Sabtu, 27 Februari 2016

Jadilah Kata-Katamu (Memoar diri akan SDA)


Saat itu usiaku 16 tahun. Saat itu, kuingat bagaimana groginya aku yang akan melangsungkan pelantikan diriku sebagai pengurus di salah satu pondok pesantren di bilangan Jakarta Selatan. Aku grogi bukan karena ingin jadi pengurus, tapi grogi karena pelantikan itu akan dihadiri oleh tamu spesial. Dalam kamus hidup keluargaku, pengertian tamu spesial adalah dua hal: pertama dagangan ibu laris, kedua adalah datangnya penjual baju kreditan ke rumah, seminggu sebelum Hari Raya. Tapi kali ini, aku menemukan makna baru akan sebuah tamu. Kali ini, tamu itu bahkan berbentuk manusia yang lain dari sekadar jualan ibu yang laris ataupun penjual baju kreditan. Tamu itu adalah manusia terhormat. Seorang menteri.

Aku hanya tahu menteri itu dari surat kabar yang kubaca tiap pagi dari Divisi Penerangan Pesantren. Aku tahu wajahnya, jabatannya, serta kendaraan politiknya. Di luar itu, bagaimana pemikirannya dan bagaimana dia, aku tak tahu. Yang kutahu, dia adalah terhormat. Terhormat bukan main hingga membuatku grogi. Inilah kali pertama bagiku bertemu dengan seorang menteri dalam panggung terhormat jua.

Detik itu tiba juga, di saat aku naik ke atas panggung untuk dibaiat, kulihat satu-satu wajah di kursi paling depan. Mana si Menteri itu, mana dia? Dia yang membuatku grogi setengah mati, mana dia?

Beberapa saat mataku mencari, kutemukan dia duduk berdampingan dengan Kyaiku. Perawakannya sedikit berbeda dari gambar yang ada di surat kabar ternyata. Si Menteri ini terlihat lebih bersih kulitnya dan berperawakan tinggi. Sepanjang duduk bersebelahan dengan Kyaiku, Si Menteri terlihat ramah. Gestur tubuhnya menunjukkan betapa ia sangat menghormati Kyaiku. Tubuhnya dibungkuk-bungkukkan saat perbincangan dengan Kyaiku itu. Masya Allah... inikah manusia terhormat itu? Menghormati Kyaiku yang lebih tua darinya yang seorang menteri negara.

Usai dibaiat diiringi kalimat sakral yang sangat luar biasa, Menteri itu naik ke atas panggung. Menjumpaiku dan mengucapkan selamat serta memberikan petuah untuk terus semangat dalam berorganisasi. Mendengar kata-katanya, aku bangga. Bangga akan menteri ini.

Usai aku turun ke panggung, si Menteri tetap di atas panggung untuk berbicara di podiumnya. Tentang hal ini, tak akan kubiarkan sedikitpun kata-katanya lewat dari telingaku. Kurekam baik-baik perkataannya, perkataan yang penuh gairah muda untuk remaja sepertiku dulu. Potongan wejangannya:

"Anak-anak yang barusan dibaiat adalah aset bangsa. Pelipur para orangtua. Pemikir dan penerus bangsa yang memiliki nilai plus. Agama dan ilmu yang dimilikinya adalah bekal untuk memajukan bangsa.

Kita butuh generasi muda yang penuh semangat, menatap masa depan bangsa dengan cita-cita. Generasi muda yang kuat, generasi muda yang tidak mudah loyo. Maka, anakku, santri-santri di sini, jadilah generasi muda yang tidak loyo! Yang mengerti ke mana arah bangsa dan negara berpacu."

Bagiku, kenangan itu menjadi sangat manis bagiku. Mulai saat itu jua, aku terus mencari-cari namanya di Media Massa. Karena bagiku yang sedang pesantren, hal itulah yang bisa dimungkinkan untuk dapat mengetahui kabar terbaru darinya. Mungkin karena dialah pejabat satu-satunya yang berinteraksi secara dekat dengan aku dan pesantrenku, maka kumasukkan dirinya dalam daftar orang-orang penting di hidupku.

Bayangan akan kenangan manisku saat pesantren itu pun buyar saat teman-temanku yang ada di sampingku tertawa geli melihat tayangan di sebuah televisi saat kami sedang menunggu narasumber di Kementerian Hukum dan HAM. Tayangan tersebut menampilkan diskusi para pejabat negara dan pengacara, topik yang dibicarakan adalah tentang dualisme partai politik yang tengah sengit kala itu. Kebetulan, partai tunggangan menteri itu pun menjadi salah satu partai yang tengah mengalami dualisme. Tapi, yang membuat teman-temanku tertawa adalah saat kamera men-shoot si Menteri yang tengah duduk melipat kedua tangannya di dada, dan dengan raut wajah serius mendengarkan pembicaraan yang tengah berlangsung. Ia duduk di sana, dalam status dirinya sebagai tersangka korupsi yang ditetapkan oleh KPK.

Dengan nada mengolok, melihat gambar si Menteri di televisi, ia berucap: "Lagi apa dia di sana? Kuliah umum?". Celetukannya itu langsung disambung tawa oleh teman-temanku lainnya. Aku pun ikut tertawa, sekaligus hatiku teriris. Usai itu, aku berjalan lunglai menyendiri. Menenggelamkan pikiranku kembali akan memori manis tentang si Menteri. Tapi seribu tapi, apa yang terjadi kenangan itu kini kuanggap sebagai panggung politik yang hanya mempertontonkan hiburan tak segar.

Untuk si menteri, terima kasih telah memberiku wejangan dan kesan luar biasa dari orang yang luar biasa. Selesaikanlah urusanmu dengan negara, mohon maaflah pada rakyat dan Tuhan Yang Maha Esa. Jangan loyo untuk mengaku salah. Jangan loyo dan kalah oleh derasnya nafsu dan keserakahan diri.

Pak Surya Dharma Ali, jadilah seperti kata-katamu yang pernah kau ucapkan dulu.

Tentang Kasus SDA:

1. SDA terlibat kasus korupsi Dana Operasional Menteri (DOM) 2013-2014

2. SDA menyewengkan kuota haji sebanyak 33 orang kepada anggota DPR saat menjabat sebagai Menteri Agama

3. Pada tahun 2014 SDA ditetapkan menjadi tersangka dan pada April 2015 ditahan oleh KPK.

4. SDA sempat mengajukan pra-pra-peradilan, yang kemudian ditolak oleh Mahkamah Agung Jaksel. Hakim yang memutus perkara adalah seorang perempuan.

5. Saksi dalam kasus korupsi SDA di antaranya dari kalangan menteri, dirjen Kementerian Agama, hingga pihak swasta yang bekerjasama dengan Kemenag.

With peace and love,
@sundakelapa90

Cibubur, 28 Februari 2016
Pukul 06.40 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar