Senin, 15 Februari 2016

Memahami Pulau Sempu (Part 2)

Setelah berjalan kaki kurang lebih tiga kilometer, akhirnya kami berenam tiba di Segara Anakan. 15 menit sebelum tiba di titik pusat Segara Anakan, kami telah mencium wangi laut yang cukup amis. Karena jalan menuju titik pusat Segara Anakan seperti memutari anak laut, maka dari jarak ini kami berdamping-dampingan dengan anak laut. Dari sini terlihat jelas bagaimana air laut Segara Anakan yang begitu jernih, sehingga menampakkan dengan jelas beragam ikan laut yang berenang di dalamnya.

Aku tak sabar. Tak sabar untuk sampai!

Ransel di pundakku serasa tak berat sama sekali. Aku tak lagi meminum air mineral, aku tak haus air. Aku hanya haus untuk tiba di Segara Anakan. Tapi, karena langkahku, My Special One, dan Pak Guide (aku lupa siapa namanya) lebih cepat dibanding keempat teman Malaysia kami, jadilah kami menunggu mereka muncul terlebih dahulu untuk dapat sampai ke Segara Anakan bersama-sama.

Dalam proses menunggu ini, aku memerhatikan sekeliling. Hutan belantara, keheningan, dan juga kuasa Tuhan. Entah mengapa, yang terbesit di benakku dalam suasana begini adalah J.K Rowling. Aku berpikir sendiri kenapa imajinasi Rowling menabrak dimensi imajinasi manusia kebanyakan? Mengapa dengan tema penyihir saja, Rowling bisa menyambungkan imajinasinya dengan beragam fantasi. Dan 'menyulap' imajinasi tersebut menjadi dunia nyata.

Kekagumanku pada Rowling makin bertambah hari itu. Bukan karena kisah Harry Potter begitu memikat, tapi karena objek yang diambil Rowling adalah tentang sihir. Di sini, entah disadari atau tidak oleh banyak pembaca dan penikmat seri fiksi imajinatif, bahwa dengan memasukkan tema sihir dalam karyanya, Rowling bisa lebih lentur memainkan drama. Dalam dunia nyata saja, banyak manusia yang sering berkhayal untuk cepat ini cepat itu. Andai ini andai itu. Dimensi sihir cukup fleksibel dalam menciptakan ruang baru khayal yang cukup realistis. Tapi nilai plus lain dari Rowling tak hanya membiarkan pembaca untuk terjebak dalam arus khayal dan magis, tapi juga memberikan pakem normatif yang sangat bijak. Seperti sistem sihir yang diterapkan di Hogwart. Satu kata untuk ini: briliant!

Sudahlah, jauh sekali aku memikirkan Rowling. Manusia itu memang ajaib. Tapi jujur dari hati, karena Rowling begitu 'rakus' menulis tentang imajinasi, aku kehilangan banyak objek dan ruang gerak (maklum, penulis amatiran. Belum banyak ide).

Whatever, will or without Rowling in this world, nyatanya imajinasiku terpancing juga dengan aura hutan belantara ini. Entah, ada beberapa tokoh hidup di kepalaku. Satu, dua, dan tiga muncul. Tentang binatang, kerakusan manusia, dan kemalangan manusia yang lain. Hutan, perburuan, kasih sayang semu, keluarga, binatang, dan kekuatan diri. Pikiranku mulai merangkai cerita, berjibaku dengan konflik, dan berdendang dengan gila. Pikiran ini yang kemudian merangsang bibirku untuk tersenyum. My Special One menatap senyumku, kemudian acuh lagi. Mungkin ia berpikir bahwa aku tengah kegirangan karena akan sampai ke Segara Anakan. Ha-ha.

Akhirnya, keempat teman Malaysia kami tiba. Perjalanan dilanjutkan kembali dan selang beberapa menit, kami tiba di titik utama Segara Anakan. Panas terik mini pantai ini menyambut kami. Terik yang luar biasa membuat tak satupun manusia yang rela berdiri di pasir pantai. Semua mengungsi ke pinggir, berteduh di pepohonan rindang yang menjadi tempat tinggal kera. Baru saja tiba, kami segera mendirikan tenda. Karena takut air laut pasang tiba-tiba, kami mendirikan tenda agak belakang tak jauh dari perkampungan kera. Ya, meski terkadang manusia sering menolak teori Darwin, tapi nyatanya antara manusia dan kera tetap saling berdampingan dan berbagi lahan. Nasib.

Usai mendirikan tenda, keempat teman Malaysia kami memutuskan untuk duduk santai dan beberapa ada yang merebahkan diri. Sementara aku dan My Special One membuka bekal dan melahapnya. Dalam makan siang ini, aku banyak berbincang dengan teman-teman Malaysiaku. Tentang alam, film, sepakbola, hingga UMR Jakarta dan nasib sarjana Indonesia. Dalam perbincangan inilah aku menangkap beberapa poin: kesetaraan, kemanusiaan, dan pengabdian alam pada manusia.

Dalam beberapa hal, teman Malaysiaku secara eksplisit memuji manusia Indonesia yang dibilangnya cukup artistik. Everywhere is music. Karena mereka baru saja pulang dari Semeru, aku menduga mereka cukup kagum dengan beberapa pendaki Indonesia di Semeru yang bersusah-susah memikul carier tapi masih menyelipkan gitar untuk dibawa sepanjang jalan. Itu baru musik, belum hal lainnya semisal kesenian benda dan warisan budaya tak benda. Tapi kutegaskan pada mereka, manusia adalah manusia. Antara manusia Indonesia dan Malaysia, semua adalah sama. Yang membedakan manusia Indonesia dan Malaysia hanyalah secarik dokumen. Bagiku, nasionalisme melintasi batas. Tak hanya geografis belaka, lebih dari itu bagaimana kita bisa melihat manusia adalah makhluk Tuhan yang sama dan memiliki hak bahagia, dialah nasionalisme. Alam ini, kataku pada mereka, bukanlah milik orang Indonesia ataupun pemerintahnya. Secara dokumen, ya. Tapi secara bahasa yang lebih manusiawi, alam ini milik dunia. Bukan hanya orang Indonesia yang wajib menjaganya, tapi juga siapapun mereka yang menamakan dirinya adalah manusia. Karena dunia harusnya tak dikotak-kotakkan dengan keserakahan dan aroganisme manusia, maka meski berbeda dokumen antara kita, marilah bergandengan tangan memupuk kedamaian dan persatuan dengan bibit terbaik.

Tentang sarjana Indonesia yang digaji murah oleh pemerintahnya, aku katakan pada mereka bahwa Tuhan tak pelit dalam membagikan ilmunya. Meski pemerintah Indonesia lemah, tapi banyak dari rakyatnya tidak. Berjuang mencari rezeki di luar pekerjaan formal, atau menciptakan lapangan pekerjaan baru, adalah salah satu contoh mengapa banyak sarjana Indonesia yang bisa bertahan hidup dan bahkan menghidupi banyak sektor non-formal. Meski tak sedikit juga sarjana Indonesia yang 'nyampah', merengek pekerjaan dengan skil pas-pasan. Hal itu silakan dimaknai sendiri.

Dari Segara Anakan di Pulau Sempu ini, rasanya aku ingin matahari segera tenggelam. Biar malam menampakkan wajahnya. Bersama bintang-bintang berserakkan di angkasa. Biar alu belajar, biar aku terus paham apa artinya Tuhan menitipkan Sempu kepada manusia.

With peace and love,
@sundakelapa90

Cibubur, 16 Februari 2016
Pukul 09.09 WIB






Tidak ada komentar:

Posting Komentar