Kamis, 21 Januari 2016

Menjemput Pencak Silat Indonesia

Di Indonesia ini semua hal yang hangat, laris manis. Mulai dari kuliner sampai mode. Dari trending sport sampai trending gossip. Tapi begitu dingin, hilang dari permukaan. Tidak ada lagi tagar topik yang pernah populer itu. Kita masih ingat bagaimana gegap gempita masyarakat Indonesia karena laga Piala AFF 2010. Semua media memberitakan, bahkan ibu-ibu pengajian juga sibuk membicarakan Irfan Bachdim dan sepak bola. Lalu kemudian, riuh AFF 2010 kandas. Digantikan isu lain. The show must go on... action! Kalau mengikuti arus media, memang begini mau mereka.

Hangat-hangat tahi ayam itu mudah-mudahan tidak terjadi dalam momentum pencak silat Indonesia. Di mana trio The Raid Iko Uwais dkk menjajal film laga berkelas macam Star Wars. Meski seni beladiri silat sempat menggema berkat film The Raid dan lanjutan-lanjutannya, namun sadarkah kita bahwa pencak silat harus terus dilestarikan dan berinovasi lebih jauh? Itulah mengapa film laga Indonesia belum dapat menyaingi Kung Fu asal Tiongkok. Padahal jika dijalani dengan serius, pencak silat Indonesia tak kekurangan materi sama sekali. Beragam daerah memiliki kekayaan gerak dan koreografi tersendiri.

Tiongkok berhasil mem-branding Kung Fu sebagai ciri khas negara Tirai Bambu itu. Dengan perjalanan yang panjang sejarah Kung Fu, penggiat seni beladiri di negara itu selalu memberikan inovasi dan memperkaya Kung Fu sehingga dapat diterima di seluruh penjuru dunia.

Sejarah kelahiran Kung Fu dalam tradisi Shaolin pun cukup menarik. Seperti kisah bagaimana di biara perguruan Shaolin para biksu muda yang ingin menimba ilmu teologi Buddisme, selalu mengantuk. Untuk meminimalisir ketidakefektifan belajar itu, biksu tetua mulai mengajarkan seni olahraga berupa Kung Fu dan Wushu. Maka, diajarkanlah 18 jurus Kung Fu kepada biksu-biksu muda--dengan niat utama agar para biksu muda tak mengantuk. Karena Kung Fu pada halikatnya adalah sebuah seni dan bagian dari olahraga.

Dari ke-18 jurus dasar itu, dikembangkan lagi menjadi 72 jurus Kung Fu yang kini dikenal dengan nama Shaolin Kung Fu. Setelah itu terus dikembangkan hingga menjadi 182 jurus dan kemudian diringkas menjadi lima jurus dasar yang kini populer. Seperti jurus bangau, ular, kera, dan lain-lain. Sementara jika dalam ilmu beladiri halus (Tai Chi), jurus dasar tanaman pinus banyak diterapkan.

Jurus pohon pinus mengajarkan tentang ketenangan dalam ilmu beladiri. Filosofi tenang dan kuat dari pohon pinus diambil saat pohon pinus tertimpa tumpukan salju. Walaupun tertimpa tumpukan salju, pohon pinus tak akan jatuh roboh meski salju telah jatuh berjatuhan ke tanah. Hal itu karena kelenturan pohon pinus dan kekuatan akarnya yang luar biasa. Untuk itulah mengapa beladiri Tai Chi juga banyak digemari.

Dengan adanya perkembangan informasi di dunia perfilman Hollywood tentang Kung Fu yang dipopulerkan oleh Bruce Lee, Jet Lee, dan Jackie Chan pada era populer, citra Kung Fu seolah merupakan seni beladiri semata. Padahal, Kung Fu bermakna awal sebagai keterampilan dan keahlian. Keahlian dan keterampilan sendiri bisa disandingkan dengan kata kerja lain, seperti memasak ataupun menjahit.

Namun karena Kung Fu dipopulerkan oleh ahli beladiri seperti Bruce Lee, Jet Lee, dan Jackie Chan, maka citra yang berkembang di masyarakat global tentang Kung Fu merupakan seni keterampilan beladiri. Padahal sebenarnya, tradisi beladiri di kalangan Tiongkok lebih dikenal dengan nama Wushu. Dan secara kebetulan, Wushu dikembangkan dan dipopulerkan oleh perguruan Shaolin.

Perkembangan Wushu terus terjadi hingga ke era modern. Pada hakikatnya Wushu sebagai ilmu beladiri dan seni, terbagi menjadi dua. Yaitu tradisional dan modern. Wushu tradisional berkembang di era perguruan Shaolin pada tahun 500-an Masehi setelah pemerintahan Dinasti Ming. Sementara Wushu modern terjadi di era populer yang bermula tahun 1953 dengan dua aliran yang ada. Yaitu aliran keras dan aliran lembut.

Bagaimana dengan beladiri Indonesia? Pencak silat, Tarung Drajat, dan lainnya itu? Semoga kehadiran Iko Uwais dkk dapat membangkitkan gairah pelestarian pencak silat Indonesia. Tak hanya merangsang masyarakat Indonesia beramai-ramai beli tiket menonton di bioskop lalu update status saja. Lebih dari itu, Indonesia butuh perguruan-perguruan silat yang lebih masif untuk dapat dikembangkan. Momen berharga Iko Uwais di kancah perfilman nasional dan internasional, harusnya kita jadikan momen untuk menjemput pencak silat Indonesia dirangkul kembali.

With peace and love,
@sundakelapa90

Cibubur, 22 Januari 2016
Pukul 07.43 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar