam orang anaknya dapat melanjutkan sekolah tanpa menjual tanah waris sepeserpun. Sementara profesi menjadi tata rias telah ia hentikan karena kecemburuan suaminya yang terlalu picik.

Ia tak mau berdempul. Ia tak mau membeli kebaya encim. Ia tak mau membeli perabot terbaru. Dan ia juga tak mau memuaskan gairah wanita muda seusianya untuk menikmati hedonime. Tapi sungguh, nuraninya ingin. Sangat ingin. Memiliki semuanya yang harusnya ia bisa, ia sangat ingin. Tapi bagaimana cita-citanya?

Akhirnya ia membuang jauh-jauh hasrat mudanya. Ia buang tak tersisa. Ia tak mau tergerus zaman. Ia tahu ia bisa.

Bersama sedikit kebisaannya di dapur, ia membuat kue lapis, bugis, apem, lupis, hingga nasi uduk untuk dijajakan di warung-warung di pagi hari. Siangnya, ia menjual es sirup hingga sore. Proses itu dimulai saat jam dua pagi. Di malam yang buta itu, ia bersujud memohon rezeki halal dan kekuatan diri. Kemudian ia mulai berkutat di dapur. Menggoreng tempe, bakwan, dan keperluan nasi uduk lainnya. Sebelum subuh tiba, ia sudah siap mengantar dagangannya. Sebelum pergi, ia tengok dulu anak-anaknya yang masih pulas di ranjang. Lima anak muat tertidur dalam satu ranjang. Terlihat jelas bagaimana kurangnya gizi mereka bukan? Badan kecil-kecil itu diselimutinya dengan perlahan. Ia kemudian menengok si bungsu yang tertidur di ayunan. Lelap. Semua masih tertidur, maka ia siap berangkat mengantarkan dagangan.

Usai mengantar dagangan dari jarak satu kilometer dari rumahnya, dalam separuh perjalanan balik ke rumah, adzan subuh berkumandang. Ia lari secepat-cepatnya ke rumah. Tak peduli bagaimana jalan berbatu atau menanjak sekalipun, ia tetap berlari. Ia takut anak bungsunya terbangun dan jatuh dari ayunan.

Untuk apa wanita muda itu sangat ngotot mencari rupiah? Sangat mengacuhkan masa mudanya? Padahal ia kehilangan hak sebagai istri, hak kenikmatan muda, hingga hak sebagai warga negara untuk menempuh pendidikan. Jawabannya hanya dua: ia ingin menyekolahkan anak-anaknya dan menyimpan warisan leluhurnya akan sebuah tanah. Sepetak tanah Jakarta.

Menulis ini, menguras hatiku. Gadis yang kehilangan masa mudanya itu, kini tengah menikmati kebahagiaannya. Duduk di teras rumahnya mencium wewangian bunga. Gelar sarjana telah ditorehkan anak-anaknya, tanah waris tak ada yang dijualnya, di depannya berbaris mobil-mobil anak-anaknya, dan ia telah selesai menuntaskan kewajiban haji dengan keringatnya. Hanya saja ia kehilangan kampung halamannya yang dulu. Hutan dan sawah tinggal kenangan. Burung-burung tak lagi terbang. Tembok beton perumahan barangkali menghalangi sayap burung-burung.

Tak berlebihan kukatakan bahwa wanita tua itu adalah ratu tanpa mahkota. Dia adalah ratu sesungguhnya, ratu adil yang begitu menggugah. Dialah, De Koningin van het Oosten Jakarta masa kini. Bagiku, dialah Ratu dari Timur itu. Dialah Hj. Saanih--ibundaku tercinta.

With peace and love,
@sundakelapa90

Cibubur, 12 Februari 2016
Pukul 09.47 WIB

(Note: tulisan ini adalah cuplikan novel yang tengah saya garap. Novel ini baru saya tulis sampai bab lima. Untuk para pembaca, mohon doakan saya semoga diberikan waktu dan kekuatan untuk merampungkannya. Terima kasih untuk mendoakan dan membaca tulisan ini.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar