Senin, 29 Februari 2016

Manusia Dua Daya (Part 1)

Terdapat dua daya dalam diri manusia: maskulin dan feminin. Kedua daya tersebut bukan melulu mengacu pada gender, tapi pada hal penting lain yang menentukan sikap dan kebijakan tiap insan terhadap sekitarnya. Daya maskulin dikaitkan dengan otak dan otot, sementara daya feminin kerap dikaitkan dengan hati. Sebagai contoh, banyak dari para tokoh yang memiliki keseimbangan memadukan keduanya sehingga sukses luar biasa dalam bidangnya. Contohnya bagi saya adalah BJ. Habibie, Cut Nyak Deviana, Pramoedya Ananta Toer, Gus Dur, dan lain-lain.

Sementara total yang hanya menggunakan satu daya saja, kerap menimbulkan kehancuran. Para politisi dan pemimpin dunia secara global, sering mengedepankan maskulinitas untuk mendongkrak keinginan atau keuntungan kelompok dan pribadinya. Sehingga tak heran, banyak kehancuran di mana-mana. Perang, kolonialisme, imperialisme, korupsi, dan perbudakan.

Saya ingin mengambil contoh paling dekat, misalnya penggusuran Kampung Pulo yang dilakukan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Ahok mengentikan komunikasi yang buntu antara Pemprov DKI Jakarta dan warga Kampung Pulo dengan mengambil tindakan paksa yang--bagi saya--sangat menggerus moral dan juga HAM. Penggusuran dilangsungkan dengan dalih relokasi. Ahok bahkan dengan gambalang mengatakan bahwa tidak perlu menggunakan hati dan otak, cukup otot saja dalam membenahi Kampung Pulo. Akhirnya, terjadi pertumpahan darah, ambil paksa tanah warga (ada yang bergirik, dan bahkan bersertifikat), dan tontonan perkelahian antara aparatur negara dan rakyat jelata. Inilah yang saya sebut sebagai daya maskulin menanggalkan daya feminin.

Dulu pada Orde Baru, Soeharto menutup semua suara 'bising' yang mengkritik diri dan pemerintahannya. Tentara digerakkan, suara-suara dibungkam, dan pengebirian HAM terjadi secara masif dan terstruktur. Secara verbal, Soeharto menunjukkan daya feminisnya. Tapi tentu, feminisme semu. Seperti senyumnya yang khas yang selalu ditunjukkan dalam hal apapun, pembangunan nasional, hingga pengendalian harga bahan-bahan pokok. Kesemuan ini akhirnya terkuak secara perlahan seiring dengan berjalannya waktu dan menunjukkan kepada kita bahwa Soeharto hanya mengendalikan daya maskulinnya semata.

Di ranah agama, tidak terhitung orang yang dengan dalih apapun, justru lebih mengedepankan ototnya. Ranah nasional kita kenal dengan Pemimpin FPI Habib Rizieq. Tidak terhitung aksi Rizieq yang lebih sarat kekerasan, sehingga jangankan untuk mendengar nasihatnya, orang seperti saya--akan berpikir jutaan kali untuk menjadi muridnya.

Daya maskulin dan feminin adalah dua kekuatan yang menemani diri manusia. Kekuatan tersebut yang berada dalam satu medium (tubuh), sering berlomba-lomba untuk lebih unggul satu sama lainnya. Berat sebelah sedikit saja, maka akan terjadi ketidakseimbangan dalam hal-hal yang kita lakukan. Maka sebagai umat yang beragama, layaknya kita mengacu pada konteks iman.

Iman adalah sebuah kepercayaan. Kepercayaan bisa didapat jika kita sudah merasa tenang, damai, pandai menerima perbedaan, mendengarkan lebih banyak, dan membaca kehidupan lebih luas. Iman adalah merasa tenang, tak takut akan keyakinan diri atas keyakinan orang lain. Iman adalah tenang, tak takut dikalahi nafsu birokrasi meski banyak godaan sana-sini. Iman adalah tenang, tak takut mencari kata mufakat meski harus melewati musyawarah yang cukup lama. Iman adalah tenang, di atas daya, masih ada Sang Pencipta Daya. Maka untuk apa mengikuti satu daya saja jika Tuhan menitipkan dua pada kita?

Saya ingin menulis tentang seseorang yang sangat luar biasa. Tentang keseimbangan diri yang ia jaga. Tentang kebijakannya yang meliputi dua daya. Tentang dia, adalah Baginda Muhammad Rasulullah. Dialah manusia dua daya. Warisannya menggenapi alam semesta.

With peace and love,
@sundakelapa90

Cibubur, 1 Maret 2016
Pukul 06.11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar