Kamis, 11 Februari 2016

Cinta Mengalahkan Kasta

Judulnya terdengar ilusi, ilusi milik para pemimpi. Tapi orang yang tak pernah jatuh cinta, tak akan mengerti bagaimana sebuah mimpi bisa membangun harapan yang nyata.

Sebuah lakon drama dari Maestro Teater asal Bali, Putu Wijaya yang berjudul Bila Malam Bertambah Malam, mencoba menggambarkan bagaimana kekuatan cinta pada akhirnya merobohkan sebuah tatanan sosial yang sudah tidak relevan lagi pada zamannya. Lakon ini tentang cinta seorang sudra yang mencintai seorang dari kasta keluarga ksatria.

Kisah ini seutuhnya milik satu cinta dengan dua jalan terjal berbeda. Antara seorang lelaki sudra Wayan dan seorang wanita berdarah biru I Gusti Biang.

Kisah dimulai dengan hadirnya seorang wanita tua janda yang menghabiskan hidupnya dengan kebanggaan akan garis keturunannya. Tentang leluhurnya yang berdarah biru, dan suaminya yang meninggal di medan perang dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dengan kebanggaannya tersebut, I Gusti Biang tak henti-hentinya menegaskan diri bahwa dirinya adalah wanita tertinggi bagi siapapun manusia yang ada di lingkungan sekitarnya. Kebanggan tersebut ia tunjukkan tak terkecuali, hingga di hadapan para pembantunya. Si lelaki tua Wayan, dan pembantu wanita muda yang mengabdi padanya sedari kecil bernama Nyoman.

Meski sering mendapatkan perlakuan tidak mengenakan dari Gusti Biang, Nyoman tetap patuh dan memedulikan kesehatan sang majikan. Setiap hari Nyoman selalu menyediakan masakan empat sehat lima sempurna dan ramuan obat-obatan agar batuk Gusti Biang sembuh. Namun perlakuan baik Nyoman justru menghadirkan sikap kasar dari Gusti Biang. Nyoman dicurigai akan meracunnya. Umpatan kasarpun sering dilontarkan Gusti Biang pada Nyoman.

Bertahun lamanya Nyoman diperlakukan seperti itu, hingga suatu ketika datang masa di mana kesabarannya telah habis. Nyoman memutuskan untuk pergi dari rumah Gusti Biang. Namun kepergian Nyoman ini tak diizinkan begitu saja oleh Gusti Biang. Ia mewajibkan Nyoman membayar ganti rugi dari semua materi yang telah diberikan sejak kecil hingga dewasa yang dirasakan Nyoman. Mendengar hal tersebut, tentu Nyoman merasa sedih dan tidak habis pikir. Padahal, ia mengabdi pada Gusti Biang tanpa sepeserpun gaji. Tapi biaya hidupnya sedari kecil ternyata menjadi perhitungan tersendiri oleh Gusti Biang. Maka Nyoman pergi dengan meninggalkan hutang materi yang tak terhingga pada Gusti Biang.

Mendengar kepergian Nyoman, si pembantu tua yang pikun dan tuli, Wayan, kaget bukan main. Ia mencoba membujuk Gusti Biang untuk memanggil Nyoman kembali. Namun tentu saja, hasil ini nihil. Wayan justru mendapatkan cacian dari Gusti Biang.

Akhirnya karena putus asa membujuk, Wayan kemudian memberitahu Gusti Biang bahwa jika Nyoman pergi dari purinya itu, maka anaknya yang tengah menimba ilmu di kota yang bernama Ngurah, akan sedih bukan main. Wayan akhirnya memberitahu bahwa Ngurah sangat mencintai Nyoman dan berencana akan menikahinya. Mendengar hal tersebut, Gusti Biang tak percaya dan murka pada Wayan. Ia tak percaya bahwa anaknya mencintai darah sudra. Gusti Biang sama sekali tak percaya.

Namun ketidakpercayaan tersebut pupus ketika Ngurah pulang ke puri dan menemuinya. Ngurah menjelaskan kepada ibunya bahwa ia mencintai Nyoman dan akan menikahinya. Mendengar hal itu, Gusti Biang marah bukan main. Ia tak habis pikir bagaimana anaknya dapat menjatuhkan martabat leluhur dengan mencintai darah sudra. Maka dengan cepat, Gusti Biang menuduh Wayan sebagai dalang dari percintaan anaknya dengan Nyoman itu.

Gusti Biang percaya bahwa Wayan menghasut Ngurah dan Nyoman untuk saling mencintai.

"Leak! Wayaaan! Kau penghasut, kau tua bangka sial! Tuli, pikun, buta huruf, sudra! Kau menghasut anakku mencintai darah sudra! Kurang ajar!" umpat Gusti Biang geram.

Ngurah mencoba membela Wayan dengan menjelaskan bahwa ia mencintai Nyoman apa adanya. Namun begitu, Gusti Biang menjelaskan bahwa Ngurah akan dinikahkan dengan wanita berdarah biru bernama Sagung Rai. Gusti Biang percaya, Sagung Rai lebih terhormat dan pantas untuk Ngurah dibandingkan Nyoman.

Ngurah menolak. Ia kemudian menjelaskan kepada ibunya bahwa kasta adalah ajaran yang sudah tidak relevan lagi. Cinta tak perlu memandang kasta.

"Apa yang menjadikan Sagung Rai lebih pantas untuk Ngurah dibandingkan Nyoman? Tidak ada, Ibu. Semua manusia sama. Apapun kastanya, tidak ada yang membedakan kecuali seberapa besar dan kuat cinta yang dirasakan di hatinya," kata Ngurah dengan tegas.

"Anak laknat! Kau kotori kehormatan leluhurmu, kau kotori puri ini dengan cinta anak sudra itu?! Sungguh menyesal leluhurmu memiliki anak sepertimu!"

Gusti Biang melirik Wayan dan mengusirnya pergi. Wayan pun segera berkemas dan meninggalkan kediaman Gusti Biang. Dengan membawa pakaian dan bedil kuno, Wayan hendak bergegas. Namun Gusti Biang berteriak dan memerintahkan Wayan untuk tidak membawa bedil tersebut.

"Tua bangka! Mau kau curi bedil suamiku?!"

"Bedil suami Gusti Biang? Bedil mana?" jawab Wayan tak mengerti.

"Bedil yang kau pegang itu milik suamiku. Bedil itu adalah bedil tentara NICA yang telah menewaskan suamiku?"

"NICA tidak punya bedil macam ini, Gusti," kata Wayan menguji.

"Masih mengelak. Ngurah, ambil bedim ayahmu itu!"

"Biar saya lihat, Bape," kata Ngurah kepada Wayan.

Ngurah memerhatikan bedil tersebut dan mengambil peluru yang ditemukan di jasad ayahnya saat meninggal.

"Percayalah, Ngurah, peluru itu bukan milik NICA. Bedil ini juga," Wayan mencoba menjelaskan.

"Diam kau tua bangka! Suamiku adalah pejuang, dia adalah pahlawan negara. Dia mati ditembak NICA!"

"NICA tidak punya bedil seperti ini, tidak juga punya peluru macam itu, Gusti. Bedil ini milik gerilyawan Indonesia, peluru itu juga,"

"Diam kau, diam kau!"

"Suamimu mati ditembak gerilyawan, bukan ditembak NICA. Dia mati sebagai pengkhianat karena membocorkan strategi dalam perang Puputan kepada NICA. Dia ditembak gerilyawan, dia mati sebagai pengkhianat!"

"Kurang ajar! Beraninya kau menghina suamiku?! Suamiku yang sangat terhormat, terlahir dari keluarga bermartabat dihina oleh seorang sudra?! Tembak dia Ngurah, tembaaak!"

"Bape, tega betul bicara begitu pada kami," Ngurah bingung dan tak percaya dengan apa yang dikatakan Wayan.

"Memang itulah yang terjadi, Ngurah. Ayahmu adalah pengkhianat negara. I Gusti Ngurah Ketut adalah orang yang paling berdosa dalam Perang Puputan. Karena ia, Pak Rai gugur dalam perang, kapten juga gugur. Banyak prajurit Bali di Perang Puputan terbantai oleh NICA. Sebab itu, aku sebagai gerilyawan menembaknya. Dengan bedil ini, ia mati di tanganku!"

"Tidak! Bohooong! Bohong!" tangis Gusti Biang histeris.

"Bape menembak ayah saya?"

"Ya. Ayahmu kutembak. Ia mati sebagai pengkhianat. Tapi karena dia adalah keturunan bangsawan, maka kesalahannya ditutupi. Ia dibilang mati dalam membela negara. Padahal ia mati karena telah berkhianat pada negara. Sejarah banyak dipalsukan. Kejahatan seringkali ditutupi."

Gusti Biang tak henti-hentinya menangis. Ia terpukul dan berhenti bicara.

"Ngurah, ayahmu adalah pengecut. Dia adalah seorang wandu alias banci. Demi menutupi itu, ia sengaja memelihara 15 selir agar orang tak tahu bahwa ia adalah wandu. Tiyang selalu ada menemani Gusti Ngurah Ketut ke manapun dia pergi. Tapi tiyang kecewa, tiyang kecewa dan sedih karena Gusti Ketut tak menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami. Ia tidak dapat membuat Gusti Biang bahagia," ucap Wayan dengan ketir. Kata-katanya terputus sejenak.

"Maksud Bape bahwa ibu tidak bahagia adalah karena ayah adalah wandu? Lalu mengapa Bape bersedih?" Ngurah tersentak dan air matanya hampir meleleh, namun sekuat tenaga ia ingin mendengar pernyataan Wayan selanjutnya.

"Ibumu adalah cintaku satu-satunya. Sedari kecil kami saling mencintai. Tapi ia tidak mau dikalahkan oleh statusnya, ia menolak cintaku dan menikah dengan Gusti Ngurah Ketut yang berdarah bangsawan hanya karena gengsi semata. Tapi karena Gusti Ngurah Ketut adalah seorang wandu, maka akulah yang selalu menemani Gusti Biang dalam suasana apapun. Aku rela menjadi pembantu seumur hidupnya, dicaci, dan dihina asal tetap bisa ada di sanpingnya. Dan Ngurah... tanyakanlah pada ibumu, siapa sebenarnya ayah kandungmu? Tanyakanlah..."

Ngurah melirik ibunya lirih, Gusti Biang tak balik menatapnya, seolah mengulur waktu akan terbongkarnya sebuah rahasia.

"Akulah ayah biologismu. Tapi aku hanya seorang sudra. Legalitas saja aku tak punya untuk mengakui kau adalah putraku. Tapi biarlah begitu. Biarlah. Asal aku ada di sisi Gusti Biang, asal aku bisa menemaninya, itu cukup. Meski aku harus berpura-pura menjadi tua bangka tuli, pikun, buta huruf, aku tak mengapa."

Ngurah tertunduk lesu, terperanjat dengan kenyataan yang baru saja didengarnya.

"Tapi Ngurah... kau tidak boleh merasakan apa yang aku rasakan. Kau tidak boleh kehilangan masa mudamu sepertiku. Kau tidak boleh kalah oleh tatanan sosial ini. Kejarlah Nyoman jika kau mencintainya. Kejarlah ia dan nikahilah. Lalu engkau akan tahu bahwa sesungguhnya, cinta bisa mengalahkan kasta."

"A... ayah..." kata Ngurah terbata-bata dan segera dipotong Wayan.

"Tak perlu memanggilku dengan sebutan ayah. Anggap engkau tak pernah tahu. Anggap aku adalah sudra pembantumu. Tapi percayalah, aku akan selalu ada di sisi kalian berdua. Percayalah... "

Terharu dengan ucapan Wayan, Ngurah segera bergegas menjemput Nyoman. Menjemput cintanya. Menjemput masa mudanya. Ia lari, secepat-cepatnya pada cinta.

Sepeninggal Ngurah, Wayan mendekati Gusti Biang.

"Tak apa kah bila tiyang tetap tinggal di puri ini, Gusti?"

"Diam kau. Aku malu," wajah Gusti Biang merah merona. Seolah usia tak menjadi pengingat rona tersebut.

"Malu dengan siapa, Gusti? Tiyang tidak akan bicara lagi tentang yang dulu-dulu,"

"Tadi kau ceritakan pada Ngurah, aku malu,"

"Baiklah, tiyang tidak akan ceritakan lagi. Tapi apakah tiyang boleh tinggal lagi di puri ini?"

"Kenapa kau bertanya? Aku malu,"

"Kenapa malu? Gusti Biang masih tetap cantik seperti dulu. Selalu begitu di hatiku. Selalu menjadi cintaku seumur hidup ini,"

Dengan malu, Gusti Biang mencoba menatap Wayan kembali. Hatinya kemudian berdesir seolah merasakan energi cinta yang kuat yang dipancarkan Wayan kepadanya. "Tinggallah di sini, temani aku lagi."

"Selalu, cintaku. Selalu kutemani sampai akhir hayatku. Gusti Biang, sayangku... kasta ini tak akan mengalahkan cintaku padamu."

Wayan memeluk Gusti Biang dengan erat. Gusti Biang pun mendekapnya dengan erat juga. Malam yang bertambah malam, seolah tak mereka hiraukan. Biar usia semakin larut, cinta yang kuat tiada akan terlelap. Karena cinta selalu menjadi kekuatan seseorang untuk bertahan.

With peace and love,
@sundakelapa90

Jakarta Pusat, 11 Februari 2016
Pukul 18.50 WIB

1 komentar: