Jumat, 22 Januari 2016

Memahami Pulau Sempu (Part 1)

Pagi menjelang siang, keringatku bercucuran deras. Seperti biasanya cuaca wilayah Timur Jawa, matahari begitu menyengat seolah berada tak jauh dari kepala. Aku dan seseorang (baca: My Lovely Honey), bermandikan keringat begitu turun dari motor. Tapi tentu saja kami bisa maklum dengan matahari yang menyengat ini. Yang tidak atau belum kami bisa maklumi adalah serbuan ulat pohon jati yang menggantung bergerombol hampir menyentuh permukaan jalan. Otomatis aku dan My Lovely Honey yang mengendarai motor, melaju begitu saja karena jika dari kejauhan, ulat-ulat ini tidak terlihat jelas. Walhasil, ulat bulu memenuhi tubuh kami. Di kepala, tangan, kaki, sampai pundak dan juga helm.

Maka begitu turun dari motor, selain menghela keringat, kami juga membersihkan ulat-ulat ini dengan fantasi berlebih. Tangan menghentak ke kanan dan kiri. Ciat ciat ciat! Macam pesilat profesional. My Special One bahkan menggoyangkan badannya bak penari salsa. Alamak! Tak dinyana, ulat jati ternyata dapat membangkitkan bakat terpendam kami.

Lupakan soal ulat jati. Kini kami mencari posko perizinan masuk kawasan konservasi Pulau Sempu. Boleh dikatakan, kamilah pengunjung pertama yang meminta izin masuk ke dalam kawasan konservasi Sempu untuk menginap hari ini. Perizinan difungsikan untuk memberikan penyuluhan bagi para pengunjung Sempu agar tidak melakukan hal-hal yang dilarang. Seperti membuang sampah sembarangan, menyalakan petasan, atau mengganggu ekosistem alam semisal berburu dan lain-lain. Kurang lebih setengah jam, aku banyak berbincang dengan Pak Edi, Kepala Polisi Hutan Sempu.

Pak Edi menjelaskan dengan detail bagaimana profesinya sebagai penjaga hutan konservasi. Opini yang berkembang di masyarakat akan Pulau Sempu adalah sebuah pulau ajaib yang indah. Mirip-mirip dengan Phi Phi Island di Thailand, dan juga Raja Ampat di Papua. Hanya bedanya, Pulau Sempu tergolong lebih mungil. Padahal, Pulau Sempu adalah cagar alam yang harus dilindungi oleh negara. Bahkan kabarnya, Pulau Sempu telah dijadikan cagar alam sejak era Hindia-Belanda. Terdapat banyak hewan-hewan buas yang dilindungi di Pulau ini. Tapi tentunya, titik point yang kami tuju tidak masuk ke dalam kawasan yang dipenuhi hewan-hewan buas. Yang kami tuju adalah segara anakan.

Dalam proses sosialisasi dan penyuluhan terhadap masyarakat bahwa Pulau Sempu bukanlah tempat wisata, menjadi tantangan yang cukup berarti baginya. Bayangkan, ia dan rekan-rekannya bertanggung jawab meminimalisir jumlah pengunjung ke Pulau Sempu, tapi di sisi lain kehidupannya yang berdampingan dengan masyarakat sekitar yang bergantung hidup dari wisata Sempu menjadi momok lain yang seolah menghantamnya. Ia bagai daging hamburger yang diapit roti atas dan bawah. Siap kapanpun terjepit. Ia akhirnya berstrategi memberikan sosialisasi dari hati ke hati kepada siapapun pengunjung Pulau Sempu bahwasannya pulau ini bukanlah tempat wisata. Akhirnya, usaha Pak Eddy membuahkan hasil setelah satu tahun menjalani metode sosialisasi itu. Efeknya, enam puluh persen wisatawan Pulau Sempu berkurang. Fantastis!

Kembali ke topik Segara Anakan. Ya, dari namanya saja kita bisa meraba seperti apa tempat itu. Segara dalam bahasa Jawa berarti laut, anakan berarti anak. Kurang lebih begitu. Jadi segara anakan berarti laut anak atau anak laut? Apapun lah... intinya ada laut-lautnya. Dinamakan begini karena pulau ini dikelilingi tebing karang yang menjulang seperti bukit. Bukit karang itu pembatas langsung antara pulau dan Samudera Hindia. Di bukit karang ini ada satu tempat yang bolong, hingga membuat ombak Samudera Hindia menghantarkan airnya ke Segara Anakan. Memenuhi dan mentransfer Segara Anakan dengan air dan ikan-ikannya.

Kami akhirnya berangkat setelah perahu yang kami sewa tiba. Oh ya, selain aku dan My Special One, kami juga ditemani oleh empat kawan Malaysia. Dua di antaranya bekerja di Twin Tower Petronas, satu adalah sutradara, dan yang terakhir adalah anak alam. Kusebut begitu karena carier-nya yang tinggi besar di pundaknya itu, sama sekali tak membuat manusia itu berkeringat. Ampun...

Perahu kami berjalan santai, membelah bibir pantai Malang Selatan dan Pulau Sempu. Di depan kami, bukit karang menjulang. Tak jauh dari bukit karang itu, terdengar debur ombak menggelegar Samudera Hindia. Perahu kami tak menuju terus ke depan, kami sadar kami bukan naik armada kapal Ibnu Batutah. Akan tetapi kami berbelok sedikit ke arah kiri. Ke bibir pantai yang seperti terisolasi. Kanan kirinya dipenuhi pepohonan magrove. Di sini, suasana kontras terasa dengan hamparan Samudera Hindia barusan. Di bibir pantai ini, suasana senyap menyambut kami.

Dek... dek... dek... perahu melambatkan lajunya. Berlabuh perlahan dengan bantuan bambu panjang nelayan yang ditekankan ke dasar air bibir pantai. Kanan kiri, seseimbang mungkin. Aku melihat ke depan, pepohonan besar berdempet-dempetan. Inilah hutan. Sesuatu yang tak akan pernah kutemui di Jakarta.

Kami turun satu per satu dari perahu sambil menjaga keseimbangan. Kaki kami disambut air laut yang cukup amis. Sambil menunggu semua turun, aku mengambil beberapa foto 'pintu masuk' hutan yang senyap ini. Sebelum benar-benar masuk, aku dan My Special One memeriksa kembali peralatan pokok yang kami bawa. Karena setelah melangkah masuk ke hutan, yang kami andalkan hanyalah badan kami dan apa yang kami bawa di dalam ransel. Keempat teman Malaysia kami berpesan untuk berjalan perlahan dan santai. Hal itu karena mereka baru aja selesai mendaki Semeru.

Kesenyapan hutan membawaku merenung sendiri sambil terus merambah masuk ke dalamnya. Hutan di Pulau Sempu dan seluruh spesies yang hidup di dalamnya adalah salah satu makhluk Tuhan yang beruntung. Bertahan dengan segala kemampuannya dari gempuran manusia. Meski sedikit diperkosa, namun nyatanya Sempu masih belum kehilangan keperawanannya. Sementara nun jauh di Barat Jawa, ada sekelompok manusia yang bukan hanya kehilangan sawah dan hutannya, melainkan juga kehilangan kebudayaannya. Melebur dengan kebudayaan lainnya. Tergagap-gagap mencari keahlian di luar hutan dan sawah. Kira-kira itulah gambaran kaumku: Betawi Cibubur. Kami pasrah dengan gegap-gempita beton yang menggusur satu-satu sawah kami. Arus globalisasi nyatanya tak membuat kami kuat, justru kami sulit berkutat. Kelemahan kami lainnya adalah sulit membaca peluang.

Aku membuang lamunanku. Kuperhatikan pohon-pohon di hutan ini yang kutahu. Jati, mahoni, dan... aku tak kenal yang lainnya lagi. Sedikit malu sendiri. Tapi biarlah. Lalu, kucoba menguji My Special One. Kutanyakan padanya jenis pohon apa yang kutunjuk. Ia menjawab santai: "Jati". Aku melongo hampir gila: "Kok tahu?"

Sambil tertawa cekikikan ia menjawab: "Jika engkau bertanya apa nama pohon yang kau tunjuk, sadarkah kau bahwa kau tak pernah tunjuk jenis pohon selain pohon jati? Itu pasti karena satu-satunya yang kau tahu,"

Malunya aku. Tapi tertawa juga akhirnya terpingkal-pingkal. Canda ini cukup menghibur kaki-kaki kami yang harus menempuh jarak tiga kilometer menuju Segara Anakan. Ah, pelajaran apa lagi yang akan kutemui di sana. Aku tak sabar. Memahami Pulau ini, akan kulakukan dari jarak terdekat.

With peace and love,
@sundakelapa90

Cibubur, 22 Januari 2016
Pukul 17.46 WIB (menjelang magrib)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar