Minggu, 14 Februari 2016

Merapi Berpesan (Jogjakarta Part 1)

Pada 2012 lalu aku bersama temanku mengunjungi Jogjakarta. Rencana kami sebenarnya adalah berwisata, namun agar perjalanan ini terlihat lebih keren dan kece, rencana hunting foto akhirnya kami selipkan untuk sekalian dijadikan pameran foto jurnalistik tahunan di kampus kami.

Sampai di Jogja--sebagai mahasiswa kala itu yang masih berselera mainstream--Malioboro menjadi tujuan utama kami. Alasannya? Belanja, foto selfie, dan lainnya yang sama sekali lain dari wacana mulia kami. Tapi untuk pribadi sendiri, poin foto selfie tak masuk dalam kamus besar rencanaku.

Jujur saja, perjalanan kala itu adalah perjalanan ternorak yang pernah aku rasakan. Untuk kantong mahasiswa yang pas-pasan dan mental pengembara yang tak seberapa, beragam cobaan (biar dramatisir) datang silih berganti. STNK motor hilang (padahal motor teman yang tinggal di Jogja), itinerary kacau, dan norak berfoto di tiang lampu merah Benteng Vredeburg.

Namun karena cobaan dan kekacauan itinerary itulah barangkali yang mengantarkan kami sampai ke sebuah tempat yang tidak pernah kami duga sebelumnya: Merapi pasca erupsi.

Entah apa bayangan kami tentang gunung, yang kami tahu saat itu hanyalah keinginan melihat Merapi pasca erupsi. Entah, mungkin karena faktor pemberitaan media yang begitu masif tentang erupsi Merapi 2010 silam yang membuat kami sangat ingin berkunjung ke sana. Maka walhasil, bayangan gunung di benak kami barangkali sebelas dua belas dengan jalan ke Alun Alun Kidul. Jangan tertawa jika kuceritakan bahwa kami ke Merapi dengan mengendarai sepeda motor!

Awal mendaki, kami masih percaya diri bahwa kami tak salah berkendara begini. Awal pendakian, rumah-rumah warga masih banyak terlihat, petani banyak berseliweran, dan udara dingin belum menusuk ke tubuh kami. Tapi semakin menanjak, pemandangan mulai berubah. Pohon-pohon setengah tubuh memenuhi pandangan kami, sisa abu vulkanik mulai terlihat juga di hadapan kami. Karena semakin jauh mendaki dan melihat kondisi Merapi yang sunyi, aku membuat komitmen tersendiri pada hatiku bahwa aku sanggup menjelajah Merapi. Apapun yang terjadi.

Karena semakin jauh kami mendaki, temanku mencoba memastikan kondisi motor kami tidak memiliki masalah berarti. Maka aku pun memastikan bahwa bensin, ban, dan rem dalam kondisi baik. Kami berjalan lagi, tepatnya membesarkan diri bahwa perjalanan ini akan baik-baik saja.

Semakin tinggi kami mendaki, semakin hilang jalan utama Merapi yang diakibatkan erupsi lalu. Banyak jalan bercabang yang tak bisa kami raba yang mana jalan utamanya. Berbekal insting backpacker imitasi kami, akhirnya kami pilih satu jalan yang menghantarkan kami ke tempat Merapi yang paling sunyi. Di sini, pohon-pohon gundul bertebaran, hutan diamuk alam yang luar biasa, dan beberapa rumah hanya tersisa tiang-tiangnya saja. Dalam kondisi seperti ini, jangan tanya apakah ada manusia yang melintas. Satu-satunya manusia yang kurang waras adalah kami. Di sini dengan sunyinya Merapi.

Hanya ada suara burung dan kesunyian alam. Rintik hujan yang turun perlahan pun semakin menambah suasana Merapi bagaikan rumah tak berpenghuni untuk kami. Sempat terpikir untuk kembali, namun entah mengapa aku bertekad untuk melanjutkannya. Temanku ikut mauku. Maka untuk apa kembali? Perjalanan ini harus sampai ujungnya.

Motor kami terus jalan menanjak. Debu yang tebal makin membuat ban motor kami sulit berjalan. Terlebih medan yang menanjak semakin membuat laju motor kami melaju begitu lambat. Anjing yang melintas pun larinya lebih cepat dari motor kami. Selain laju motor, kami pun mulai menggigil. Dinginnya Merapi dipadu dengan gerimis hujan, membuat kami memutuskan untuk berteduh sejenak. Tapi di mana? Tak ada pohon utuh di sekitar kami, apalagi rumah. Tapi kemudian, tak jauh dari pandangan kami, kami melihat sebuah rumah yang masih memiliki tembok tanpa atap. Sesuatu yang langka dari pengalaman penglihatan kami untuk rumah-rumah di Merapi ini. Dan ketika kami sampai di rumah tersebut, gerimis mulai reda.

Kami cukup terkejut dengan rumah ini. Rumah ini berisi barang-barang rumah tangga yang terkena letusan Merapi. Gelas, piring, baju, buku, dan barang lainnya meleleh akibat panasnya erupsi Merapi. Melihat ini, kami segera mengeluarkan kamera DSLR kami dan mencoba mengabadikan momen apa-apa yang kami lihat. Dalam fase awal pemotretan, aku mengambil objek foto di interior rumah sementara temanku mengambil objek foto di beranda rumah.

Aku menjelajah ruangan demi ruangan untuk mendapatkan gambar. Lemari, tv, gamelan, tempat tidur, merupakan beberapa benda yang tak lagi utuh. Kulihat dengan jeli semua sudut rumah ini dan kuambil beberapa gambar. Beberapa objek bagiku terlihat seperti sama saja, tapi mataku terhenti pada satu objek yang entah mengapa menguras perasaanku. Tentang sebuah frame galeri yang tak lagi utuh, yang kehilangan gambar diri atau objek yang terpampang di sana. Tapi, objek diri tersebut digantikan dengan sebuah gambar sederhana seorang wanita di atas dinding. Tepat di samping frame tersebut tertulis: habis sudah semua.

Hatiku pilu melihatnya. Tiba-tiba saja aku mengutuk diriku yang datang dengan rencana mencari gambar foto untuk keperluan pameran. Tapi di hadapanku, tak kuasa aku melihat bagaimana pergulatan batin seseorang yang entah siapa menggambar ulang seseorang ke dalam frame yang tak lagi utuh pasca erupsi. Ini adalah tragedi. Sebuah narasi tentang kehilangan, bukan lagi narasi tentang amukan Merapi. Maka benda-benda yang semula aku lihat seperti gelas, piring, gamelan, tv, lemari, dan lainnya tadi bukanlah perihal tentang ganasnya Merapi saja. Tapi lebih dari itu, terdapat sebuah wacana besar bagaimana seseorang atau lebih, dalam memelihara trauma dan memaknainya.

Di luar rumah, kulihat tulang-belulang binatang ternak yang disusun rapi, dan tak jauh dari tulang-belulang itu terdapat sebuah tanggal sakral kapan tepatnya Merapi menumpahkan luapannya. Sejenak kuperhatikan puncak Merapi dari tempatku berdiri, lama kuperhatikan dan hatiku bergumam sendiri: Merapi berpesan, manusia belajar kembali.

Perjalananku pun terus menemukan titik haus. Kupastikan Merapi bukanlah ujung dari pengembaraanku. Pesan dari Merapi, akan kutulis lagi.

With peace and love,
@sundakelapa90

Cibubur, 15 Februari 2016
Pukul 08.01 WIB


Tidak ada komentar:

Posting Komentar