Sabtu, 09 Januari 2016

Gairah Studi Islam di Indonesia

Kesalahan orang Indonesia dalam menyelesaikan sebuah permasalahan adalah telat mengkaji. Alhasil, ketika masalah datang kita tidak memiliki resep jitu untuk menyelesaikan sebuah permasalahan. Kita lebih cenderung tertimpa masalah terlebih dulu, baru mencari formula penyelesaiannya. Hanya segelintir saja orang Indonesia yang mau mengkaji dan memahami akar permasalahan sehingga memiliki ancang-ancang dalam menyelesaikannya dan menjalankan gagasan brilian.

Lokomotif pembaruan dalam pemikiran Islam datang silih berganti dari generasi ke generasinya. Mewariskan banyak hal tentang keagamaan dan kebangsaan. Di era pra-Indonesia misalnya--jauh-jauh hari--seorang Kyai dari Jawa Timur begitu menggugah dengan membawa pemikiran yang paling modern dan moderat di zamannya. Siapa lagi kalau bukan Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asyari, Pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia Nahdlatul Ulama. Di zamannya, beliau tidak hanya berpikir tentang negara Islam untuk Nusantara (negeri yang dijajah oleh Belanda--kafir). Tidak seperti kyai-kyai seangkatannya yang geram dengan penjajahan seorang kafir Belanda dan lantas memicu mereka untuk berteriak lantang mendirikan negara Islam, KH. Hasyim Asyari justru berpikiran moderat dengan menggabungkan agama dengan nasionalisme. Mengeluarkan fatwa bahwa hukum membela Tanah Air bagi umat Islam adalah fardhu ain atau wajib bagi tiap-tiap individu.

Tak hanya itu, pemikiran beliau juga bisa dikatakan sangat jauh melompat ke depan. Tak hanya soal negara dan nasionalisme yang diwujudkannya dengan membela Tanah Air. Beliau juga fokus terhadap keperluan umat Islam dunia akan warisan peradaban Islam. Salah satunya dibuktikan ketika beliau membentuk sebuah komite yang diberangkatkan ke Saudi Arabia untuk menyuarakan aspirasi kepada Pemerintah Arab Saudi agar tidak memberangus situs-situs Islam, utamanya makam Nabi Muhammad SAW. Karena setelah rumah kelahiran Rasul dijadikan toilet umum, rumah tinggal Rasul bersama Sayyidah Khadijah digusur, rumah Assabiqunal-Awwalun digusur, makam para sahabat di Baqi diratakan, Pemerintah Arab Saudi berencana meratakan makam Nabi Muhammad. Di saat itulah KH. Hasyim Asyari memberangkatkan komite dari Indonesia untuk menyuarakan tiga aspirasi. Pertama, meminta pada Pemerintah Arab Saudi untuk menggilir imam Masjidil-Haram dan Masjid Nabawi kepada ulama-ulama dari negara-negara lain. Kedua, membiarkan seluruh umat Islam menunaikan ibadah haji dengan apapun latar belakang anutan mazhabnya. Ketiga, meminta Pemerintah Arab Saudi untuk tidak menggusur makam Nabi Muhammad. Dari ketiga aspirasi tersebut, hanya satu saja yang dikabulkan. Yaitu tidak menggusur makam Nabi Muhammad SAW. Perlu dicatat, hal ini dilakukan KH. Hasyim Asyari di saat Indonesia belum berdiri menjadi sebuah negara. Bahkan ketika itu, beliau belum mendirikan Nahdlatul Ulama. Jika bukan karena kecerdasan, keberanian, kepercayaan diri, dan dakwah, KH. Hasyim Asyari musykil mewujudkan perjuangannya dalam mempertahankan situs yang sangat suci dan bersejarah seperti makam Nabi Muhammad.
Gagasan dan pemikiran beliau telah kita nikmati hingga hari ini. Pemikiran beliau yang masih relevan, banyak kita rasakan manfaatnya untuk Indonesia yang hakiki. Saya yakin benar, seperti KH. Ahmad Dahlan yang mendirikan Muhammadiyah dengan misi Islam reformis dan banyak dimusuhi oleh kyai-kyai abangan di zamannya, KH. Hasyim Asyari pun bukan tidak mungkin mendapatkan cemoohan dari kyai-kyai yang bersebrangan pemikiran dengannya. Tapi hal itu (pemikiran KH. Hasyim Asyari) justru begitu nyata dampaknya untuk kelangsungan hidup berbangsa dan beragama hingga kini.

Tokoh pembaruan datang lagi. Saya bisa katakan bahwa inilah golden age-nya pemikiran Islam inklusif yang moderat. Pemikiran dan gagasan Islam yang baru, muncul pada generasi yang bersamaan dengan beberapa tokoh pembaharunya. Sebut saja Gus Dur dan Nurcholis Madjid yang banyak menelurkan semangat persatuan, kebangsaan, pluralisme, dan Islam yang moderat. Maka tak heran jika kini, semakin banyak tokoh Islam yang sangat vokal dalam mengkaji Islam dan mengamalkannya dengan baik. Seperti Azyumardi Azra yang mampu mengubah citra Universitas Islam Negeri (UIN) sebagai universitas Islam yang mampu berdampingan dengan disiplin ilmu umum atau non-agama. Kemudian Komarudin Hidayat, Ulil Abshar Abdala, Zuhairi Misrawi, dan masih banyak lagi tokoh-tokoh Islam yang produktif menelurkan karya dan gemar mengkaji-meneliti. Katakanlah mereka sedikit banyak berbeda pemahaman akan satu atau banyak permasalahan, tapi semangat mereka sebenarnya satu: kebangsaan dan Islam yang damai.

Geliat dan semangat mengkaji Islam akhirnya pun banyak disalahgunakan oleh berbagai oknum dan kepentingan. Seperti yang datang dari kalangan tarbiyah yang menginginkan konstitusi Islam diterapkan dalam lingkup negara Indonesia. Inilah yang coba diperjuangkan kalangan tarbiyah lewat jalur politiknya: Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Kalangan tarbiyah sebenarnya kebanyakan berasal dari sarjana lulusan Mesir yang banyak mengkaji buku-buku Ikhwanul Muslimin Mesir. Pemahaman mereka akan konstitusi Ikhwanul Muslimin itulah yang kemudian coba diperjuangkan untuk diterapkan di Indonesia. Hal itu coba diperjuangkan lewat jalur politik dengan kendaraan parpolnya: Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sayangnya, kalangan tarbiyah boleh dikatakan gagal mndekati kalangan UIN. Kenapa? Karena Islam memang menjadi bahan kajian di UIN, sehingga sedikit banyak mereka tidak mudah terpengaruh arus yang datang dengan iming-iming konstitusi Islam. Beda halnya dengan kampus-kampus umum yang tidak mempelajari Islam secara dalam seperti IPB, UI, dan ITB. Maka ketika datang satu guru atau ustaz membawa konsep tarbiyah, mereka menerima dengan mentah. Maka tak heran jika banyak dari kalangan tarbiyah yang pemikirannya cenderung keras dan menganggap diri paling lurus.

Beda lagi dengan gerakan Hizbut Tahrir Indonesia. Dari namanya, kita harusnya tahu bahwa gerakan ini adalah gerakan pembebasan, tahrir. Gerakan ini lahir di Palestina sebagai bentuk perjuangan terhadap kemerdekaan Palestina dari Israel. Namun, seiring pergantian kepengurusan, Hizbut Tahrir justru melenceng dari misi utamanya. Yang terdengar jelas justru rencana mendirikan Khilafah Islamiyah di negara-negara berpenduduk muslim. Gaung untuk memperjuangkan kemerdekaan Palestina justru lenyap. Kandas entah ke mana.

Kemudian gerakan yang lebih radikal, datang dan hampir lenyap seperti Al-Qaeda dengan pemimpinnya yang vokal ketika itu, Osama bin Laden. Agenda besar Al-Qaeda adalah melenyapkan Amerika dan kaum kafir lainnya dengan cara-cara yang sangat radikal. Namun saat ini, yang lebih menyeramkan radikalnya adalah Islamic State of Iraq and Suriah (ISIS). Kekejaman ISIS sangat gila dan konyol. Membunuh seluruh agama, kelompok, atau apapun yang bersebrangan dengannya. Dan agenda jarak dekat ISIS adalah menjadikan Indonesia sebagai wilayah kekuasaannya pada tahun 2017. Perlu diingat, Indonesia sudah 'menyumbang' warganya bergabung ke ISIS sebanyak 800 orang. Sementara warga negara-negara lain yang bergabung sudah banyak juga. Arab Saudi sebanyak 2.600 orang, Eropa 700, negara-negara Timur Tengah simpang siur dalam memberikan data konkretnya. Dan hasil survey pernah menyatakan bahwa empat persen dari masyarakat muslim dunia, setuju akan hadirnya ISIS di dunia.

Gerakan-gerakan radikal, baik yang kecil maupun besar masuk lewat jalur bawah tanah. Bergerilya lewat jalur kedap suara. Memanfaatkan masjid, dan memasuki area kosong dari pengkajian Islam. Membuat media-media penebar kebencian. Membenci ulama NU dan Muhammadiyah, memutarbalikkan logika, dan sering sekali memanipulasi data. Maka jangan heran jika banyak mahasiswa-mahasiswa dari kampus umum yang kini tampil diri dan berteriak lantang memperjuangkan Khilafah Islamiyah, bukan justru dari kampus UIN. Bahkan tak sedikit dari kalangan UIN yang dituduh sesat dan menyesatkan.

Gairah studi Islam haruslah kita kuatkan kembali. Membuka ruang dialog yang transparan agar konsep kebangsaan dan nasionalisme yang digagas oleh para ulama Indonesia terdahulu tidak sia-sia. Kita tidak bisa memaksakan bibit kurma tumbuh subur di tanah Indonesia. Karena kurma hanya akan tumbuh di padang pasir. Tapi kita bisa memiliki buah yang manis dan nikmat layaknya kurma. Seperti durian, semangka, jeruk, apel, dan lainnya. Maka, marilah kita tanam yang kita punya untuk meraih kemanisan yang dapat kita nikmati sendiri dan juga untuk diekspor ke negara lain. Satu hal yang saya dapat dari hikmah memakan buah adalah: dapat membantu kecerdasan berpikir dan kesehatan tubuh. Maka, marilah kita mulai mengkaji agar tidak terlambat dalam menyelesaikan masalah. Mari kita sukseskan formula jitu yang digagas NU dan Muhammadiyah akan semboyan Islam Nusantara.

With peace and love,
@sundakelapa90

Cibubur, 10 Januari 2016
Pukul 08.31 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar